Selasa, 08 Juli 2014

Sari The Lust Hunter - 1

Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend. ---

Ini terjadi pada saat aku meninggalