Selasa, 08 Juli 2014

Sari The Lust Hunter - 6

Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
 
---
 
Suasana kantor pada hari Jumat jam setengah empat
sore kali ini hampir tidak berbeda dengan biasanya.
Dari ruang pribadiku terdengar hiruk pikuk teman-teman
sekerja yang bersiap-siap pulang, canda ria yang
terdengar lepas, dan tulat tulit ponsel mereka yang
sudah mulai ditelpon dari rumah untuk rencana week
end. Seperti biasanya juga, aku pulang agak terakhir.
Bukan karena rajin, tapi karena aku malas mengemudikan
Katana hijauku dalam antrian panjang berkelok-kelok
yang memenuhi gedung parkir pada jam-jam segini. Aku
tetap duduk di kursi kerjaku, mengerjakan beberapa hal
untuk persiapan hari Senin nanti, agar hari Mingguku
bisa terasa lebih bebas. Setelah aku rasa cukup, aku
membuka-buka beberapa situs favoritku di internet,
seperti FriendFinder, nba.com, dan lain-lainnya.
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.
 
"Yak, masuk Nov!" Kataku singkat.
Pintu terbuka, dan masuklah Nova, seorang teman kerja
yang waktu itu baru diangkat menjadi asistenku.
Namanya pernah tertulis juga di serial Lust Hunter
terdahulu.
"Kok tahu kalau aku?" Tanyanya keheranan sambil
menutup pintu kembali.
"Yah...siapa lagi kalau bukan kamu?" Jawabku tanpa
memberitahunya kalau aku sudah hafal pola ketukannya
yang agak lebih keras dibandingkan teman-teman lain.
 
Wanita itu meletakkan tas kerjanya di sofa putih di
seberang ruangan lalu mendatangi meja kerjaku sambil
matanya sesekali melirik kesana-kemari untuk mencari
benda-benda aneh baru yang memang sering kupajang di
situ. Ketika matanya menemukan sebuah album foto di
meja samping, ia lalu membelokkan arahnya ke situ dan
mencomotnya. Dalam hati aku tertawa geli melihat
tingkahnya yang agak kekanak-kanakan meski usianya
hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Kini ia
mengamati foto-foto itu dengan mimik serius, sementara
aku mengamati dia. Nova ialah seorang mantan atlet
yang bentuk tubuhnya terpelihara dengan baik meski
warna kulitnya agak kecoklatan karena dulu sering
diterpa matahari. Wajahnya cukup manis menurutku,
sementara pakaian-pakaian yang menempel di badannya
selalu mengikuti apa yang kupakai, ia juga selalu
mengikuti kemana aku pergi, dan melakukan apa yang aku
lakukan. Pendeknya, dimana ada Sari, disitu ada Nova,
entah dalam bisnis atau just for fun, singkatnya, dia
seorang sidekick sejati buatku. Ia adalah seorang
'petualang baru' yang memilih menjadi petualang karena
kebetulan ia sangat dekat denganku. Agak merasa
berdosa juga aku, jika mengingat saat pertama ia
datang ke kantor memenuhi iklan lowongan koran. Waktu
itu aku sendiri yang mewawancarainya, dan waktu itu ia
tampak masih lugu dengan kacamata berbingkai hitam
tebal dan rambut panjang sebahu serta pakaian
yang...well...konvensional.
 
Namun sekarang? Dari tempat dudukku aku bisa mengamati
posturnya yang semampai (sekitar 170-an lah) dan
berbahu bidang itu sedang berdiri di sisi ruangan
dengan terbungkus setelan pakaian kerja Escada merah
menyala yang elegan namun terkesan seksi. Kacamata
berbingkai tebal juga sudah digantikan dengan contact
lens coklat, sementara rambut ikalnya kini dipotong
persis seperti rambutku, pendek seleher dan simpel.
Untung saja rambutku lurus, hingga masih tetap ada
bedanya!
 
"Ini foto waktu kapan, mbak?" Tanyanya membuyarkan
lamunanku.
"Oh, pas SMA." Jawabku singkat, "Kenapa emang?"
"Mbak Sari yang mana?" Tanyanya balik dengan tetap
mengamati album foto itu dengan mimik serius.
"Yang mana, hayooo?" Godaku sambil mematikan MacIntosh
dan beranjak berdiri dari kursi kerjaku.
"Yang ini ya?" Tanyanya sambil menghadapkan album foto
itu padaku dan menunjuk sebuah foto.
"Iya, yang itu." Jawabku sambil membenahi tas kerjaku,
"Cantik, 'kan?"
Kata-kata terakhir itu tadi mendapatkan jawaban berupa
ekspresi mengejek dari wajahnya.
"Norak, ah!" Katanya sambil menutup album itu dan
melemparnya kembali ke meja, "Kaki kepanjangan gitu
masa pakai celana kependekan, apa nggak malah berkesan
kerempeng?" Lanjutnya lagi, yang kubalas dengan sebuah
tinju agak keras di lengannya.
 
Kami lalu tertawa-tawa sambil menanti jam bergeser ke
pukul setengah lima, supaya perjalanan mobilku lancar
di gedung parkir. Nova menceritakan padaku tentang
masa-masa hidupnya sebagai atlet, tentang
latihan-latihan fisik yang dilakukannya, dan hal lain
yang terkesan macho dan terlalu dibesar-besarkan.
Sementara aku dengan tak kalah membual juga
menceritakan tentang latihan yang kualami pada saat
aku tergabung dalam sebuah klub basket.
 
"Eh, gimana rencana malam ini?" Tanya Nova di tengah
pembicaraan.
"Aku belum ada rencana lebih jauh." Jawabku, "Kamu ada
rencana apa?"
"Yahhh..." Desah Nova panjang sambil merentangkan
kedua tangannya dan menggeliat malas, "Aku sih pengen
jalan-jalan."
"Jalan-jalan apa jalan-jalan?" Tanyaku dengan nada
menggoda.
"Hmm...", Nova terdiam agak lama, "Pengennya ya
jalan-jalan biasa, tapi kalau nanti ada hasilnya, yah,
nggak apa-apa kan?"
Pembicaraan terus berlanjut hingga akhirnya tiba pada
topik kesenangan wanita, yaitu membicarakan orang
lain. Kami membicarakan seorang kawan yang kebetulan
sering bekerja sama dengan perusahaan kami.
"Mbak Sari, kalau mbak Ida itu orangnya gimana?" Tanya
Nova sambil mengamati pemandangan dari jendela lantai
tujuh ini.
"Apanya yang gimana?" Tanyaku balik sambil mengenakan
blazerku kembali dan bersiap-siap pulang.
"Dia kan single," Jawab Nova, "Apa dia
juga...hm...seperti Mbak Sari?"
"Hihihi," Aku tertawa kecil mendengar 'tuduhan'-nya
itu, "Not really." Lanjutku sambil mematikan lampu dan
mencolek lengan Nova agar mengikuti aku keluar ruang
kerja.
 
Karena gedung parkir sudah lumayan kosong, Katana
hijauku dengan bebasnya meninggalkan gedung kantor
itu. Nova menumpang di mobilku, agar nanti bisa keluar
jalan-jalan bareng, katanya. Tapi however kami masih
belum punya tujuan yang jelas, hingga kami
berputar-putar saja di daerah itu. Sempat terpikir
untuk mampir ke kafe Jendela tempat beberapa kawan
sering nongkrong, tapi karena masih terlalu sore dan
sepi, akhirnya nggak jadi. Sempat juga ada ide untuk
mampir ke Colors pub, tapi sekali lagi karena masih
terlalu sore, kami mengurungkan niat itu.
 
"Nov, kamu tadi kok nanya tentang Mbak Ida kenapa?"
Tanyaku karena tidak ada topik yang dibicarakan.
"Nggak apa-apa sih." Jawabnya sembari menggosok lensa
sunglasses Gucci-nya dengan ujung baju, "Just
curious."
"Dengar-dengar...dia orangnya nggak normal, yah?"
Tanya Nova lagi.
"Maksudmu dia sinting?" Tanyaku balik, menghindari
membicarakan kejelekan orang dengan cara mengambil
ekstrimnya.
"Nggak gitu sih," Jawab Nova tetap dengan mimik
serius, "Kata orang, dia nggak suka sama cowok."

"Kalo emang iya, kenapa? Dan kalo enggak, apa kamu
nggak malu nggosipin orang?" Jawabku diplomatis.
Nova tertawa kecil mendengar sindiran itu, "Aku cuman
pengen tahu." Jawabnya tak kalah diplomatis tapi masih
amatiran.
"Kalo emang ternyata iya, apa kamu lantas mau nyoba
kencan sama dia?" Tanyaku to the point.
Wajah Nova tampak menunjukkan ekspresi aneh, perpaduan
antara jijik dan mendapat inspirasi.
"Gini deh, daripada kita ngomongin orang, gimana kalau
kita mampir ke rumah dia." Jawabku sambil menyalakan
lampu sign untuk belok kiri, karena Katana hijau kini
telah sampai di depan rumah orang yang kami bicarakan.
"Lho, lho, lho! Mbak! Jangan dooong!" Rengek Nova
ketika Katana hijau kuparkir di depan rumah besar
dengan design aneh itu.
Aku tidak mempedulikan rengekannya karena setengah
jengkel. Aku hanya membuka pintu dan keluar dari
mobil, meski sambil merengek dan menggerutu tidak
jelas, Nova ikut turun juga.
 
Sampai ketika aku memencet bel pintu, Nova masih juga
tampak tidak tenang. Ia berkacak pinggang sambil
melihat ke langit yang kini berwarna ungu bercampur
oranye. Rumah yang kami kunjungi itu terletak di tepi
sungai kecil dengan lingkungan tertutup yang dipenuhi
pohon-pohon besar (Dan para pembaca yang berasal dari
kota S akan berpikir-pikir, kira-kira dimana letaknya,
ya kan? Hihihi, LH) sehingga suasana jadi agak
remang-remang dramatis.
Seorang pembantu pria berwajah Maluku berbadan tegap
keluar dari balik pintu dalam dan kembali masuk
setelah aku menyebutkan nama orang yang aku cari.
Pintu kembali terbuka, tapi bukan si pembantu yang
keluar, melainkan seorang, eh seekor anjing St.Bernard
sebesar meja makan.
 
"Aduh, Mbak...ada anjingnya, pulang aja yuk!" Seru
Nova merasa mendapat alasan.
Aku hanya memandangi wajah Nova dan wajah anjing itu
bergantian, lalu menunjuk ke anjing yang kini menatap
wajah Nova sambil menjulurkan lidah dan
mengibas-ngibaskan ekor.
"Tuh lihat!" Kataku, "Dia menyukai kamu, jadi nggak
ada masalah."
"Hm...masa sih?" Tanya Nova sambil berlutut dan
mengamati wajah anjing yang berekspresi lugu agak
bodoh itu dari balik pagar.
 
Si pembantu muncul dan membukakan gerbang pagar yang
terbuat dari kayu berat berlubang-lubang di sana-sini
itu. Kami melangkah masuk. Aku melangkah dengan
tenang, sementara Nova melangkah agak gelisah sambil
sesekali melihat ke arah anjing besar yang kini
berjalan mengikutinya. Besar sekali memang, tingginya
saja hampir sepinggang kami. Si pembantu lalu
mempersilakan kami duduk di kursi beranda, tentu saja
dengan ditemani St.Bernard besar itu, yang kini duduk
bersimpuh di lantai memandangi Nova dengan ekspresi
yang seperti tadi, lugu setengah bodoh.
 
Nuansa rumah itu memang agak mendirikan bulu tengkuk
bagi orang yang belum pernah mengunjunginya. Pagarnya
terbuat dari kayu berwarna gelap yang terkesan berat
dan tertutup. Pekarangannya yang tidak terlalu luas
ditutup dengan paving block yang dicat cokelat gelap,
senada dengan tembok rumah yang juga berwarna maroon
gelap. Bangunannya sendiri mungkin cukup bagus,
bangunan tua dengan arsitektur kolonial, namun
sentuhan seni kontemporer di sana-sini membuatnya
tampak aneh. Bayangkan saja, lampu temaram yang
menempel di dindingnya berbentuk kepala wanita yang
melotot, asbak di meja beranda pun berbentuk kepala
seorang bayi (atau tuyul?) yang mulutnya menganga
lebar. Perpaduan yang agak aneh karena meja dan kursi
berandanya berwarna hijau tua dan berbentuk ukiran
Jepara klasik. Di sudut beranda juga terdapat beberapa
patung kayu ukiran Bali yang menggambarkan dua orang
wanita tanpa busana sedang saling mencekik.
"Angker ya, rumahnya?" Celetuk Nova yang rupanya juga
mengamati situasi.
"Yah, tapi dia satu-satunya designer yang setuju
dengan harga yang kamu tawarin!" Jawabku mengingatkan
Nova.
"Hm, iya ya. Mbak Ida partner kantor kita." Gumam
Nova, "Apa nggak sebaiknya nanti kita ngomongin
kerjaan aja?"
"Alaa, udahlah, sekarang Jumat malam." Jawabku
jengkel, "Lagian kan kamu pengen kenal lebih jauh sama
dia?"
"Siapa yang pengen kenalan sama aku?" Tanya suara
berat seorang wanita yang terdengar tiba-tiba dari
samping beranda.
 
Nova dan aku sempat agak terjingkat karena kaget oleh
suara Mbak Ida yang memang berat itu. Wanita berusia
30-an itu telah berdiri di samping beranda dan
mengelus-elus kepala anjingnya. Meski usianya agak
lebih tua dari aku, Mbak Ida memiliki postur tubuh
yang terjaga. Tidak seperti Nova dan aku yang meski
ramping tapi terkesan lebar dan bidang, postur tubuh
mbak Ida cenderung tidak nampak lebar. Tingginya
kurang lebih 160-an, dengan proporsi yang lebih
panjang di kaki. Kulitnya agak gelap dan bentuk
tubuhnya padat tapi khas wanita dengan dada yang agak
membusung. Sore itu ia mengenakan sejenis kimono
berwarna coklat gelap yang belahannya agak rendah
hingga kami dapat dengan jelas melihat cleavage
(belahan dada) nya. Rambutnya yang lurus dan panjang
sebahu dicat merah. Merah beneran, merah bendera,
bukan merah brunette. Wajahnya  cantik namun matanya
terkesan misterius di bawah alis yang hampir tidak ada
rambutnya.
 
"Ini, si Nova yang pengen kenalan sama Mbak Ida."
Jawabku seraya berdiri dari kursi beranda.
"Lho, kan udah kenal?" Jawab Mbak Ida sambil menjabat
tangan Nova yang malu-malu dan agak gemetar.
"Ayo masuk!" Seru Mbak Ida mempersilakan kami masuk.
"Bas, kamu jaga diluar ya!" Serunya, kali ini
ditujukan ke si anjing.
"Mbak, nama anjing kamu siapa sih?" Tanyaku ingin
tahu.
"Lubas Herera." Jawab Ida singkat sambil membukakan
pintu ke ruang tamu.
Aku hanya memandangi anjing dan pemiliknya bergantian,
setengah heran karena jarang ada anjing yang punya
nama belakang.
 
Suasana ruang tamu yang amat luas itu berbeda 180
derajat dengan beranda dan pekarangan yang gelap dan
misterius. Dinding ruang tamu berwarna putih cerah,
lantainya juga terbuat dari keramik putih. Sementara
perabotannya bergaya modern, terbuat dari pipa-pipa
besi berlapis chrome mengkilat dengan
bantalan-bantalan kursi biru cerah. Satu-satunya
hiasan dinding adalah jam yang tepinya terbuat dari
ban penyelamat kapal berwarna merah terang bergaris
putih, dan jarum jamnya juga berwarna merah terang,
kontras dengan nuansa ruangan yang biru-putih. Tidak
ada coffee table (meja tamu), yang ada hanya sebuah
meja makan di tengah ruangan yang kakinya terbuat dari
pipa-pipa mengkilat dan mejanya sendiri dari kaca
dengan bentuk yang tidak simetris, seperti sirip ikan
hiu. Di sudut ruangan terdapat tiga buah komputer
MacIntosh yang casing dan monitornya berwarna biru
transparan, semuanya masih menyala dan screen savernya
berbeda-beda, di monitor paling kiri ada huruf I yang
berputar-putar, di monitor tengah huruf D, dan di
monitor paling kanan huruf A, ketiganya membentuk
huruf nama pemiliknya, benar-benar nyentrik, pikirku.
Sementara dinding belakang dari ruang tamu ini bukan
tembok, melainkan kaca yang menghadap ke sebuah kolam
renang kecil berbentuk pisang. Yang paling aneh adalah
dinding dan dasar kolam renang itu tidak polos seperti
umumnya kolam renang, melainkan dipenuhi sebuah anime
(kartun jepang) besar yang menggambarkan wanita-wanita
yang dibelit gurita. (Setelah diamati lebih jauh,
ternyata bukan gurita, melainkan kejantanan pria yang
jumlahnya banyak dan panjang-panjang seperti ular
melilit badan wanita-wanita tanpa busana itu). 
 
"Yah, ginilah rumahku." Kata Mbak Ida memecah
keheningan, "Gimana?"
"Hm...bagus, bagus sekali," Jawab Nova
mengangguk-angguk tanpa mampu menyembunyikan ekspresi
gugup setengah takut.
"Berbeda sekali dengan waktu aku kesini pertama dulu."
Jawabku sambil mengamati jam dinding aneh yang
kuceritakan tadi.
"Iya dong, Sar." Jawab Mbak Ida, "Kami kan tipe
pembosan, kayak kamu!" Lanjutnya penuh arti.
 
Kami duduk mengelilingi meja makan berbentuk sirip
hiu itu, menghadap ke beberapa gelas sirup yang
dihidangkan si pembantu yang tadi membukakan pintu.
Nova tak henti-henti memandangi rambut Mbak Ida yang
dicat merah menyala itu, sementara aku sendiri
berusaha untuk tidak menunjukkan ekpresi heran, takut
dia tersinggung.
"Nah, ada apa ini kok kemari? Ada order lagi yah?"
Tanya Mbak Ida mengawali pembicaraan setengah
bercanda.
"Ah, enggak, hanya nggak ada acara aja sore ini."
Jawabku sambil menyeruput minuman di gelas berbentuk
kepala Miki Tikus.
Agak kaget juga aku ketika minuman di gelas itu
menyembulkan sedikit aroma alkohol, aku hanya meneguk
sedikit saja karena aku memang tidak suka minuman yang
memabukkan. Aku melirik ke Mbak Ida sambil mengangkat
alis kiriku,
"Apa nih minumannya?" Tanyaku dengan mata menuduh
namun masih terkesan ramah.
"Oh, iya!" Jawab Mbak Ida dengan ekpresi datar, "Aku
lupa kamu nggak minum."
Mbak Ida lalu berjalan ke dispenser di sudut ruangan
dan menuangkan segelas air putih untuk aku. Ketika ia
berjalan meninggalkan meja makan, aku melirik ke arah
Nova.
"Nov, kalau nggak suka nggak usah diminum, lho."
Bisikku mencegahnya.
"Hmm?" Tanya Nova sambil melihat ke arahku dan
meletakkan gelasnya yang telah kosong ke meja. Ah, ya
sudahlah. Aku mengurungkan niatku mencegah Nova
meminum minuman aneh itu.
 
Kami lalu ngobrol kesana kemari diselingi joke-joke
khas wanita lajang. Suasana menjadi hangat dan akrab.
Tanpa terasa jam dinding menunjukkan pukul delapan
malam, namun Nova yang tadi takut-takut, kini malah
tampak betah. Memang Mbak Ida, terlepas dari bagaimana
bentuknya, adalah orang yang ramah dan menyenangkan.
Sekedar info, ia adalah seorang designer yang kerap
kali bekerja sama dengan perusahaan tempatku bekerja.
Dan ia sering kami pakai karena kelebihannya itu, ia
memiliki 'people skill' yang tinggi. Tidak seperti
umumnya orang seprofesi dia, yang sulit untuk memahami
orang lain dan cenderung menganggap orang lain 'awam'.
Meski gayanya mendandani rumah cenderung aneh, dia
sama sekali bukan tipe orang yang nyentrik atau
'weird' dalam hubungan kerja. Ia amat profesional.
Pembicaraan berlanjut sampai kemudian Mbak Ida
mengantar Nova berkeliling rumahnya. Aku yang dulu
sudah pernah kesitu tidak ikut berkeliling, aku
mengambil sebuah buku dari rak di sudut ruangan dan
mulai membacanya. Sebuah buku paperback bagus, yang
berjudul Rich Dad Poor Dad, oleh Robert Kiyozaki.
Cukup lama aku membaca buku itu sampai kemudian Nova
datang kembali ke ruang tamu menjumpaiku.
"Mbak Sari, pulangnya nggak buru-buru kan?" Tanyanya
dengan mata kekanak-kanakan.
"Oh? Nggak kok." Jawabku sambil melirik arloji, "Emang
mau ngapain kamu?"
"Mbak Ida ngajak aku nyobain kolam renangnya, kata dia
airnya hangat." Jawab Nova lagi.
"Yah, terserahlah. Tapi apa kamu bawa baju renang?"
Tanyaku.
"Dia mau minjemin kita baju renang kok." Jawab Nova
sambil menunjukkan sebuah kantong plastik yang berisi
pakaian renang.
"Ganti bajunya di kamar mandi situ, Nov!" Kata Mbak
Ida yang tiba-tiba muncul.
Kali ini Mbak Ida muncul dengan kimononya sudah tidak
lagi diikat, dibiarkannya terbuka begitu saja, dari
balik kimono tampak bikini renang berwarna merah
seperti rambutnya. Hm...kontras dan indah juga
perpaduan warna itu, kulitnya yang kuning agak gelap
dan bikini serta rambut merah. Dalam hati aku sempat
iri dengan bentuk badan Mbak Ida yang padat dan
berbentuk, sementara badanku sendiri cenderung ceking
dan datar panjang-panjang.
"Kamu ikutan sekalian deh, Sar!" Ajak Mbak Ida lagi,
"I Promise I won't do anything." Lanjutnya penuh arti.
Aku hanya mengangkat bahu dan tidak punya pilihan
lain. Apalagi Nova menarik lenganku masuk ke kamar
mandi.
 
Kamar mandi rumah ini jadi terkesan aneh karena tidak
ada yang aneh di dalamnya. Kamar mandi klasik
berukuran besar dengan bak mandi di sudut, cermin
besar di dekatnya, sebuah kloset di sampingnya, dan
sebuah pintu menuju ke ruang lain. Begitu 'biasa' jika
dibandingkan dengan suasana dalam rumah. Di situ Nova
tanpa malu-malu mempreteli semua yang melekat di
badannya dan mengenakan bikini yang dipinjamkan Mbak
Ida.
 
"Kamu kok milih yang bikini sih?" Tanyaku sambil
memilih-milih pakaian renang dalam kantong plastik.
"Emang kenapa, Mbak?" Jawab Nova sambil
melenggak-lenggok di depan cermin menatap keindahan
bentuknya yang memang indah.
"Kan nggak ada cowok." Lanjutnya lagi. 
Aku memilih pakaian renang biasa saja, Speedo berwarna
biru muda. Hm, terasa agak longgar di bagian dada dan
pinggang, menunjukkan dimana perbedaan antara bentuk
badanku dan badan Mbak Ida. Sempat menatap cermin,
dan...yah...aku memang sama sekali tidak jelek!
Pikirku sambil menatap garis tubuhku yang menurutku
paling indah di seluruh dunia.
 
Tiba di pinggiran kolam renang Mbak Ida, rasa-rasanya
aku malas untuk masuk ke air. Entah kenapa, tapi
rasa-rasanya gambar kartun di dasar dan dinding kolam
itu mengganggu pikiranku. Sementara Nova hanya
mengomentari bahwa gambar kartun itu lucu. Yah, memang
dia jarang memperhatikan sampai ke detail, hingga dia
lantas nyemplung begitu saja bersama dengan Mbak Ida
yang sudah lebih dulu masuk ke air. Dari tepi kolam
aku mengamati bahwa di dinding-dinding kolam renang
terdapat lampu-lampu besar, hingga dalam air dapat
terlihat dengan jelas. Aku melihat tubuh lencir Nova
berenang-renang dengan latar belakang gambar-gambar
wanita kartun yang ketakutan karena dililit oleh
'ular-ular' besar. Hm...pemandangan yang menarik
sebenarnya, namun aku memilih untuk duduk saja di tepi
kolam, membiarkan angin malam menyejukkan kulit
tubuhku yang hanya tertutup pakaian renang. Karena
merasa kelewat dingin, akhirnya aku membungkus badanku
dengan kimono Mbak Ida yang ditinggalkannya di tepi
kolam, dan berjalan mengelilingi halaman belakangnya
yang lumayan besar dan bersih, mencari si pembantu
tadi sekedar untuk teman ngobrol, tapi pemuda itu juga
tidak ada. Dalam hati aku merasa sedikit bersalah
karena mengerti siapa Mbak Ida sebenarnya. Wanita itu
tak lain adalah petualang juga, sama seperti aku
sendiri. Namun yang berbeda adalah bahwa buruannya
seringkali berasal dari teman sejenis, dan bukan lawan
jenis. Itu sebabnya pikiranku sekarang terasa seperti
membawa Nova ke mulut singa. Tapi, ah, whattahell! Aku
kan bukan babysitter untuk Nova. Meski keberadaannya
seringkali membuatku merasa memiliki seorang adik,
tapi jalan hidupnya kan bukan urusanku, itu pilihannya
sendiri.
 
Dari tempatku berdiri di sudut halaman belakang,
kolam renang Mbak Ida tidak terlihat karena tertutup
pagar tanaman setinggi satu meteran. Tapi setelah
lama, aku baru menyadari kalau aku tidak mendengar
suara deburan air seperti yang kudengar tadi. Aku
mulai merasa tidak enak, dan segera melangkahkan kaki
ke arah kolam renang. Seperti dugaanku, Nova dan Mbak
Ida sudah tidak berada di kolam renang, juga di
sekitarnya, mereka mungkin sudah masuk ke dalam rumah.
Aku berusaha melihat melalui dinding kaca, tidak ada
siapa-siapa di ruang tamu atau ruang tengah. Dimana
kedua orang itu, pikirku.
 
Kucoba membuka pintu kaca geser untuk masuk ke ruang
tengah, ternyata terkunci. Berarti aku terpaksa harus
memutar melalui pintu depan. Agak risih juga hanya
mengenakan pakaian renang terbalut kimono tipis dan
berjalan di antara pohon-pohon pisang di kegelapan.
Akhirnya aku sampai ke garasi tempat 318i Mbak Ida
teronggok congkak. Lalu membelok ke kiri, dan aku tiba
di beranda yang menakutkan tadi. Tampak si Lubas
Herera kini memandangi aku sambil mengibas-ngibaskan
ekor. Anjing tolol ini tentu tidak bisa ditanyai
keberadaan tuannya, pikirku. Lalu aku membuka pintu
depan yang untungnya tidak terkunci, dan kembali
berada di ruang tamu. Seperti yang kuduga, ruang tamu
itu kosong. Aku berjalan mondar-mandir disitu sambil
memikirkan kira-kira kemana kedua temanku tadi.
 
Akhirnya aku mencoba alternatif terburuk, yaitu kamar
tidur Mbak Ida. Konyolnya, aku tidak menjumpai pintu
lain selain ke kamar mandi dan ke kolam renang tadi.
Rumah ini memang terasa begitu besar karena tidak ada
sekat-sekat ruangannya. Berarti dimana letak kamar
tidurnya? Setelah berpikir beberapa menit, naluri
petualangku mengatakan bahwa kamar tidur seorang
'pemburu' umumnya tergabung dengan kamar mandi atau
setidaknya memiliki akses langsung ke kamar mandi. Aku
jadi teringat akan pintu di kamar mandi tadi.
Segeralah aku melangkah ke kamar mandi, oops! kimono
panjang ini mengganggu langkahku, jadi aku melepaskan
dan menaruhnya di meja makan.
 
Setibanya aku di kamar mandi, terlihat pintu yang
kumaksud terbuka sedikit. Lampu kamar mandi yang
terang membuat aku tidak dapat melihat apa-apa dari
celah pintu itu, tampak temaram di sana. Pelan-pelan
aku melangkahkan kaki ke sana. Setelah makin dekat,
terasa dinginnya hembusan hawa AC dari celah pintu
yang terbuka sedikit itu, terdengar pula alunan lembut
musik soundtrack Titanic dari Kenny G. Hm...Apakah
mereka berdua ada di situ? Kalaupun iya, apa yang
mereka lakukan? Bukankah Nova seorang straight? Apakah
Mbak Ida mencoba menjahili Nova? Atau apakah Nova
ingin mencoba petualangan baru? Berbagai pikiran jorok
berkembang dalam benakku, membuat aku tidak segera
memasuki ruangan di balik pintu itu. Hm...Apakah aku
harus langsung masuk? Atau mungkin menunggu di ruang
tamu sambil pura-pura tertidur? Atau harus mengintip
dulu? Uhh...bingung juga. Anyway, aku harus melakukan
sesuatu, bukan?
 
Setelah memantapkan diri aku memegang handel pintu
dan dan mendorongnya hingga terbuka. Nah, tampaklah
kamar tidur Mbak Ida yang ternyata tidak terlalu
besar, namun dindingnya berlapis kayu jati berwarna
gelap. Lampu yang kuning temaram membuat suasana
terasa gelap. Dinding kayu itu polos tidak tertempeli
hiasan apa-apa, karpet tebal di lantai juga polos
berwarna coklat tua, tepat di tengah-tengah ruangan
teronggok tempat tidur kayu besar. Nah, di atas
ranjang besar itulah Nova tertelungkup dengan
bikininya, sementara si pembantu pria yang tadi
kucari-cari kini sedang duduk di atas pantat Nova dan
memijiti punggung wanita itu. Keduanya tampak agak
terkejut melihat kehadiranku.
"Wah, Sari! Kamu juga mau ikutan ya?" Terdengar suara
Mbak Ida mengejutkanku.
 
Wanita itu duduk di sebuah sofa di pinggir kamar.
Rambutnya masih tampak basah dari kolam renang tadi,
bikini merahnya yang tipis dan agak basah tidak
berfungsi menyembunyikan apa-apa lagi.
 
"Pjitan si Beni enak nggak, Nov?" Cerocos Mbak Ida
lagi.
"Mmm...mmm...lumayan lah, mbak!" Jawab Nova yang masih
tertelungkup di ranjang, dipijit oleh si Beni yang
bertelanjang dada.
"Oh, well..." Aku seperti kehabisan kata-kata karena
dihadapkan pada suasana yang agak tidak wajar.
 
Aku lantas duduk di sofa di samping Mbak Ida,
mengamati wajah Nova yang kini tampak terpejam-pejam
karena otot kakinya sedang dipijat oleh si Beni. Dari
cara memijatnya, sepertinya Beni memang orang yang
ahli dalam hal tersebut, bukan hanya seorang yang asal
pencet. Setelah sesaat mencoba beradaptasi, aku
menengok ke Mbak Ida.
 
"Mbak Ida nggak dipijit juga?" Tanyaku.
"Aku sih udah selesai." Jawabnya singkat, "Kamu mau
nyoba? Enak lho, Sar."
"Iya coba aja Mbak Sari!" Sahut Nova yang rupanya
sudah selesai dipijit, ia kini menghampiri sofa tempat
kami duduk.
"Enak kok, jadi terasa lebih lentur seperti jelly!"
Candanya menambahkan.
"Eh, Ben! Jangan kembali dulu, nih Ibu Sari juga
pengen dipijit!" Seru Mbak Ida pada pemuda Maluku itu.
 
Aku beranjak menuju tempat tidur besar itu. Beni
tampak tersenyum manis dan mengangguk hormat padaku.
Hmm...Not bad, pikirku. Meski amat pendek dan hanya
setinggi dadaku, pemuda ini otot-ototnya lumayan
'jadi' juga. Beni yang kulit tubuhnya hitam legam itu
hanya mengenakan celana jeans pendek yang menunjukkan
adanya tonjolan khas pria, baguslah, pikirku. Ia
normal, pria mana yang tidak bereaksi seperti itu
kalau diijinkan menyentuh badan si Nova yang memang
atletis dan kesat. Nah, kita tunggu bagaimana reaksi
dia setelah memijiti badan si pemburu ini, hmm, pemuda
yang beruntung, pikirku nakal.
 
"Apa perlu saya buka pakaian?" Tanyaku pada Beni
dengan nada serius namun bertujuan menggoda.
Pemuda itu diam dan tampak bingung lalu melirik ke
arah majikannya.
"Hahahahahaha!" Mbak Ida tertawa gelak, "Nggak apa-apa
Ben! Ibu Sari itu badannya oke punya lhoo!"
 
Beni tampak ragu-ragu dan menelan liur, reaksi yang
aku sukai untuk digoda! Aku malah tanpa ragu-ragu
menurunkan lengan pakaian renang ini ke kiri kanan dan
menariknya ke bawah, hingga kini pemuda beruntung itu
dapat melihat segalanya di bawah sinar lampu yang
kuning temaram. Mulut Beni menganga menyaksikan
semuanya. Di hadapannya berdiri si pemburu, tanpa
selembar benangpun, dengan postur yang satu setengah
kali lebih tinggi darinya, berwarna kuning bersih dan
halus semampai. Aku menarik nafas dalam agar kedua
dadaku membusung ke depan, lalu menghembuskan nafas
lagi hingga kedua bukit yang tidak besar itu kembali
ke posisi semula, dan bola mata Beni mengikuti gerakan
kedua benda indah itu. Aku tersenyum sambil
menyipitkan mata menggodanya, dan memanjat naik ke
ranjang dan membaringkan badanku tertelungkup di kasur
pegas empuk itu.
 
"Hey, ayo, jangan bengong, Ben!" Seru Mbak Ida sambil
tertawa-tawa, "Tunjukkan pijitan terbaikmu!"
"Lho, emangnya yang diberikan ke aku tadi bukan
pijitan dia yang terbaik?" Tanya Nova yang kini duduk
di samping Mbak Ida.
"Lah, kalau buat Sari ya lain dong Nov!" Cerocos Mbak
Ida lagi, "Untuk Sari kan harus
yang...hm...menyentuh!"
 
Nova dan Mbak Ida lalu tertawa tawa sementara kini
kurasakan tangan-tangan Ben mengoleskan baby oil ke
betisku dan mulai memijit. "Waaaa!" Aku menjerit keras
ketika kurasakan pijitan jari-jari Ben begitu keras
dan menyakitkan. Kontan saja Beni menghentikan
pijitannya dan memasang ekspresi penuh rasa bersalah.
"Pelan-pelan aja, Mas Beni!" Kataku mencoba
menghiburnya, "Mulai dari punggung aja nggak apa-apa
kok."
 
Lantas Beni mulai mengolesi punggungku dengan baby
oil, dan mulai memijit pelan-pelan. Hmm...harus kuakui
rasanya memang mantap dan membuat rileks. Biasanya,
pria yang tahu memijit wanita adalah pria yang hebat
di ranjang, tapi aku segera membuang pikiran konyol
itu dan memejamkan mata menikmati pijitan-pijitannya
yang melemaskan otot. Hm, menyenangkan sekali dipijit
oleh pemijit ahli, di ruangan ber AC yang temaram,
diiringi musik instrumental Kenny G.
 
Saat asyik-asyiknya memejamkan mata menikmati
suasana, aku sayup-sayup mendengar erangan wanita di
tengah alunan lembut saxophone itu. Apakah memang di
kaset Kenny G terdapat sound effect seperti itu? Ah,
aku rasa tidak. Aku membuka mata sedikit, dan menatap
lurus ke arah sofa di pinggir kamar. Dan aku segera
mendapat jawaban darimana rintihan itu berasal.
Di atas sofa itu, Mbak Ida juga tampak sedang memijit
badan Nova dari belakang. Tepatnya, Mbak Ida sedang
mengusap-usap pinggang Nova yang terbuka, sambil
menciumi leher kawanku itu. Novanya tidak menunjukkan
perlawanan sedikitpun, malah tangan kirinya memeluk
kepala Mbak Ida yang kini mencium dan menjilati leher
kirinya. Pelan-pelan jemari lentik Mbak Ida merambati
pinggang Nova ke atas, lalu menyusup ke balik bikini
basah yang dikenakan Nova. Membuat payudara Nova
seperti tersentak-sentak karena nafasnya menjadi sulit
diatur. Wajah Nova yang terpejam itu kini tampak
begitu terangsang oleh gerakan-gerakan Mbak Ida.
Dengan gerakan cepat, Mbak Ida melepaskan bikini
bagian atas itu, hingga kini kedua payudara Nova yang
memang menurutku amat indah, padat, putih bersih
dengan puting kecoklatan itu terpampang jelas.
"Hey, kamu kok membuka mata, Sar?" Kata Mbak Ida yang
kini menatap tajam ke arahku.
 
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Kulihat wajah Nova,
wajah itu kini tampak sayu dan matanya menatap ke
arahku dengan tatapan dingin dan datar, seolah tidak
ingin aku mengganggunya. Ya ampun, pikirku. Apa yang
aku kuatirkan telah terjadi. Pijitan-pijitan Ben kini
tidak lagi terasa. Aku mengangkat kepalaku dari
ranjang dan bermaksud meminta Mbak Ida berhenti
mempermainkan badan Nova. Namun Nova malah mengelus
paha Mbak Ida yang kini menghimpit pinggangnya di
kiri-kanan.
"Tenang aja lah Sar, Nggak apa-apa kan,
sekali-sekali!" Seru Mbak Ida, "Ben, kamu ikuti apa
yang aku kerjakan ya?"
 
Mengakhiri kalimatnya itu, Mbak Ida lalu meremas-remas
payudara Nova dengan mantap namun lembut sambil
menjilati rahang dan lehernya. Nova tampak memiringkan
kepalanya, terpejam-pejam sambil mendesah-desah
menggumamkan nama Mbak Ida. Tiba-tiba aku merasakan
apa yang kini dirasakan oleh Nova. Tangan-tangan Beni
menyusup di antara payudaraku dan kasur ini, lalu
meremas-remas dan memilin-milin puting susuku. Aku
terhenyak dan memejamkan mata karena serbuan yang
tiba-tiba itu, segera aku mengosongkan pikiran dan
membuang semua logika, membiarkan diri larut dalam
petualangan baru.
 
Pelan-pelan aku merasa tubuhku diangkat dan
didudukkan di ranjang, sementara Beni duduk di
belakangku dan mengusap serta meremas-remas kedua
payudaraku lembut. Sejenak kemudian puting-puting
susuku terasa menegang terangsang, sementara payudara
ini terasa kaku dan memadat. Aku membuka mata dan
melihat bagaimana Mbak Ida menghimpit pinggang Nova
dari belakang dengan kedua kakinya, ibujari kaki kanan
Mbak Ida kini menyusup ke balik celana bikini Nova dan
bergerak-gerak disitu, sementara tangannya terus
menjentik-jentik puting susu Nova. Mbak Ida sendiri
tampak amat terangsang, dagunya terkait di pundak kiri
Nova sambil wajahnya terpejam-pejam, mungkin karena
gesekan dadanya dengan punggung Nova. Sementara Nova
tak kalah terangsang, kedua alisnya menyatu di tengah
kening dan giginya terkatup meski bibirnya setengah
terbuka, dan mendesah-desah norak,
"Aduuhhhh...aduuuhhhh....enaknya Mbak
Idaaahhhh...aduuhhhhssshh. Birahi dalam tubuhku
tergugah ketika melihat Nova diperlakukan seperti itu,
terbayang rasanya jika badanku diperlakukan demikian.
 
Tampaknya Beni menyadari hal itu, namun tidak
menirukan gerakan Mbak Ida. Ia menyusupkan kepalanya
di bawah ketiak kiriku dan mengulum-ngulum puting
susuku dari situ, Uhhh...rasanya geli dan merangsang
bukan main. Sementara jari-jari tangan kanannya
menguakkan bibir kewanitaanku hingga terbuka dan jari
tangan kirinya memijit-mijit di dalam situ,
Aduuuhhhh...nafasku sampai tersengal-sengal dan
rasanya sulit menjaga kedua mataku agar tidak
menyipit-nyipit. Aku hanya menggeretakkan gigiku
rapat-rapat menahan rangsangan ini. Ingin memejamkan
mata, namun aku tidak ingin melewatkan pemandangan di
hadapanku, dimana Nova sedang dikerjai habis-habisan
oleh tangan-tangan Mbak Ida yang begitu berpengalaman.
Ohh, sungguh pemandangan yang membuat kewanitaanku
berdesir melembab.
 
Titik-titik keringat mulai tampak di tubuh Nova meski
AC sangat dingin. Tubuh lencir atletis itu kini tampak
lunglai seperti selembar handuk, dan pasrah saja
ketika Mbak Ida menelentangkannya di karpet dan
menjilat-jilat paha bagian dalamnya. Saat diperlakukan
seperti itu, Nova menggeliat-geliat seperti kesetanan
sambil mengaduh-aduh keras dan kedua tangannya
berpegangan pada kepala Mbak Ida di selangkangannya.
Melihat kondisi itu, otot-otot kewanitaanku tiba-tiba
mengejang menangkap jari tengah Beni yang sedang
berada di dalamnya. Merasakan jarinya dijepit begitu,
Beni malah menggerakkannya keluar masuk kewanitaanku
dengan cepat sambil mengait-ngait di dalam, tentu saja
tubuhku jadi terjingkat-jingkat kegelian dan
punggungku melengkung seperti busur panah. Kudekap
kepala Beni yang menempel pada puting susu kiriku agar
ia tak menghentikan hisapan dan jilatannya pada puting
yang telah mengeras ini. Rintih dan eranganku ikut
terdengar memenuhi ruangan, menutupi lembutnya alunan
saxophone Kenny G.
 
Aku benar-benar telah terangsang hebat. Aku tidak
lagi mempedulikan Nova dan Mbak Ida yang kini tengah
berpelukan erat sambil paha-paha mereka saling
menggesek kewanitaan mereka. Aku bangkit dari duduk
dan menunggingkan badanku, mempersilakan Beni
menikamkan kejantanannya. Sejenak Beni melepaskan
tubuhku, terdengar suara kain berjatuhan saat Beni
membuka Jeans-nya, lalu tubuhku segera terasa penuh
terjejali benda hangat yang keras dan tegang, yang
membuatku langsung terpejam dan menengadahkan kepala
menahan rasa nikmat tak terkira ini. Aku setengah
membuka mata sambil meringis-ringis keenakan. Kedua
alisku kini menyatu di keningku, mengikuti ekspresi
penuh birahi dari Nova dan Mbak Ida di karpet. Terasa
pinggul Beni menabrak-nabrak pantatku ketika ia
menggerakkan tubuhnya maju mundur. Gesekan
kejantanannya terasa membuat dinding-dinding
kewanitaanku menjadi panas dan berdenyut. Otot-otot di
dalam sana berusaha mencengkeram kejantanan yang
bertekstur kasar itu...Aduuuhhhh...rasanya nikmat
sekali disetubuhi dari belakang sambil menatap tubuh
kawan sekantorku dinikmati habis-habisan oleh seorang
wanita petualang berpengalaman.
 
Bermenit-menit lamanya posisi tidak berubah, namun
kenikmatan serta sensasi yang kurasakan terasa kian
memenuhi batinku. Badanku terasa begitu nikmat
digempur oleh kejantanan Ben, apalagi kedua telapak
tangannya kini berada pada payudara-payudaraku dan
memencet-mencet puting susuku. Uhhh...enak sekali
rasanya...Dari atas ranjang besar ini, aku melihat
tubuh-tubuh indah Mbak Ida dan nova kini saling
berdekapan makin erat dan kaki-kaki mereka semakin
cepat bergerak pada selangkangan mereka...lalu kedua
tubuh semampai itu tiba-tiba mengejang dan wajah-wajah
mereka menunjukkan eksresi kosong yang setengah
memejamkan mata dan mulut menganga. Lalu keduanya
lunglai di atas karpet sambil terengah-engah dan tetap
berpelukan. Aku membayangkan nikmat dan hangatnya
puncak yang telah mereka capai dan
menggoyang-goyangkan pinggulku untuk berjuang mencapai
puncakku sendiri. Beni tampaknya juga dapat bekerja
sama, ia mengikuti gerakan-gerakanku. Namun tidak
semuanya sesuai harapan, tiba-tiba Beni mencabut
kejantanannya dan melepaskan kedua payudaraku. Aku
masih tetap menungging pada kedua lututku di ranjang
ketika cairan panas terasa menyemprot ke punggungku.
Ahhh, sial benar nasibku. Beni telah mencapai
puncaknya, dan kini duduk di tepi ranjang sambil
terengah-engah pucat.
 
"M-Maafkan saya, Bu..." Kata Beni terbata-bata.
"Hmmhhh...." Aku menarik nafas panjang sambil menatap
kedua matanya penuh rasa marah.
"Nggak apa-apa kok Ben, kamu hebat sekali." Jawabku
setelah menguasai emosi, "Dah, tidur di kamarmu sana!"
 
Beni lalu berjalan tertatih-tatih keluar kamar. Aku
menatapnya dengan rasa benci, dasar pria tidak
bertanggung jawab! Mending kalau dia suamiku, tapi dia
hanya pembantu kawanku, sebal sekali rasanya.
Kutelentangkan diri di ranjang besar itu menatap ke
langit-langit yang berhiaskan cermin di sana-sini.
Menatap bayangan tubuhku sendiri yang gelisah di atas
sprei putih yang kusut, menatap bayangan tubuh Nova
dan Mbak Ida yang masih saling berpelukan di karpet
sambil terpejam dengan ekspresi puas. Sungguh tidak
adil, pikirku. Karena birahiku sulit kutahan, akhirnya
aku melakukan apa yang selama ini pantang kulakukan,
yaitu memuaskan diri sendiri.
 
Kupejamkan kedua mataku, aku berkonsentrasi penuh
membayangkan postur tubuh laki-laki idamanku, The Big
D! Kubasahi ujung jariku dengan lidah, lalu
kupilin-pilin kedua putingku, membayangkan ia sedang
mengulum-ngulumnya...hmmm...tidak terasa seperti
dikulum beneran, tapi siapa peduli itu di tengah
kondisi seperti sekarang. Kutekan-tekan sendiri
klitoris dan liang kewanitaanku yang terasa becek dan
hangat. Uhhh...cukup lama juga aku menggeliat-geliat
sendiri di atas ranjang besar itu sambil kedua
tanganku menjamah tubuhku sendiri. Sampai tiba-tiba
aku merasakan kasur bergerak-gerak karena ada orang
lain yang naik ke ranjang. Ah, pasti Mbak Ida ingin
memanfaatkan situasi, pikirku. Tadinya aku ingin
menolak, tapi kuurungkan niatku karena ingin mencapai
puncak yang sejak tadi tidak kesampaian. Kubiarkan
saja ia menjamah tubuhku sambil aku tetap dengan setia
membayangkan bahwa The Big D lah yang melakukannya
padaku.
 
Terasa jilatan-jilatan dari lidah dan bibir yang
halus dan hangat menyapu kedua putingku bergantian,
pelukan hangat terasa seperti menyelimuti tubuh
rampingku, dan sebuah paha halus menyelip di antara
kedua tungkaiku, menggosok-gosok di situ. Sebuah jari
lentik menyusul masuk ke dalam liang
kewanitaanku...disusul satu jari lagi hingga kini dua
jari berdesakan di dalam liang kewanitaanku.
Uhhh...semuanya membuatku seperti melayang-layang di
udara. Ahh, aku tidak tahu apa lagi yang terjadi, yang
jelas seluruh tubuhku seperti diselimuti kehangatan
yang amat nyaman. Sentuhan jemari-jemari lentik dan
bibir lembut bergantian menyapu ke sekujur badan ini,
memercikkan bunga-bunga api birahi yang makin lama
makin terasa hangat dan nikmat. Kedua jari dalam liang
kewanitaanku pun menari-nari dengan gemulai seolah
sudah mengenal betul tempat-tempat yang harus
dihinggapinya. Ahhh...nikmattt sekali, meski aku
memejamkan mata, aku seperti dapat melihat tubuhku
sendiri sedang menggelinjang-gelinjang dan
mengerang-ngerang dijilati oleh lidah-lidah api birahi
ini.
 
Tidak seperti biasanya, puncak kenikmatan kali ini
terasa datang perlahan-lahan dan lembut. Kehangatan
tiba-tiba menyelimuti tubuhku ketika aku merasakan
tubuhku dipeluk dengan hangat dan erat serta leherku
dihujani ciuman, menambah kenikmatan di puncak yang
kini baru saja kurasakan. Hm...terbayang wajah dan
tubuh The Big D memelukku dengan penuh kasih sayang.
Sulit juga membayangkan otot-otot padatnya, karena
yang kurasakan menempel di dadaku sekarang adalah
payudara wanita lain, dan bukannya dada The Big D yang
bidang dan ditumbuhi rambut-rambut halus itu. Tapi
rasa nikmat terus mengguyur sekujur tubuhku, hingga
sempat aku tak ingat apa-apa untuk beberapa detik.
 
Pelan-pelan gelombang kenikmatan itu meninggalkan
diriku, membiarkan kesadaranku kembali mengambil alih.
Masih terasa dekapan hangat pada tubuhku. Terpikir
juga olehku untuk mengucapkan terimakasih nanti pada
Mbak Ida, sekaligus mengucapkan selamat karena ia
berhasil menjamah tubuhku kali ini. Hmm...hampir aku
membuka mata, namun kuurungkan niatku karena masih
ingin menikmati kehangatan pelukan yang somehow terasa
penuh kasih sayang ini. Aku mempererat pelukanku pada
tubuh semampai yang menindihku itu, sampai aku
menyadari bahwa bahu tempat daguku bersandar terasa
lebar dan berotot kencang seperti bahuku sendiri. Ah?
Aku hampir tidak percaya. Pelan-pelan aku membuka
mata, dan menatap tajam ke arah cermin di
langit-langit yang kini menunjukkan dengan jelas siapa
yang bercinta denganku barusan.
"Nova?!!" Aku menjerit agak membentak sambil
melepaskan pelukan hangat itu.
Kulihat Nova agak terkejut. Tubuh telanjangnya kini
teronggok di sampingku dengan tangannya masih memegang
bahuku. Wajahnya tampak sayu meski dipenuhi ketakutan.
Sorot matanya tampak menyesal dan menatap sendu ke
arah mataku.
"Whattahell have you done?" Tanyaku setengah membentak
tanpa mengharapkan jawaban. Dan memang Nova tidak
menjawab. Ia hanya menatapku dengan wajah manisnya
yang kini tampak sedih. Bibirnya bergerak-gerak pelan
meski terkatup rapat, dan matanya yang biasanya tajam
itu kini digenangi setetes air yang kemudian bergulir
jatuh melewati pipinya.
 
Aku tidak mempedulikannya dan segera bangkit berdiri
dari ranjang. Dengan tanpa berusaha menutupi
ketelanjanganku, aku melangkah cepat ke arah pintu,
dan bergegas kembali ke kamar mandi dan mengguyur
kepalaku dengan air dingin. Tanpa menunggu badanku
kering, aku melanjutkan langkah kembali ke ruang tamu,
mendapati pakaian kerjaku tergeletak kusut di meja
makan, dan segera mengenakannya kembali pada tubuhku
yang masih basah. Aku terduduk di kursi sambil kedua
sikuku bertelekan di meja dan telapak tanganku
mencengkeram kepalaku sendiri, menyesali yang terjadi
barusan. Bukan diriku sendiri yang kusesali, melainkan
Nova. Anak muda yang manis itu, yang dulunya lugu
namun cerdas, yang secara tak sengaja terseret dalam
pola hidupku, yang kini terseret makin jauh. Ah,
gila...kenapa aku merasa demikian bersalah? Mungkin
karena selama ini aku memproyeksikan Nova untuk bisa
menggantikan posisiku di perusahaan, mungkin karena
aku juga bercita-cita untuk merubah hidupnya yang dulu
kurang bahagia, mungkin juga karena aku sudah begitu
mencintai dan menganggapnya seperti adikku sendiri,
dan jelas-jelas telah membawanya pada kehidupan
yang...seperti ini. Apakah aku sudah menyeretnya
terlalu jauh di luar kemauan kami sendiri?
"Sari." Suara berat Mbak Ida tiba-tiba mengejutkanku.
Aku melepaskan cengkeramanku pada kepalaku sendiri,
mengusap mataku yang tadi agak berkaca-kaca, dan
menatap tajam ke arah wanita itu dengan sorot mata
sangat menyalahkan.
"Kamu mau nyalahin aku lagi?" Tanyanya dengan nada
datar sambil terus menatap mataku dari seberang meja
makan.
 
Ia masih mengenakan kimono hitam tipisnya yang tadi
sempat kukenakan. Tali kimono dibiarkannya tidak
terikat hingga separuh tubuhnya terlihat jelas. Rambut
merahnya pun masih belum benar-benar kering, hingga
penampilannya secara keseluruhan terlihat agak
menakutkan.
"Ini memang yang kamu mau 'kan, Mbak?" Tanyaku kembali
dengan nada tajam.
Mbak Ida menggelengkan kepala sambil memejamkan mata,
"Nggak." Jawabnya singkat.
"Kamu terlalu memaksakan dia untuk menjadi seperti
kamu." Lanjut Mbak Ida sambil berdiri dari kursinya
dan melangkah ke arah rak buku di sudut ruang tamu.
Aku diam saja, sambil terus mengikuti kemana jalannya
tubuh semampai itu.
"Apakah itu salah?" Tanyaku padanya, seperti tidak
mengharap jawaban.
"Nggak." Jawab Mbak Ida tetap membelakangiku, "Sama
sekali nggak salah."
Aku tetap terdiam sambil menatapnya mengambil sebuah
buku dan membalik-balik beberapa halaman, menyelipkan
sebuah pembatas halaman pada halaman yang
dikehendakinya, lalu kembali menghampiri meja sambil
menatap wajahku. Diletakkannya telapak tangan kirinya
di bahuku sambil memijit-mijit kecil, aku
membiarkannya berbuat begitu sambil menunggu
kata-katanya lagi.
"Orang seperti kamu, yang kepala batu dan berambisi
tinggi..." Katanya seperti setengah berbisik, "...yang
merasa serba bisa, dan merasa paling kuat..." Ia
berhenti sejenak sambil mengangkat tangannya dari
bahuku, "...pengen mencoba merubah kehidupan seorang
yang lugu seperti Nova? Agar dia bisa jadi seperti
kamu? Agar dia bisa 'hidup bahagia dan bebas' seperti
kamu? Agar dia bisa memilih kemana akan hinggap dan
tidak harus menunggu dihinggapi?"  Cerocosnya dengan
nada menyalahkan, ia menyebutkan kembali semua kalimat
yang pernah kukatakan padanya tentang filosofi
hidupku, tentang ambisi pengejaran cita-cita dan pola
pikir struggle for excellence yang selama ini aku
anut. Entah kenapa, tapi kata-kata Mbak Ida seperti
membuatku jadi merasa makin tidak enak dan merasa
bersalah.
 
"Cobalah sekali-sekali ngaca, Sar!" Serunya lagi
sambil meletakkan buku yang baru diambilnya di
hadapanku, "Coba pikir siapa sebenarnya kamu...apa
yang sebenarnya kamu kejar...apa kamu yakin kalau
orang lain juga bisa mengikuti pola pikir kamu?"
Dagunya bergerak ke atas sedikit, memberiku komando
agar melihat ke arah buku yang diletakkannya tadi.
 Tanganku bergerak meraih buku hard cover bersampul
cokelat gelap itu, "Becoming a Person of Influence"
Judulnya.
 
Pelan-pelan aku membuka halaman yang oleh Mbak Ida
telah diberi pembatas. Di situ tertulis sebuah salinan
dari sebuah batu nisan di Inggris, yang bunyi
terjemahannya kurang lebih begini,
"Semasa mudaku, aku bercita-cita mengubah sikap dunia.
Namun ternyata tidak mudah. Setelah aku beranjak
dewasa, aku bercita-cita mengubah sikap negaraku.
Namun ternyata tidak mudah juga. Setelah aku beranjak
tua, aku bercita-cita mengubah sikap keluarga dan
sahabat-sahabatku. Namun ternyata sudah terlambat.
Kini, di akhir hayatku aku terpikir, seandainya sejak
awal aku mengubah sikapku sendiri, mungkin keluarga
dan sahabat-sahabatku akan ikut berubah sikap, dan
mereka bisa membawa perubahan pada negaraku. Dan jika
negaraku berubah lebih baik, pengaruhnya akan mengubah
sikap dunia menjadi lebih baik."
Sejenak aku merenungi tulisan yang baru kubaca.
Tulisan itu seperti menyadarkan diriku tentang apa
yang seharusnya lebih kupikirkan tentang diriku,
tentang masa depanku, dan tentang kehidupan orang lain
di sekitarku. 
 
Lama setelah itu, Nova muncul dari kamar mandi dengan
mengenakan kimono handuk berwarna merah muda. Tanpa
berkata apa-apa dan tanpa melihat ke arahku, ia
mengambil pakaian kerjanya di meja makan, lalu
membawanya kembali ke kamar mandi, untuk beberapa
detik kemudian ia keluar lagi dengan sudah mengenakan
pakaian kerja yang tadi dipakainya kemari.
"Aku rasa sudah waktunya kalian untuk pulang." Ujar
Mbak Ida dengan nada datar sambil tidak melihat ke
arah kami.
 
Tanpa banyak basa-basi, aku dan Nova melangkah keluar
ruangan. Di beranda, Lubas Herera memandangi kami dan
berjalan mengikuti kami sampai ke gerbang yang tidak
terkunci. Aku melangkah masuk ke Katana hijauku, dan
Nova menyusul setelah menutup gerbang dan mengunci
gemboknya, meninggalkan Lubas Herera yang kini berdiri
dengan dua kaki belakangnya hingga kepalanya seperti
melongok keluar dari lubang di gerbang kayu itu.
Tatapan bodohnya mengiringi kepergian kami.
 
Di dalam mobil, Nova meminta maaf padaku dan
mengatakan bahwa ia melakukannya padaku tadi karena
menyayangiku. Aku menarik tubuhnya dan membiarkannya
bersandar pada bahu kiriku sementara aku mengemudi.
Kubiarkan ia menangis sejadi-jadinya di bahuku.
Meratapi kesepiannya sekarang, meratapi kesendiriannya
di kota S, kota yang semula dijadikan tumpuan
harapannya untuk masa depan yang baik. Sambil
mengemudi, tanpa terasa pipiku sendiri juga dialiri
air dari mataku. Aku menenangkan Nova dan menyatakan
pengertianku padanya. Kami berjanji untuk tetap tidak
mengulangi kesalahan yang seperti tadi, sekaligus
menyatakan diri untuk saling menganggap adik-kakak,
agar hubungan kami lebih dari sekedar teman sekerja.
Aku pun berjanji pada diriku sendiri untuk lebih
memberikan pengertian pada Nova, bahwa perburuan yang
selama ini terjadi bukannya didasari oleh pemuasan
kebutuhan, melainkan untuk mencari yang terbaik. OK,
kadang-kadang memang ada dorongan yang tak terelakkan
untuk lebih mementingkan kebutuhan diri. Namun pikiran
logis dan akal sehat tetap harus menduduki prioritas
pertama. Aku mengantar Nova kembali ke pondokannya,
lalu memacu Katana Hijau sekencang-kencangnya kembali
ke "The Huntress's Lair" nama yang diberikan oleh The
Big D untuk tempat tinggalku di apartemen P di ujung
barat kota.

Nah, ceritanya sudah selesai. Sekedar info, teman saya
Nova itu kini sudah menikah dengan seorang banker
sukses, dan memiliki seorang anak laki-laki yang manis
seperti ibunya. Sebenarnya banyak petualangan yang
saya lewatkan bersamanya. Namun kini ia tidak lagi
mengembara, tidak juga menggantikan posisi lama saya
di kantor. Ia lebih memilih hidup bahagia bersama
keluarganya dan mengelola usahanya sendiri. Mbak Ida
kini juga sudah pensiun dari avonturirnya. Ia hijrah
ke Aussie untuk menetap bersama kekasihnya, seorang
wanita pengusaha yang juga sukses di bidang real
estate. Sementara saya sendiri? Well, goals saya
adalah mencapai posisi tertinggi di kantor dalam
beberapa bulan ke depan, menikah, lalu mengundurkan
diri dari jabatan bergengsi itu untuk mengelola bisnis
sendiri bersama pasangan saya. Semoga apa yang saya
pelajari dari kehidupan ini bisa berguna untuk masa
depan saya, dan masa depan generasi berikutnya. Semoga
juga saya mampu memperbaiki diri saya sendiri dulu,
seperti di kutipan buku yang ditunjukkan Mbak Ida pada
saya tadi. Bagaimana dengan Anda?

Sari The Lust Hunter - 5

Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---


Malam itu, sepulang dari kantor, dua orang wanita rekanku mengajak bersenang-senang sejenak untuk melupakan kesibukan. Memang hari-hari itu terasa sangat menyesakkan dada dan memeras keringat (Meski agak memalukan kalau diingat bahwa semua kesibukan yang kulakukan itu hanya untuk bisa memarkir mobil di sebuah petak yang berbeda dengan yang selama ini harus didapat secara berebut). Kedua temanku itu Reni dan Nova single dan masih muda, usianya dua-tiga tahun dibawahku (tua nih!) Mereka relatif masih 'fresh from the oven' dan belum banyak mengenal dunia malam, meski ngakunya sok 'bergaya hidup bebas'.Sejak awal, mereka berjanjian untuk memakai busana paling seksi dan 'mengundang' untuk acara malam itu. Ketika mereka mengajakku untuk tampil demikian, aku hanya tersenyum karena mereka mengatakannya di kantin hingga didengar banyak orang. Tapi sejujurnya aku rada bingung juga untuk memilih pakaian macam apa yang harus kukenakan malam itu. 


 Setelah menanti jarum jam bergerak dengan sangat lamban, akhirnya waktu yang dinanti-nanti tiba. Nova yang kebetulan adalah bawahanku di kantor, segera menyerbu masuk ke kamar kerjaku dengan tergopoh-gopoh.


"Bu Sari...Jadi nggak nih?" Tanyanya sambil menggerak-gerakkan gagang pintu untuk meyakinkan bahwa sudah terkunci dari dalam.
"Jadi dong, udah siap?" Tanyaku. "Eh, ntar jangan manggil bu ya? Aku jadi kerasa tua."
"Oh iya, sori mbak Sari." Jawabnya sambil meletakkan kantong plastik besar di meja kerjaku yang masih penuh kertas-kertas laporan.
"Apa tuh?"
"Pakaian buat nanti." Jawabnya sambil menuang isi kantongnya ke meja kerjaku yang malang itu.
"Iya, iya...tapi gantinya ntar aja! Kan kita makan malam dulu!" Jawabku sambil memungut sebuah sackdress hitam yang jatuh dari kantongnya.
"Apa nggak jemput Reni dulu, bu...eh, mbak?"
"Iya, tenanglah, gugup amat sih?"


Nova hanya tertawa kecil mendengar komentarku. Ia lalu meminjam telepon dan meninggalkan pesan di rumahnya agar ayahnya tidak menjemputnya di kantor karena ia harus lembur sampai larut malam, dasar anak nakal, pikirku. Lebih nakal lagi ketika ia menyerahkan gagang telepon padaku untuk bicara dengan ibunya dan menerangkan bahwa aku yang akan mengantarnya pulang seusai lembur. (duh!)
Nova menumpang di Katana hijauku. Kami lalu menuju ke ujung timur kota S untuk menjemput Reni, yang bekerja di salah satu cabang bank swasta dengan logo lucu. Agak keberatan juga sebenarnya, karena kedua anak itu minta untuk makan malam di apartemenku yang berada di ujung barat kota, tapi akhirnya aku setuju saja. Sudah begitu, sesampainya di rumahku, Nova dan Reni tidak membantuku menyiapkan makan malam. Nova mematut-matut dirinya di depan cermin dengan sackdress hitamnya yang ketat, sementara Reni malah dengan giatnya meng-explore rumahku dengan komentar-komentar konyolnya mengenai ruang-ruang yang dicat hitam.
"Enak ya, punya rumah begini." Komentar Reni sambil melihat keluar jendela, memandangi lampu-lampu di jalan yang tampak kecil dari lantai itu.
"Hm, yah, nggak ada halamannya tapi, dan juga nggak bisa melihara anjing." Jawabku sambil menata piring di meja makan.


"Mbak, ini bagusnya dikasih sabuk apa enggak ya?" Tanya Nova dari kamar tidurku.
"Nggak usah, tapi tutup aja dengan kemeja tipis, biar ngga terlalu mencolok gitu." Jawabku karena baju itu kelewat ketat di bagian dadanya.
"Wah, aku nggak bawa tuh." Jawab Nova. "Kalau pinjam yang kuning ini boleh nggak, Mbak?" Rupanya anak itu sudah mengobrak-abrik lemari pakaianku juga.
"Oh iya, aku juga mau pinjam yang ini ya, Mbak!" Kata Reni juga dari kamar tidurku. "Aku udah lamaaa pengen pakai baju Escada."


Setelah berbagai keributan dan kekonyolan, akhirnya kami siap juga. Waktu yang tadinya kuperkirakan akan longgar, ternyata tersita cukup banyak hanya untuk mendandani mereka berdua. Harus kuakui, mereka memang tampak elegan dan menggoda. Tentu saja begitu, karena apa yang mereka pakai hampir semuanya milikku!
Aku mengenakan jins stretch Armani hitam, kaos ketat hitam tanpa lengan, dibalut kemeja Kenzo kuning yang kancingnya terbuka semua dan ujung bawahnya kuikat.  Reni mengenakan celana ketat Escada biru muda yang agak kekecilan (karena bukan miliknya!), dan kemeja Versace ketat kembang-kembang biru tua. Sementara Nova tetap memakai sackdress mini hitam ketat yang sedari tadi disiapkannya dari rumah, namun melapisinya dengan kemeja D&G putih transparan yang diambilnya dari wardrobeku.
Akhirnya, pada jam sembilan malam, Katana hijau berhenti di depan pintu utama hotel S, yang menempel pada plaza T3, salah satu plaza besar di kota S ini. Dalam hotel S itu terdapat sebuah Niteclub, namanya B. Niteclub biasa sih, tapi pihak manajemennya memberi positioning "Fun Pub" pada tempat itu.  Setelah menyerahkan mobil pada valet, kami mulai berjalan melewati lobi hotel itu untuk menuju ke Niteclub B. Puluhan pasang mata pria segera tertuju pada kami bertiga, well...dapat dimaklumi, karena Nova yang jangkung dan mantan atlet itu tampak begitu anggun dan elegan tanpa kehilangan kesan seksi, sementara Reni yang langsing dan agak pendek tampak begitu sensual dengan tampangnya yang tirus dan dingin. Sementara aku sendiri? Well, hak sepatu setinggi 17 senti membuat tubuhku yang 176 ini tampak seperti kereta api yang diberdirikan.
Dekorasi dalam niteclub itu dibuat bernuansa gaya afrika, lengkap dengan pohon-pohonan dan monyet-monyetan. Kami bertiga duduk di sekitar bar yang terdapat di tengah ruangan. Aku duduk di tengah, Nova dan Reni di samping kiri-kananku. Bartender menyapaku dengan ramah, karena aku pernah mengunjungi tempat itu beberapa kali. Untuk mencegah resiko yang tidak-tidak, aku meminta Reni dan Nova untuk tidak memesan minuman yang aneh-aneh, sementara aku sendiri tetap setia dengan trademark-ku, aqua tidak dingin.
"Dah, have fun, sana!" Kataku pada dua temanku di sela bisingnya musik dari sebuah band asal Filipina.


"Mm...gimana mau having fun, tempatnya brisik gini." Teriak Reni di depan telingaku.
Selagi aku omong-omong dengan Reni, seorang pria bule duduk di stool di samping Nova dan menyapanya ramah.
"Ren, lihat tuh, si Nova dapat gebetan!" Teriakku di kuping Reni.
"Ih, kok bule?" Teriak Reni di kupingku dengan nada bertanya.
"Kenapa emang?" Teriakku balik.
"Bule kan biasanya senang dengan yang item, pendek, dan jelek?" Kata Reni, "Nova kan bukan tipe begitu?" Sambungnya.
"Bule yang ini kayaknya lebih berselera tinggi!" Jawabku sambil membiarkan seorang pria berpakaian casual duduk di samping Reni. 
Tidak butuh waktu terlalu lama untuk membuat Reni dan Nova bercakap-cakap akrab dengan kedua 'teman barunya'. Mereka memang berlatar belakang PR dan CS, sehingga menyenangkan dan mudah diajak bergaul. Si Bule mengajak Nova turun ke lantai dansa dan Nova mengikutinya. Mereka berdua berdansa mengikuti lagu 'Celebration' yang dinyanyikan band itu. Nggak nyangka juga, ternyata Nova yang tadinya terkesan kuper, kini melenggok dengan seksinya di lantai dansa. Bajunya (Eh, bajuku!) dibiarkan terbuka kancing-kancing atasnya, hingga bahu indahnya tersingkap saat ia bergerak. Si bule tampak makin penasaran, aku hanya tertawa geli melihat wajah Nova yang kini perpaduan antara risih, geli, bingung, sekaligus senang.
"Eh, kenalin Mbak, ini  Norman." Kata Reni memperkenalkan teman barunya padaku.
"Norman..."Kata pria berdagu panjang itu memperkenalkan diri, "Rasa-rasanya kok pernah ketemu ya?" Tanyanya lagi.
"Hm...mungkin juga sih." Jawabku sambil mengingat-ingat, "Kerja di mana Mas Norman?"
"Advertising." Jawab pria itu sambil berdiri memasang gaya macho di depan aku dan Reni.
"Ooh, mungkin kita emang pernah kenal." Jawabku lagi sambil menyebutkan beberapa nama di dunia Ad yang pernah kukenal.
Akhirnya pembicaraan kami menjadi akrab, dan Reni jadi agak tersingkir karena ia berasal dari dunia banking, dunia yang berbeda.
"Kalo ngga salah...Sari temannya Ditto kan?" Tanya Norman lagi. "Dulu kalo ngga salah ketemunya kan pas bareng dia?"
"Hm, yah...agak lebih dari sekedar teman!" Jawabku. Sengaja aku berkata begitu agar perhatian Norman kembali difokuskan pada Reni.
"Wah, salam buat Ditto yah!" Kata Norman sambil menghabiskan sisa Coke-nya. "Kalau Reni, kerja dimana?"
Buset, cepat amat perhatiannya beralih hanya gara-gara ia mendengar nama pacarku itu. Akhirnya Reni dan Norman pun turun ke lantai dansa, meninggalkan aku sendirian.
Karena Nova dan Reni tampak asyik masyuk bersama pasangannya masing-masing, aku meninggalkan pub itu untuk sekedar mencari suasana lain.
Aku berjalan ke lobi hotel itu dan duduk di salah satu kursinya, mengamati orang-orang yang baru pulang dari sebuah pesta pernikahan di lantai atas. Mataku melihat-lihat ke arah balkon, dan menjumpai seorang pria melambai-lambaikan tangannya padaku. Karena waktu itu lensa kacamataku sudah waktunya ganti, aku hanya membalas dengan senyum tanpa yakin benar siapa orang itu. Tapi pria itu lalu menuruni anak tangga dan berjalan ke arahku. Ternyata dia adalah Anto, seorang broker forex yang bekerja di perusahaan investasi valuta asing  yang berlokasi di lantai dua hotel itu. Aku mengenalnya cukup baik, karena pacarku Ditto pernah menginvestasikan sejumlah uangnya di tempat itu.
"Apa kabar, mbak?" Katanya sambil menjabat tanganku, "Nggak sama Pak Ditto?"
"Nggak, dia lagi di Jakarta." Jawabku. "Tambak imut aja Tok?" Sambungku begitu melihat ia tak lebih tinggi dari dadaku karena sepatu hak tinggi yang kukenakan.
"Ah, biar imut yang penting kan kualitasnya!" Jawabnya bercanda sambil menyalakan sebatang Gudang Garam Surya.
Dia lantas menceritakan bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di perusahaan forex itu karena terlalu lama tidak mendapatkan klien.
"Karena nggak dapat klien, atau karena nggak dapat jodoh, Tok?" Tanyaku menggoda.
"Dua-duanya sih!" Jawabnya. "Abis susah cari cewe yang bisa mengerti profesi seperti ini, kerja sampai pagi."
"Yah, kamu sih, masa cewe kamu ajak ngomongin duiiit terus. Mending kalo duit itu duit kamu."
"Hahaha, iya juga yah. Mungkin aku perlu juga nambah wawasan."
Seperti diundang, Reni muncul di hadapan kami. Rupanya ia kurang menyukai suasana ramai di pub tadi. Aku memperkenalkannya dengan Anto.
"Tok, Reni ini bankir, kerjaannya sama kayak kamu, ngitungin duit orang." Kataku pada Anto dengan nada penuh arti.
"Oh ya? di bank mana?" Tanya Anto pada Reni dengan tatapan agak nakal. Mata Reni memang mudah membuat pria menatapnya dengan gaya begitu.
Keduanya segera berbincang-bincang ramai membicarakan masalah mata uang asing, topik yang agak aku hindari karena pacarku pernah kehilangan duit agak banyak dalam bidang itu.
Aku hanya senyam-senyum sambil sesekali bilang "Oh ya?" dan "Luar biasa." saja di sela pembicaraan seru mereka. Sampai akhirnya si Norman yang tadi 'kehilangan' Reni di pub menyusul kami dan mengajakku pindah ke meja lain.
"Sar, temanmu yang satu lagi seru deh." Kata Norman sambil menawarkan sebatang Dunhill menthol yang aku tolak.
"Oh ya? Ngapain emangnya dia?"
"Band-nya main lagu Crazy, trus dia slow dance sama orang bule, wah, dance-nya rapet banget, bikin yang nonton pada deg-degan."
"Crazy-nya Julio Iglesias apa Crazy-nya Aerosmith?" Kataku bercanda.
Kami lalu tertawa-tawa dan melanjutkan pembicaraan akrab, karena memang kami pernah ketemu, dan kebetulan mengenal banyak orang yang sama.
"Nggak sepi ditinggal Ditto ke Jakarta?" Tanyanya di tengah pembicaraan.
"Iya nih,  sepi." Jawabku sambil menyandarkan punggung di sofa, "Kenapa? Mau nemenin?"
"Wah, kan nggak enak sama Ditto." Jawabnya, "Bisa-bisa aku disembelihnya."
"Hihihihi...berarti, kalau faktor Ditto kita singkirkan, kamu oke-oke aja ya, Man?"
"Ya tergantung kamunya." Jawab Norman santai, tapi matanya memberi isyarat lain.
Tidak perlu kuceritakan apa yang kami obrolkan sesudah itu, tapi lima menit kemudian aku berbisik pada Reni yang masih asyik ngomongin duit dengan Anto.
"Ren, aku tinggal dulu sebentar, nanti aku balik lagi."
"Mau kemana, Mbak?" Tanya Reni.
"Ke atas sebentar, nanti balik lagi kok. Kamu sama Nova tunggu aja, ok?" Jawabku.
Karena masih sedang berdiskusi seru dengan Anto, Reni mengangguk saja. Aku dan Norman segera melangkah cepat keluar dari lobby dan menuju ke gedung apartemen yang terletak bersebelahan dengan hotel itu. Norman mendapat fasilitas untuk menginap di situ selama semalam karena mengerjakan Ad untuk apartemen itu.
Setelah menebar senyum manis pada satpam dan resepsionis, dan setelah menyusuri koridor yang agak panjang, kami tiba di unit kamar yang ditempati Norman. Unit apartemen itu tidak besar, namun mewah. Lebih mewah dari apartemen yang kutinggali di ujung barat kota.
"Wah, untung juga kamu dapat voucher nginep disini." Kataku sambil mengamati perabotan luks di ruang tamu unit itu.
"Aku lebih untung lagi karena kamu ada disini." Jawabnya. "Dan si Ditto lagi di Jakarta!" Sambungnya bercanda.
"Untuk sementara, nama itu tidak perlu diingat-ingat dulu." Jawabku sambil melepas ikatan di ujung bawah kemeja Kenzo kuningku.
Aku dan Norman berdiri bertatapan dengan jarak dua meter, aku melepaskan kemejaku dan membiarkannya jatuh ke lantai, sementara Norman melepaskan kaosnya dengan gerakan yang cepat dan tegas, lalu melemparkannya ke samping.
"Copot sepatumu dong, aku risih harus melihat ke atas." Katanya sambil tetap memasang muka serius.
Aku segera melepaskan kakiku dari sepatu, dan menendangnya ke samping. Tanpa sepatu, aku lebih pendek sedikit dari pria itu.
"Kenapa dada kamu itu?" Tanyaku menunjuk dada Norman yang ditumbuhi sebentuk daging tebal melintang, membuatnya berkesan tegap kalau memakai kaos ketat.
"Bekas jahitan operasi." Jawabnya singkat. "Kamu jijik?"
"Oh, nggak. Sama sekali enggak." Jawabku sambil juga memasang wajah serius dan tetap menatap matanya dalam.
"Kamu udah lihat dadaku kan? Sekarang gantian dong." Katanya sambil tetap memasang wajah serius dan melangkah mendekat.
Dengan gerakan yang cepat tanpa dibuat-buat agar seksi, aku menarik kaos tanpa lenganku ke atas dan melemparkannya agak jauh, menyisakan sebuah bra sport putih.
Aku menghentikan gerakanku, membiarkan tatapan Norman menelusuri kulit tubuhku senti demi senti. Ia memiringkan kepalanya dan mengangkat alis kirinya.
"Aku masih belum bisa melihatnya." Katanya lagi.
Aku menyunggingkan sedikit senyum dingin dan melepas kaitan di depan bra sportku, dan dengan indahnya menggerakkan bahu agar bra itu melorot dan jatuh ke bawah kakiku.
Kini mata Norman tampak lapar, mengamati kedua bukit payudaraku yang tidak besar, namun kencang dan padat. Warnanya putih bersih, agak lebih putih dari bagian lain di tubuhku, dan di puncaknya dihiasi lingkaran cokelat muda dengan putik-putik mungil merah jambu yang waktu itu masih agak datar.
Norman lalu melepaskan kaitan sabuk Harley Davidsonnya, dan dengan gerakan yang amat cepat juga ia menanggalkan semua yang tersisa di tubuhnya. Hingga kini nampak di depanku tubuh atletis yang meski agak sangkuk namun cukup berotot. Halus, hampir tanpa bulu, kecuali di bawah perutnya, ada sedikit bulu di situ, tidak terlalu lebat, dan di tengahnya tampak kejantanannya yang rupanya telah siap sejak tadi. Mengacung ke depan, agak miring ke kanan.
"Kamu sudah lihat semuanya kan? Sekarang giliranku." Katanya lagi, sambil tetap menatap tajam, tapi kali ini bukan ke mataku, melainkan ke arah dadaku.
Segera aku melepaskan kancing-kancing baja di Armani ketatku, dan dengan gerakan yang lumayan cepat, kini Armani hitam itu teronggok di bawah kakiku, terikut pula celana dalam St. Michael putih bersama Armani itu.
Norman kini dengan bebasnya dapat mengamati segalanya. Kedua tungkai yang ramping dan jenjang, rambut-rambut halus yang tumbuh di situ, juga rambut-rambut agak lebat di selangkanganku. Perutku yang datar dan dadaku juga tak luput dari pandangannya yang kini agak jalang.
"Lucky Ditto." Gumamnya.
"Never, never, ever mention the name again." Jawabku dingin. "Or you might lost what you'll get tonite!"
"Sorry." Jawabnya singkat. Lalu badan kami saling bertabrakan dan ciuman pun menghambur dari mulutnya ke mulutku.
Bibir dan lidahnya tercabut dari mulutku dan langsung menelusuri rahang dan leherku dengan cepat, sementara tangannya dengan liar meremas-remas pinggang, pinggul, dan pantatku. Tanganku juga tak kalah agresif, memijat dan meremas setiap gumpalan otot di lengan dan dadanya. Sebenarnya sejak pertama melihatnya dulu, aku sudah menginginkannya untuk masuk dalam buku harianku, dan kini keinginan itu segera menjadi kenyataan.


 Ia mendorongku hingga tersandar di kaca jendela ruang apartemen itu, rasa dingin begitu menyengat punggungku, namun tidak begitu lama karena ciumannya segera mendarat di bahu dan dadaku. Kedua tangannya meremas-remas pinggangku, dan tanganku meraba-raba punggungnya. Mmmm....kehangatan pria memang mampu membuatku melupakan segalanya, kesibukan kantor, waktu, bahkan logika. Kedua telapak tangannya yang berotot tiba di pangkal payudaraku, meremas dan mengusap-usap. Kepalanya berhenti sejenak, matanya mengamati kedua payudaraku yang berada dalam remasan-remasannya. Aku menatapnya dengan tak sabar, namun ia tetap saja memainkan pangkal payudaraku dengan kedua tangannya sambil matanya menatap kedua putingku yang makin terasa butuh sentuhan ini.
Aku menarik lehernya keras-keras ke dadaku. Ia segera membuka mulut dan membiarkan puting susu kiriku masuk ke dalamnya. Ughhhhh....inilah perlakuan pria yang paling membuatku tak tahan. Ia menghisap-hisap puting kiriku itu, lidahnya berkali-kali mengusap dan mengait-ngaitnya. Mataku menyipit dan bahuku terangkat kegelian, sementara nafasku terasa tersengal setiap kali putingku terlumat oleh lidah dan bibirnya. Aku tersandar tanpa banyak berkutik di kaca jendela itu, tak peduli apakah orang di luar gedung bisa melihat kami dengan teropong atau tidak. Lalu ia berpindah ke puting kananku, menangkapnya dengan bibir, menjilat dan memijatinya dengan lidah, dan digigit-gigit kecil dengan giginya.


Uhhh....aku menggelinjang dan mendesah-desah keenakan, sementara kedua tangannya kini memeluk erat pinggangku. Dengan mata agak menyempit sayu karena birahi, aku melihatnya melepaskan bibirnya dari putingku. Puting susu itu tampak telah mengacung tinggi dan berwarna kemerahan, basah oleh lidah dan mulutnya. Tana kuduga, ia bukannya membiarkanku menarik nafas panjang, tapi justru menggerakkan lidahnya dengan cepat naik turun menyapu-nyapu puting kananku.

Ahhhkkkkkk....Aduhhhhh....mmmmmhhh....Rintihan dan desahan mengalir tak keruan dari mulutku ketika dua puting susuku mendapat sapuan-sapuan cepat itu. Seluruh otot-otot tubuhku terasa melemah dan kakiku gemetar. Butir-butir keringat mulai muncul di dahiku yang kini berkerut karena kedua alisnya bertemu di tengah menahan rasa geli birahi.
Belum lagi aku mampu menyeseuaikan diri dengan rangsangan yang begitu besar itu, tangan Norman tiba-tiba mendarat di selangkanganku, mencengkeramnya, dan membiarkan jemarinya berputar-putar menggesek klitorisku. AAAGGGHHHH...Aku menjerit keras, tak tahan dengan kejutan itu.  Gigiku terkatup rapat bergemeretak, sementara bibirku sedikit terbuka, meringis menahan rasa birahi yang begitu melemaskan dan membakar. Uhhh...Jari itu...jari itu begitu lincah bergerak di atas klitorisku, mengirim rasa nikmat yang luar biasa ke dalam simpul-simpul syarafku, membuatku kian merasa lemas dan tak mampu berdiri tegak.


 Tubuhku dilemparkannya ke atas ranjang, telentang dan tak berkutik. Ia mengangkangkan kedua kakiku lebar-lebar, dan mendaratkan jilatan-jilatan mautnya ke kewanitaanku. Lidahnya bergerak cepat di atas klitoris, kadang-kadang menyerbu masuk ke dalam liangnya, membuatku menggeliat-geliat dan memilin-milin puting susuku sendiri untuk mengimbangi perasaan nikmat dan gelinya. Terasa desiran cairan yang mengalir keluar dari kewanitaanku, cukup deras. Norman segera membimbing kejantanannya ke arah kewanitaanku, menempelkannya disitu, dan menekannya ke dalam. OHHHHHH....Aku merintih sejadi-jadinya karena ternyata ia mengenakan sesuatu di batang kejantanannya, sesuatu yang kasar, bertekstur tajam-tajam yang belakangan kuketahui adalah sejenis kondom yang dilingkari cincin karet berduri-duri. Alat itu menggesek-gesek bagian dalam kewanitaanku, memberiku rasa yang tak pernah kualami sebelumnya, membuat tubuhku bergeliatan menggelepar-gelepar tak tentu arahnya. Aku merasa seperti kehilangan seluruh kekuatanku, namun gesekan-gesekan itu begitu membuatku kegelian yang luar biasa hingga aku tak mampu mengontrol gerakan tubuhku. Aku pun memekik-mekik keras, tak peduli didengar orang atau tidak.
Ahhhh.....Ahhhhhgggg.....Aduhhhhh....Mataku kupejamkan rapat-rapat, dan kedua tanganku meremas dan mencengkeram bantal kuat-kuat. Sementara Norman dengan liar menggerak-gerakkan kejantanannya di dalam kewanitaanku, mulutnya pun dengan rakus mencium dan menjilati puting-puting susuku yang kini juga berada dalam remasannya. Mudah baginya untuk menyetubuhiku dengan buas sekaligus melumat-lumat puting susuku karena tinggi badan kami tak terpaut terlalu jauh, hal itu kian membuatku lupa daratan, dan ikut menggerakkan pinggulku naik turun, mengencangkan otot-otot kewanitaanku, memburu puncak kenikmatan.
"Ohhhhhhhhhhhhhhhhh......" Aku merintih panjang ketika orgasme menyambar, membuat tubuhku mengejang kaku.


Namun Norman tak mempedulikan kondisiku, ia malah mengangkat dan membalikkan tubuhku hingga kini aku menungging di atas ranjang. Meski kakiku gemetar dan tak mampu menahan tubuhku, ia menyodokkan lagi kejantanannya yang dilingkari cincin karet berduri itu. Kedua telapak tangannya menempel pada payudaraku, menahan tubuhku agar tidak rebah ke ranjang, sekaligus meremas-remas dengan kencang dan kuat, jilatannya pun segera menyerbu tengkuk dan telingaku. Saat itu aku merasa seperti akan jatuh pingsan.


 Perlahan-lahan, birahi mulai bangkit kembali dalam tubuhku, meninggalkan sisa-sisa orgasme pertamaku. Gerakan-gerakan Norman kian cepat dan intens, tubuhku tersedak-sedak ke depan ketika panggulnya menabrak-nabrak pantatku. Ohhh....rasanya semakin menjadi-jadi....Mataku setengah terpejam, menyaksikan ruangan seolah bergerak nik turun dengan cepat, kewanitaanku terasa seperti diparut dari dalam dengan cepat dan bertubi-tubi, kedua payudaraku seperti dialiri listrik kenikmatan yang begitu melemaskan, sementara jilatan-jilatan liarnya membuat tengkukku terasa merinding. Uhh...sungguh kombinasi yang hanya mampu dilakukan para petualang berpengalaman. Rintihanku kian terdengar lantang dan memelas seperti memohonnya untuk berhenti 'menyiksa'-ku. Dilepaskannya payudaraku, dibiarkannya tubuhku lunglai rebah tertelungkup di ranjang. Dipegangnya pergelangan kakiku dan direntangkannya ke samping tubuhnya, lalu ia kembali menyodok-nyodok. Ia juga menarik-narik kakiku agar tubuhku bergera!
k maju mundur sesuai keinginannya. Ohhhh....Aku mencengkeram sprei kuat-kuat, aku hanya mampu memejamkan mata, dan memekik keras-keras, mengharapkan semuanya segera tuntas. Berkali-kali otot kewanitaanku mengejang, namun saat itu juga gesekan duri-duri karet itu membatalkannya, hingga akhirnya aku merasa benar-benar kelelahan dihujani kenikmatan yang keterlaluan.


 Aku sudah benar-benar hampir tak sadarkan diri ketika akhirnya ia menghentikan gerakannya dan menggeram keras, membiarkan karet pelindung yang dikenakannya tiba-tiba terasa panas di dalam kewanitaanku. Ia menumpahkan semuanya ke dalam pengaman itu, kehangatan yang tiba-tiba itu memicu klimaks keduaku, yang rasanya seperti menghantam tubuhku agak keras. Aku mendesah panjang....untuk sesaat aku berjuang keras agar kenikmatan yang luar biasa hebat itu tidak merenggut kesadaranku...rasanya sulit dan berat... seperti tak mampu...kewanitaanku terasa begitu menggelegak, aku harus menahannya....tubuhku terasa begitu lemas teraliri listrik, aku harus menahannya....kesadaranku seperti nyaris terenggut keluar, aku harus menahannya....nafasku terasa terhenti, aku harus menahannya...terus...terus....dan terus...sampai gelombang kenikmatan tak lagi datang menerpa tubuhku yang nyaris tak berdaya.


"Mmmm...." Gumamku sambil berusaha untuk duduk. Aku sengaja bersikap seperti tubuhku tidak terpengaruh oleh hantaman-hantaman gelombang kenikmatan itu.
"Hebat juga kamu, Sar..." Gumam Norman yang kini telentang penuh keringat di ranjang. "Cewek lain sudah memohon-mohon minta berhenti."
Dengan agak gontai akhirnya aku berhasil berdiri pada kedua kakiku dengan tegak. Aku sengaja membelakangi Norman karena tak ingin ia melihat ekspresiku yang sayu keenakan.
"Kamu juga...well...lumayan kok." Jawabku dengan nada se-cool mungkin, setelah mampu menguasai ekspresi, aku membalikkan badan menatap matanya.
Ia menatap mataku dengan pandangan lemah bercampur heran, mungkin ia teringat akan wanita-wanita lain yang ditaklukannya dengan keahlian dan kondom berdurinya itu.
"Udah ah, aku harus nganter pulang teman-temanku tadi." Jawabku sambil memunguti pakaianku dari lantai, sebenarnya agak susah juga karena kedua kakiku masih agak gemetar, namun entah kenapa, aku ingin terkesan kuat di hadapan si (sok) macho ini.
"Eits, Sar...tunggu sebentar." Kata Norman seraya bangkit berdiri dengan lamban karena kehabisan energi.
Ternyata ia ingin menggunting beberapa helai rambut kewanitaanku. Rupanya ia mengoleksi rambut-rambut kewanitaan dari banyak wanita, untuk kemudian diisolasinya pada sebuah buku notes kecil, di bawah kumpulan rambut yang diisolasi itu, tertera tulisan nama, tanggal, dan tempat ia berkencan. Dasar petualang, pikirku.
"Akhirnya...." Desahnya setelah menghela nafas panjang.
"Apanya yang akhirnya?" Tanyaku sambil mengenakan kembali celana Armaniku.
"Sari telah berhasil aku kencani!" Cerocosnya dengan girang. Ia lalu menyebutkan beberapa nama wanita petualang di kota S yang semuanya cukup beken di kalangan para petualang.
"Si T, si R, si K, si M, si D...semua udah pernah...masa kamu belum!" Tambahnya lagi.
"Hihihi...kamu aneh-aneh aja, Man." Jawabku. Padahal sebenarnya Norman termasuk salah satu yang kuincar sejak dulu, hanya saja belum ada waktu yang pas untuk itu.
Akhirnya aku meninggalkan kamar apartemen itu, meninggalkan Norman di dalam untuk istirahat karena kecapekan (Biasalah, pria!)  Aku kembali menuju lobby hotel tempat aku meninggalkan Reni bersama Anto selama kurang lebih satu jam setengah. Di sepanjang koridor, aku menelpon pacarku (Waktu itu sebenarnya belum terlalu resmi jadi pacar, sih) menceritakan apa yang baru saja terjadi. Seperti biasa, ia tidak marah, ia mengucapkan terimakasih karena tetap menganggapnya yang terbaik dan tetap mencintainya. Ia juga menitipkan salam pada Norman yang ternyata teman baiknya di masa lalu. Di sela pembicaraan kami, terdengar suara wanita. Ah, ternyata si petualang yang satu itu juga sedang mengisi sisa 'waktu bebas'-nya dengan petualangan bersama wanita lain. Cemburu? Hm...ada sedikit rasa seperti itu, tapi tidak terlalu dominan. Aku malah minta maaf karena telah mengganggu kencannya.
(Tentu saja kejadian seperti itu tidak lagi terjadi sesudah ia balik lagi ke kota S awal April lalu!)
Tiba di lobby hotel, aku mendapati Reni dan Nova duduk di sofa dengan penampilan kuyu dan agak berantakan.
"Halo....lama ya nunggunya?" Tanyaku dengan wajah merasa bersalah.
"Mmmm....Nggak kok Mbak." Jawab Nova dengan suara lemah agak mendesah sambil menggelosoh ke bahu Reni, ia lalu memejamkan mata sambil menggumam.
"Lho? Abis ngapain dia, Ren?" Tanyaku pada Reni.
"Abis melakukan hal yang sama dengan Mbak!" Jawab Reni dingin sambil berdiri, membuat kepala Nova hampir jatuh ke kursi.
"Oh?" Jawabku singkat. "Kamu sendiri gimana?" Tanyaku pada Reni lagi.
"Ah, si Anto itu nggak terlalu berkualitas." Jawab Reni dengan nada sok berpengalaman. Tapi rambur Reni terlihat agak berantakan meski poninya sudah dibereskan hingga rapi.
"Lantas?" Tanyaku pada Reni sambil mengerling curiga.
"Ya...Aku mutusin untuk nemenin Mbak Nova." Jawabnya lagi, kali ini sambil menepuk bahu Nova yang juga berdiri.
"Si bule yang malang." Kataku sambil tertawa.
Kami lalu tertawa-tawa dan meminta valet mengambilkan mobil.
Sepanjang jalan pulang, Reni dan Nova menceritakan apa yang mereka lakukan pada si bule yang mereka temui di pub tadi. Si bule rupanya mengajak Nova ke kamarnya di hotel itu, namun Nova mengajak Reni untuk ikut serta. Si bule sempat melakukan foreplay yang lumayan jauh pada mereka berdua, namun dia tak tahan dan mengeluarkan semua isinya sebelum permainan utama dimulai, bahkan sebelum pakaian-pakaian dibuka. Akhirnya Nova dan Reni terpaksa menuntaskan diri masing-masing dulu di kamar itu sebelum akhirnya meninggalkan bule itu tanpa pamit, ah, dasar bule bodoh, pikirku.
"Kenapa kok kalian nggak...memintanya untuk mengakhiri sampai tuntas?" Tanyaku sambil melihat ke kaca spion, mengamati wajah Nova yang cantik namun kin kuyu.
"Yah...kita kan pemula, Mbak." Seloroh Reni, "Itu tadi aja udah cukup kok buat senang-senang."
"Iya." Sambung Nova. "Tadi aku udah kuatir-tir-tir-tir, tapi untung Reni mau bantuin."
Aku tidak menanyakan detailnya, dan mereka juga tidak menceritakannya padaku, yang penting malam ini kami semua mendapatkan tujuan masing-masing, bersenang-senang sejenak melupakan kesibukan rutin. Yah, dengan cara masing-masing tentunya.
Setelah mereka turun di rumah masing-masing. Aku memacu Katana hijauku melalui jalan protokol yang lengang dengan kecepatan 120 km/jam. Saat itu aku berpikir, wel.....sebenarnya aku telah belajar satu hal dari Nova dan Reni. Mereka tidak terlarut dalam situasi, dan masih dapat menguasai diri dalam saat-saat kritis seperti itu. Belakangan kuketahui bahwa virginitas mereka tetap terjaga baik meski mereka menjalani kehidupan malam yang relatif bebas. Luar biasa. Nova kini telah menikah dan hidup berbahagia dengan suami dan satu orang putera yang lucu dan ganteng, sementara Reni masih belum mendapatkan pasangan sejati, namun tetap dapat mempertahankan virginity-nya. Dalam hati, aku mengacungkan jempol untuk kedua anak itu. Bukannya aku menyesal telah menjadi petualang, tapi aku hanya mengagumi 'faith' mereka. Untuk menjaga apa yang mereka ingin jaga, untuk mempersembahkan apa yang terbaik pada orang yang mereka cintai. Tapi aku juga tetap memberikan yang terbaik pada yang kucinta!

Sari The Lust Hunter - 4

Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---

KRRRRR…. KRRRR…. KRRRR…… Getaran ponsel ini terasa membuatku geli, apalagi aku selalu meletakkannya di pangkuan pada saat mengemudi seperti ini. Dengan penuh kerepotan akhirnya aku berhasil memasang earpiece dari peralatan handsfree ini tanpa harus mengurangi kecepatan Katana hijauku. (Mengherankan, bukankah mereka merancang ‘handsfree’ untuk mengurangi kerepotan, tapi kenapa kabelnya selalu kelewat panjang hingga malah bikin repot?)

“Halo!” sapaku dengan nada datar karena aku tidak sempat melihat caller id pada display.
“Sari?” tanya suara seorang pria di ujung sana.
“Yup! Saya sendiri.” jawabku sambil melenggokkan setir menghindari sebuah truk sampah yang kelewat pelan.
“Masih inget aku nggak?” tanya suara itu lagi.
“Hm…siapa ya?”
“Bret!” jawabnya singkat. (info: Huruf e pada ‘bret’ itu dilafalkan seperti pada EmbEr, bukan pada kEntang!)
“Hm… Bret… Bret… siapa sih?”
“Walah, masa lupa sih? Kamu dulu suka nyontek ke aku pas sumatif bahasa Inggris!”
“Aaayayayaaa! Bret! Iya, iya aku inget!” jawabku antusias ketika aku mengingatnya, “Tumben nelpon! Apa kabar?”
“Baik! Kamu sendiri gimana?”

(Percakapan selanjutnya nggak saya tuliskan, karena hanya berkisar pada percakapan dua orang teman SMA yang sudah hampir 10 tahun tidak ketemu).

Nama Bret itu sebenarnya bukan nama asli pria itu. Itu adalah panggilannya semasa SMA dulu karena celana abu-abunya pernah robek terkait paku di tembok pinggir kelas dan mengeluarkan suara “bretttt!”. Dia salah seorang teman dekatku di SMA, kami menjadi begitu dekat karena saling membutuhkan dalam ulangan atau ujian. (Bagi yang pernah SMA, tentu mengerti maksud ’saling membutuhkan’ itu! Nggak usah sok pinter!)

Ia memberikan informasi padaku tentang reuni SMA kami dulu, yang rencananya akan digelar besar-besaran dan melibatkan 50 angkatan, sejak lulusan tahun 1950 sampai 2000. Beberapa hari kemudian, mantan-mantan teman SMA-ku juga lantas menginformasikan hal yang sama, begitu juga di beberapa website, maklum SMA tempatku bersekolah dulu termasuk salah satu SMA negeri yang disukai di kota S sini ini. Meski awalnya aku kurang tertarik untuk hadir, setelah beberapa teman mendesak akhirnya aku ingin hadir juga. Lumayanlah untuk ketemu teman-teman lama, pikirku. Dan tentunya aku juga punya tujuan sampingan, yaitu mendapatkan petualangan baru! hehehe. Tapi pertanyaannya adalah dengan siapa aku akan kesana? Tentu tidak mudah untuk mencari gerombolan teman-teman lama di tengah lautan orang dari 50 angkatan, pikirku. Kalau dulu waktu SMA sih… dengan reputasi seperti aku, tentu banyak lebah-lebah yang mencoba hinggap untuk menawarkan jemputan, tapi sekarang? Setelah hampir 10 tahun, apakah lebah-lebah itu juga masih belum menemukan ‘bunga terakhir’-nya?

Namun ternyata keadaan tidak seperti yang kubayangkan. Mungkin ini yang dalam psikologi disebut sebagai ‘pemanggilan kembali memori lama yang dipicu oleh kondisi lingkungan yang serupa dengan kondisi masa lalu’. Beberapa teman SMA pria yang kebetulan masih single (atau mengaku masih single) menawarkan untuk menjemputku. Untuk menghindari konflik dengan ibu-ibu rumah tangga, maka aku terpaksa mencari data yang benar tentang para calon penjemputku itu lewat teman-teman tempat kerja mereka sampai akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bersama si Bret yang pertama kali menelponku tentang acara reuni ini.

Singkat kata, malam ini aku sudah duduk manis di lobby apartemenku, menanti jemputan si Bret. (Sekedar info, aku pindah rumah dari apartemen P ke apartemen M, tempat yang dekat dengan salah satu gerai Mc Donald’s di kota S). Setelah menunggu beberapa lama, akhirnya si Bret itu muncul juga diantar oleh sepasang satpam. Mungkin karena tongkrongannya tidak banyak berubah sejak SMA, masih bertampang agak kriminil, maka kepala satpam memutuskan agar dia diantar dua orang untuk masuk ke lobi apartemen.

“Hey! Kamu tambah keren deh!” sapaku dengan basa-basi setengah flirt.

Bret diam saja. Ia malah berkacak pinggang dan mengamatiku dari ujung kaki ke ujung rambut, tapi tidak berhenti sebentar di daerah paha dan dada seperti lazimnya pria hidung belang yang menatapku.

“Hmmm… kamu banyak berubah ya, Sar?” gumamnya.
“Oh? Masa? Kamu juga kok. Kamu lebih pinter milih baju sekarang!” godaku lagi.
“Ya, ya, ya… kamu juga sudah mulai belajar kalau baju dengan garis horisontal akan mengurangi kesan kerempeng!” balasnya.

Kami lalu tertawa-tawa dan masih melanjutkan saling ejek sampai kami masuk ke mobilnya. Malam itu aku memang mengenakan pakaian setengah casual. Sebuah kamisol garis-garis hitam putih yang dilapisi blazer hitam dan celana favoritku, Armani ketat warna hitam. Sementara Bret tampil dengan kemeja hitam yang merk-nya tidak jelas dan celana yang warnanya sulit dibedakan apakah biru atau abu-abu. Si Bret ini sebenarnya lumayan good-looking dengan tampangnya yang campuran Ambon-Manado, tapi rambutnya yang dipotong model Ivan Drago itu memang membuat wajah kerennya terlihat agak jahat dan pantas dicurigai sebagai pembuat onar, didukung dengan posturnya yang tinggi tegap namun agak sangkuk.

Akhirnya kami tiba di tempat reuni itu dilaksanakan, yaitu di gedung SMA kami dulu, di kompleks SMA negeri favorit di perempatan yang cukup beken di kota S. Suasana di luar gedung sudah penuh dengan manusia dari berbagai usia dan berbagai dandanan, yang menunjukkan dari generasi tahun berapa mereka dilahirkan. Teman-teman seangkatanku cukup banyak juga yang hadir. Rata-rata dari mereka sekarang bekerja atau punya usaha sendiri, dengan posisi ekonomi yang mulai mapan meski belum sukses-sukses amat. Beberapa temanku dari klub Jangkung (klub basket) juga hadir di situ. Rata-rata dari mereka masih single karena sulit menemukan pria segenerasi yang lebih tinggi. (Yah, anggap saja alasannya begitu!) Beberapa teman malah datang bersama dengan mantan pacarnya waktu SMA dulu, bukan dengan suami atau istrinya yang sekarang. Cukup lucu, meski menyerempet resiko cukup tinggi yang nanti akan kuceritakan lebih detail.

Acara dimulai, kami masuk ke tengah lapangan luas yang dikelilingi gedung sekolah. Gedung sekolah sudah banyak berubah, dibangun di sana-sini, maklumlah banyak anak pejabat yang bersekolah disini sejak dulu. Bahkan beberapa pejabat, seperti mantan wapres juga alumni di sini dulunya. Ada juga beberapa artis terkenal yang rupanya alumni sekolah ini.

Konyolnya, secara tidak sengaja aku sering bertemu pandang dengan banyak pria yang pernah mengisi malam-malam seru dalam petualanganku. Umumnya mereka tidak menyapa dengan kata-kata, hanya menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringai dingin, mungkin mereka teringat kembali akan adegan-adengan yang pernah mereka lakukan bersamaku. Gila, rupanya mereka juga banyak yang sekolah disini dulunya. Banyak juga rekan bisnis dari perusahaanku yang hadir sebagai alumni angkatan yang berbeda, golongan yang ini umumnya menyapaku dengan, “Selamat malam Bu Sari, rupanya alumni juga toh!” Tapi lantas berubah jadi ledekan karena melihat name-tag angkatan yang kukenakan menunjukkan tahun yang jauh lebih muda dari mereka. Kalau sudah begitu umumnya mereka bilang, “Walah! Ternyata Bu Sari ini masih kecil toh!” Gitu.

Acara demi acara berlangsung di panggung tanpa banyak diperhatikan penonton karena mereka lebih sibuk bernostalgia dengan gerombolan seangkatannya. Begitu pula rekan-rekan seangkatanku. Kami juga saling bersalaman sambil menjerit “Aaaaaaa! Kamu kok tambah gendut.” atau tambah kurus, atau tambah jelek, atau yang lain-lain, yang kemudian disusul dengan “Eh, denger-denger si anu udah cerai dengan si anu.” Atau “Kamu denger nggak kalau si anu sekarang jadi anu di perusahaan anu”, atau bahkan “Si anu masuk bui, lho!” Sampai yang paling seram, “Tahu nggak, si anu bunuh diri!”

Beberapa pria dari klub basket yang dulu pernah… engg… ‘menjadi sparing partnerku dalam latihan berpetualang semasa SMA’ kini mengitariku sambil berbasa-basi. Tidak ada dari mereka yang berani membicarakan tentang apa yang pernah kami lakukan di aula kosong, di ruang ganti, atau di sudut kelas kosong 10 tahun silam. Bukan apa-apa, mungkin karena mereka merasa nggak enak dengan teman-teman pria yang lain yang rupanya juga pernah mengalami hal yang sama. Agak risih juga kalau sudah dalam posisi ini. Untuk menghindari suasana rikuh, aku memutuskan mengikuti ajakan Bret untuk bernostalgia memasuki ruangan kelas tempat kami dulu belajar bersama di kelas satu.

“Kamu inget apa yang pernah terjadi di kelas itu dulu?” tanyanya ketika kami berjalan di koridor menuju kelas tersebut.
“Yang mana tepatnya?” tanyaku berusaha diplomatis.
“Itu, yang pernah dilakukan sama si anu dan si anu.” jawabnya sambil tetap melangkahkan kaki.
“Hm… yah… inget sih… apa itu bukan cuman gosip?” jawabku, lagi-lagi berusaha diplomatis.
“Hihihi.” Bret tertawa kecil, “Yang aku ingat sih… cuman gosip tentang kamu waktu itu!”

(Yah…kalau rekan-rekan pembaca rajin mengikuti serial Lust Hunter, mungkin pernah membaca kisah kuno itu!)

Setibanya kami di pintu kelas yang legendaris (menurutku) itu, kami agak kaget karena mendapati pintunya seperempat terbuka. Aku menghentikan langkah dan memasang telunjuk di bibir, memberi isyarat Bret untuk tidak bersuara. Meski sebenarnya itu tidak berguna, karena suara hingar bingar band di lapangan tetap saja kencang. Aku ingat benar situasi seperti ini pernah terjadi 11 tahun yang lalu. Waktu itu sore hari, sehabis olah raga, aku dan beberapa teman wanita memergoki sepasang teman kami sedang bermain cinta secara terburu-buru di sudut kelas.

“Kenapa Sar?” bisik Bret. Aku hanya menunjuk-nunjuk lubang angin yang cukup besar di atas pintu, memberi isyarat untuk mengintip dari situ.
“Ah, ngapain pakai ngintip, kalau pengen lihat ya buka aja pintunya.” bisik Bret lagi.
“Emangnya ada apa?”
“Kamu ingat si Bibir dan si Evil?” bisikku pada Bret.

Ia menganggukkan kepala sambil memasang pandangan girang. Si Bibir adalah teman pria yang dijuluki begitu karena kebetulan bibirnya agak oversized, dan si Evil adalah teman wanita yang dulu dianggap paling manis di kelas, namun lidahnya agak tajam, hingga dijuluki begitu. Mereka itulah yang pernah kepergok bermain cinta di kelas pada saat ruangan kosong ketika anak-anak lain sedang berganti pakaian atau minum sehabis olah raga.

“Mereka punya cara sendiri untuk reuni!” bisik Bret sambil menahan tawa gelinya.

Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan apa yang pernah kulakukan 11 tahun lalu, berdiri di atas pot besar di dekat pintu, dan melongok ke dalam lewat lubang angin besar di atas pintu kelas. Dan… well… tebakan kami benar… si Bibir dan si Evil sedang berpelukan sambil mengumbar ciuman satu sama lain. Keduanya masih mengenakan pakaian lengkap, tapi memandangi mereka melakukan adegan begini harus kuakui cukup mendirikan rambut di tengkuk.

Sedang asyik-asyiknya mengintip, tiba-tiba Bret turun dari pot dan menarik lenganku untuk pergi dari situ.

“Sar, ayo kembali ke lapangan.”
“Kenapa emang?”
“Nggak enaklah ngintip begitu.” jawabnya dengan wajah rikuh,
“Udah sama-sama tuanya. Lagian aku sekantor sama calon istrinya si Bibir. Nggak enak ntar kalau ketemu di tempat kerja.”

Aku memahami alasannya dan mengikutinya kembali ke lapangan, tempat dimana hingar bingar band memainkan lagu-lagu tahun enam puluhan.

Beberapa teman berpamitan pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan band baru sampai di tahun enam puluhan. Kata mereka, bakalan sampai pagi kalau nunggu bandnya memainkan lagu tahun sembilan puluhan, jadi mereka memutuskan pulang lebih awal. Aku sendiri tidak ingin pulang. Aku berdiri diantara teman-temanku, mendengarkan musik sambil sesekali mengobrol ringan. Sampai tiba-tiba bahuku dicolek dari belakang.

“Tukang ngintip, ngga berubah juga rupanya, eh?” sapa si pencolek tadi, yang ternyata adalah si Evil.
“Yah… kamu juga ngga banyak berubah tuh kayaknya.” jawabku sambil menyunggingkan senyum simpul dan mengangkat alis kanan.
Kami lalu mundur beberapa langkah dari kerumunan orang yang perhatiannya tertuju ke panggung.

“Well, well, well… Si Pemburu… apa kabar?” tanyanya sinis sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Baik.” jawabku sambil menatap matanya dalam-dalam,
“Baik sekali, Evil.” sambungku dengan nada sinis juga.
“Ya terang aja baik. Tiap malam pindah ranjang sih, gimana mau ngga bahagia terus?” sindirnya.

Aku sempat ingin menamparnya karena kata-katanya diucapkan dengan volume kelewat keras, tapi aku masih menahan diri.

“Aku dengar kamu udah jadi boss sekarang yah?” sindirnya lagi,
“Mendaki corporate ladder lewat ranjang?”

Kali ini aku benar-benar tidak mampu menahan diri dan hampir menampar mulut genitnya kalau saja si Bibir tidak keburu muncul di samping Evil.

“Sar, maapin dia lah.” kata si Bibir dengan nada sok bijak,
“Kamu dengar cerita tentang dia kan?”

Aku lantas mengurungkan niatku untuk menampar karena teringat cerita bahwa si Evil ini baru saja kehilangan suami dan karirnya karena dia mencoba ‘mendaki corporate ladder lewat ranjang’, seperti yang dituduhkannya padaku. Memang tolol juga dia, mencoba cara itu di perusahaan BUMN tentu sulit dan beresiko karena dinding-dinding disana punya mata dan telinga.

Untuk melemaskan syaraf yang tegang aku menjauhi kedua orang itu, juga kerumunan orang di seputar panggung yang asyik mendengar musik. Aku melangkahkan kaki keliling bangunan sekolah itu. Suasana masih tidak sepi karena masih banyak orang, tapi umumnya mereka berkerumun di sekitar panggung di tengah lapangan, hingga sudut-sudut sekolah tua ini kosong. Sempat aku mengenang beberapa sudut tempat seorang teman pria menyatakan cintanya padaku, dan di sudut yang sama pula kami mengakhiri masa pacaran yang cuma dua minggu hanya gara-gara dia mendengar cerita kalau aku tidak punya latar belakang keluarga yang jelas. Ck, memori-memori menyedihkan itu terus bermunculan sampai akhirnya aku capek dan duduk di sebuah bangku panjang di tempat yang semasa sekolahku dulu adalah kantin, namun sekarang berubah jadi koridor. Koridor yang sepi dan gelap, yang luput dari perhatian banyak orang di acara reuni besar itu.

“Lagi ngapain, non?” kata sebuah suara pria yang sudah tak asing lagi.

Agak kaget, aku membalikkan badan dan bertatapan dengan dia… seseorang yang akan menikahiku tahun depan… The Big D!!!

“Kamu… kamu juga alumni sini?” tanyaku setengah kaget sambil menatap kedua mata elangnya.
“Yup!” jawabnya singkat sambil menunjuk name-tag di dadanya, yang menunjukkan kalau ia lulusan dua tahun di bawahku.
“Haha, kaget ya, kalau ternyata aku lebih muda?” tanyanya sambil merengkuh pinggangku dan mengecup keningku.
“Ya, ya… kaget sekali.” jawabku,
“Tapi di paspor kamu… umurmu sama dengan aku?”
“Well, aku sempat ikutan program AFS dulu. Jadi aku ketinggalan setahun, dan aku masuk SD umur tujuh.” jawabnya singkat.

Kami terdiam beberapa saat sambil tetap tangannya merengkuh pinggangku dan wajah kami bertatapan begitu dekat. Karena mengingat bahwa kami sedang berada di tempat umum, aku melepaskan diri dan membelakanginya, melihat jauh ke arah lapangan yang kini mulai ditinggalkan para pengunjung meski band masih memainkan lagu.

Kurasakan lagi kedua tangan D memeluk tubuhku dari belakang. Hm… nyaman sekali rasanya, aku meletakkan telapak tanganku di atas punggung tangannya di perutku. Bibir hangatnya kini menyentuh-nyentuh dan mengendus di leher kiriku, membuatku memiringkan kepala ke kanan dan agak terpejam karena tersengat-sengat rasa geli.

“Mmmh… hey… uhh… Boss, kita lagi ada di… ngggh… tempat umum nihhhh!” rintihku pelan berusaha mengingatkannya.
“So what?” bisiknya di dekat telingaku, yang disambungnya dengan mengulum daun telinga kiriku, membuatku terpejam dan mulutku menganga menahan rasa geli yang begitu nikmat ini.
“Uhhh… D-Dittt… uhhh… jangan d-d-dissini donggg… uhhh… n-not now!”
“Ehggg!!!” aku memekik tertahan dan tubuhku terjingkat ketika tiba-tiba kedua telapak tangan D menyusup ke balik blazer dan meremas kedua payudaraku.
“Sass…” bisiknya lembut di telingaku.
“Mmmhh… iyahhh?” jawabku lirih.
“Agak geser ke kiri dikit biar nggak kelihatan orang.”

Sebenarnya aku rikuh karena kuatir ketahuan, tapi jemari D yang teliti itu berhasil menangkap kedua puting susuku dari balik kamisol yang kukenakan, membuat seluruh tenagaku seperti tiba-tiba hilang dan tubuhku serasa begitu lemas, hingga aku merasa tak punya pilihan selain bergeser ke kiri, dan posisi kami tertutup oleh dinding yang kini berada di depan mataku.

Di balik dinding itu juga, D membuatku menyandar di dada bidangnya sambil membiarkan kedua tangan D menyelinap ke balik kamisol dan melepaskan kaitan bra sportku yang ada di bagian depan… sampai akhirnya kehangatan kedua telapak tangan besarnya menyelimuti seluruh permukaan kedua payudaraku yang mungil ini sambil memijat-mijat pelan. Telapak tangannya yang kasar itu kini bergesekan dengan kedua puting susuku… memberiku rasa rileks dan lemas serta geli yang luar biasa. Harus kuakui, saat itu aku benar-benar terangsang hebat sampai kewanitaanku terasa melembab. Kupejamkan mata menikmati belaian-belaian lembutnya yang menerpa kedua titik paling sensitif itu… terasa semakin lemas badanku… kubuka sedikit mataku… semakin lincah pula gerakan jemari D di situ… sejenak dilepaskannya, memberiku waktu menarik nafas, namun tidak terlalu lama, karena ia segera membalikkan badanku mengadap ke arahnya, dan mencium serta menjilati leherku yang panjang ini… uuh… terasa hangat dan mesra sekali gerakan lidah yang lembut, licin, dan lembab itu menyapu-nyapu leherku.

Telapak-telapak tangan besar itu kini bergeser di pinggangku… menjamah punggungku dan menyangganya agar aku tidak terjengkang ke belakang. Lidah dan bibir yang hangat dan lembab itu kini seperti berputar-putar pada kain tipis kamisol yang kukenakan… berputar-putar di atas puting susu kananku… aduhhh… tiap gesekan kain basah yang terdorong-dorong oleh lidah lembut itu memberiku sensasi yang sulit kulukiskan. Meski mencoba membuka mata, tetap saja alisku tak kuasa berada dalam posisi santai, mereka terus mengerenyit ke tengah menahan rangsangan birahi yang semakin menggelegak. Pandanganku yang tadinya jelas kini mengabur karena mataku menyipit hingga bulu mataku menghalangi pandangan… sementara mulutku seperti tak sempat mendesah karena untuk menarik nafas agak panjang saja selalu tersendat setiap kali sapuan lidahnya menggeser pada puting-puting susuku.

Kakiku tak lagi mampu menahan tubuhku. Keduanya terasa gemetar dan tidak menjejak tanah. D menyandarkan aku ke dinding dan menghimpitkan tubuh besarnya ke tubuhku. Puting-putingku yang telah mengacung tinggi seperti tertekan oleh otot-otot dadanya yang tersembunyi di balik kemeja itu, bibir-bibir kami yang telah basah ini kembali beradu. Kedua lenganku mendekap lehernya erat-erat, aku tak ingin melepaskannya kali ini, benar-benar tidak ingin. Kami berciuman dengan amat buas dan liar, diiringi dengan pagutan dan hisapan keras, dan kedua pasang mata kami terbuka, saling menatap. Tajamnya sorot mata yang kini tak lagi terlindung kacamata itu makin membuat birahi dalam dadaku terasa menyesakkan… mata itu… mata itu seperti menusuk dan mengaduk-aduk perasaanku yang sudah terlanjur dipenuhi nafsu. Jemarinya bergerak lagi, cepat sekali, kali ini di bawah pusarku…dan kurang dari tiga detik, jeans Armani yang kukenakan telah turun hingga ke lutut.

Meski kedua kakiku terkatup rapat, tidak sulit bagi jemarinya untuk menerobos ke balik celana dalam St.Michael yang kukenakan, mengelus-elus sejenak rambut-rambut halus yang tumbuh di bawah perutku… lalu melesak ke tengah, lebih ke dalam, jepitan kedua pangkal pahaku tak mampu menghalangi jari tengahnya menyentuh pangkal bibir kewanitaanku.

“Ehgggg….” aku menjerit tertahan ketika tubuhku tersentak oleh rasa nikmat yang tiba-tiba menyambar kewanitaanku.

Jari itu tidak tinggal diam disitu, ia berputar dan bergerak-gerak… cairan pelumas yang sudah sejak tadi mengalir di situ seolah-olah hendak dioleskannya rata ke permukaan bibir kewanitaanku yang kini menguncup karena jepitan pahaku.

“Ohhh…. D-D-Diitttt…. j-j-jangan disiniiiihhhhh… hhhhhh…” pintaku memelas.

“Sass, relax. I dont wanna make luv wiz ya rite here, lady! I just wanna give ya sumthin’ to rememba! Just enjoy!” cerocosnya sambil menjilati telinga kiriku.

Dengan agak susah payah, aku berhasil merenggangkan sedikit kedua pahaku meski celana Armani ketat itu masih memborgol kedua lutut ini. Kurasakan jari tengah dan jari telunjuk pria itu menekan kuat pada ujung atas bibir kewanitaanku, dan didorongnya ke bawah… ughhh… kedua jari besar itu bergerak-gerak di pangkal terowongan kewanitaan yang kini makin lembab dan tergenang lendir pelumas hingga terdengar suara kecipak… aduhhh… rasanya tak tertahankan, geli, nikmat, dan penasaran berkecamuk di kepalaku, makin erat kutarik lehernya hingga bibir kami makin rapat bertautan. Dijejalkannya lidahnya ke dalam rongga mulutku, dan dijilatinya langit-langit di situ, aku kegelian dan berusaha untuk berontak, namun tidak semudah itu, karena pada saat itu juga kedua jarinya yang besar dan kasar itu menerobos masuk!

“Unggghghhhhhh….” aku mengerang lirih ketika kedua jari itu terbenam ke dalam tubuhku.

Dilepaskannya kuluman pada bibirku, ditatapnya mataku tajam-tajam dengan tanpa ekpresi. Aku berusaha membalas tatapan tajamnya itu, namun sulit sekali karena mataku menyipit-nyipit menahan rasa nikmat pada kewanitaanku. Apalagi ketika kedua jarinya itu berpencar di dalam, dan bergerak-gerak sendiri-sendiri…

“Oohhhhh….” aku tak mampu lagi membuka mata dan mempertahankan ekspresi datar.

Kedua mataku tertutup rapat dan kedua alis mataku seperti dipaksa untuk berkumpul di keningku, gigiku terkatup rapat sementara bibirku setengah terbuka. Aku mendesah-desah menghayati permainannya yang membuat badanku seperti kehilangan tulang belulangnya, lemas.

Sambil tetap memainkan jemarinya dalam kewanitaanku, ia membungkuk dan mulutnya menangkap puting susu kiriku yang tersembunyi di balik kamisol yang kukenakan. Aku menggeliat dan menggelinjang sekuatku untuk menahan rasa geli dan birahi yang dikirimkannya secara intens ini. Kedua jarinya seperti mengaduk-ngaduk isi kewanitaanku, kedua bibirnya menjepit dan menarik-narik puting susuku dengan tak kalah cepatnya. Semuanya membuatku seperti lupa daratan, lupa bahwa aku sedang berada di gedung sekolah tempatku belajar di SMA dulu, lupa bahwa tiap saat bisa saja ada seseorang yang muncul dan melihat kami berdua melakukan itu, lupa segala-galanya. Yang terpikir hanya bagaimana agar kehangatan tubuhnya tetap menempel pada tubuhku selamanya.

Ia terus saja mengocok-ngocok cairan di dalam kewanitaanku dengan kedua jarinya yang lincah, sementara kini aku tersandar di dinding hanya berpegangan pada bahunya yang keras itu. Kubiarkan saja ketika gigi-giginya menggigit kerah blazerku yang kanan dan melorotkannya ke bawah. Bahuku terasa dingin diterpa angin malam, namun segera diselimuti kehangatan ketika ia mengoles-ngoleskan lidahnya di situ, merambati leher dan pundakku, menggigit tali kamisolku dan melorotkannya juga, hingga aku merasa begitu seksi berada di hadapannya dalam kondisi seperti ini. Tangan kirinya yang sedari tadi menyangga berdiriku terlepas dari punggungku, dan berpindah pada puting kananku, dipilinnya, dijentik-jentikkannya, dan dicubit-cubitnya puting yang telah membengkak ini. Aku berpegangan erat pada bahunya agar tidak jatuh karena kehilangan keseimbangan.

“Ohhh… D-d-ditttt…. aduhhhh….” aku mengerang sambil menyebut-nyebutkan nama kekasihku itu. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan dalam hubungan intim dengan pria manapun kecuali dia.

“Hold on, lady.” bisiknya lembut, “You look so great tonite… I luv ya.” bisiknya lagi.

Karena berkali-kali kedua jemarinya itu menyentuh titik yang tepat, dan karena birahiku sudah tak tertahankan sejak tadi, akhirnya aku terlanda gelombang orgasme juga. Tidak terlalu dahsyat memang, karena aku tidak se-rileks jika berada di tempat yang lebih terjaga privacy-nya, namun yang namanya orgasme tetap saja orgasme. Dimanapun kita mengalaminya, tetap saja akan ada detik-detik yang terasa ‘kosong’ saat kesadaran meninggalkan raga kita meski sebentar. Aku sempat mengerang panjang, sebelum terkulai lemah di dinding batako itu. D mencabut kedua jarinya dari tubuhku, memasukkannya ke dalam mulutnya, dan terdengar suara menghisap. Dikeringkannya kedua jari itu dengan celananya sendiri, dan dipeluknya tubuhku erat-erat. Kutempelkan kepalaku pada dada bidangnya, dan mataku terpejam sejenak, merasakan perasaan hangat dan aman yang selama hidup ini baru dapat diberikan oleh dia.

Agak lama kami berpelukan erat begitu, sampai aku merasa seluruh energi dan kesadaranku pulih kembali. Kubereskan lagi letak celanaku. D membantuku mengancingkan kaitan bra sportku, jari-jarinya menyisir sejenak rambutku yang agak acak-acakan karena ulah kami barusan.

“Kok nggak keliatan warna birunya?” tanyanya mengomentari rambutku.
“Gelap sih. Kalau siang kan kelihatan sedikit.” jawabku singkat, seolah tidak terjadi apa-apa barusan.
“Nggak balik ke gerombolan angkatanmu?” tanyanya lagi.
“Nanti sajalah.” jawabku cuek, tapi sambil menyandarkan kepala ke bahunya.
“Mm.. sebaiknya kamu segera balik ke sana.” kata D lagi.
“Kenapa emang, Boss?” tanyaku sambil berusaha mempertahankan posisi kepalaku di bahunya.
“Si Bret tampak mencari-cari kamu. Mungkin mau diajak pulang, udah malam.” jawab D lagi.
“Mana sih?” tanyaku sambil menatap jauh ke kerumunan orang di sekitar panggung di tengah lapangan. Tampak kabur karena aku tidak mengenakan kacamata minusku yang memang jarang kupakai di luar jam kerja.
“Aku pulang sama kamu aja.” jawabku singkat.
“Weits! Nggak bisa dong, Bret kan kasihan. Dia sebagai cowok kan bertanggung jawab ngantar kamu sampai di rumah lagi. Kan dia yang jemput.” jawab D, “Nanti aku susul ke apartemen lah, jam satuan.” sambungnya.

Aku tersenyum dan mengecup bibirnya singkat, lalu kembali melangkahkan kaki ke arah kerumunan orang.

Di dalam Kijang EFI silver milik si Bret aku menurunkan sandaran bangku agar posisiku lebih rileks. Kedua telapak tangan kuletakkan di belakang kepala sambil menatap jalanan, membayangkan kejadian bersama D tadi. Bret menghidupkan radio dan terdengar suara Mr.Big melantunkan ‘To Be With You’.

“Nah, finally…” ujar Bret, “Lagu tahun sembilan puluhan awal!”
“Hihihi, emangnya tadi band-nya sampai tahun berapa?” tanyaku.
“Mereka nggak urut mainnya.” jawab Bret, “Mulanya mereka mainin lagu-lagu baru, lantas lagu enam puluhan, tapi pas kamu nggak ada tadi, band-nya mainin New York, New York.”
“Ooo…” jawabku singkat.

Lalu kami terdiam sampai lagu Mr.Big tadi habis.

“Sari…” kata Bret memecah kesunyian.
“Kenapa?” jawabku sambil tetap dengan posisi duduk yang tadi, hanya kini mataku melirik ke arahnya.
“Apa yang diceritakan beberapa orang tentang kamu itu betul?” tanyanya dengan nada diplomatis.
“Tergantung dari apa yang kamu dengar dari mereka.” jawabku tak kalah diplomatis.
“Hm… aku rasa kamu lebih tahu sih.” jawabnya lagi, “Mereka mungkin masih terbawa performance kamu pas di sekolah dulu, sering ganti teman jalan.”
“Emangnya apa yang salah dari berganti-ganti teman jalan?” tanyaku mencoba membelokkan arah percakapan.
“Nggak ada sih.” jawabnya, “Nggak ada sama sekali.”

Suasana sepi lagi, meski dari radio kini terdengar “You’re All I Need” nya White Lion.

“Kamu udah ketemu D tadi ya?” tanyanya di tengah-tengah lagu.
“Kok kamu tahu?” tanyaku balik.
“Nggak apa-apa.” jawabnya, “Dia yang nyuruh aku nelpon kamu tentang acara ini. Dia juga bilang agar aku jemput kamu ke acara ini.”
“Oh? Gitu?” tanyaku agak heran.
“Yup! Dia memang sengaja ngasih kamu kejutan, katanya.” jawab Bret datar,
“Sudah dikasihin belum kejutannya?”
“Hihihi…well…udah kok!” jawabku dengan tawa kecil penuh arti.

Bret tidak menjawab, hanya tersenyum kecil, seolah mengerti apa yang dimaksud.

“He’s a great guy, Sar.” kata Bret dengan nada datar lagi, “Terlepas dari semua gosip tentang petualangannya, dia orang yang baik.”
“Yah… well… begitulah.” jawabku singkat, “Kayaknya kamu tahu banyak tentang kami.” sambungku.
“Kurang lebih begitulah.” jawabnya, “Beberapa waktu lalu, pas kalian pertama kali ketemu, dia banyak tanya ke aku tentang kamu, karena dia tahu kalau aku teman dekatmu dulu.”
“Hahaha! Dasar cowok!” jawabku tertawa geli, “Selalu konspirasi di sana sini!”

Kijang silver itu mulai memasuki halaman apartemenku di daerah timur agak ke selatan kota S.

“Tuh, dia udah di lobby!” kata Bret sambil menunjuk ke arah lobby dimana disitu terlihat sosok “The Big D” sedang berdiri tegak menatap ke arah mobil kami. Di sampingnya tampak seorang satpam yang ukurannya nyaris setengah kali ukuran si D.

Setelah berpamitan dengan Bret dan mengucapkan terimakasih atas tumpangannya, aku mengajak D melihat ke kamar apartemenku yang baru ini, yang belum tertata, dan D berjanji untuk membantu menatanya sebelum dia pulang ke Jakarta minggu depan. Kami mandi bersama lalu pergi tidur. Di atas ranjang kami tidak melakukan apa-apa selain berpelukan sambil ngobrol. Menceritakan teman-teman SMA di masa lalu dimana ternyata banyak dari teman-teman SMA-ku adalah teman SMP si D. Ngobrol tentang bagaimana peran Bret dalam membantu D mendapatkan aku (hehehe, GR nih!). Konyolnya, D juga menceritakan bahwa alasan Bret membantunya adalah karena D pernah membantu Bret mendapatkan calon istrinya yang sekarang (Dasar pria!). Setelah lama ngobrol, akhirnya kami lelah dan sama-sama tertidur. D masih menginap di apartemenku selama seminggu, dan tentu banyak cerita tentang apa yang kulakukan bersamanya di sudut-sudut kamar apartemenku yang baru itu.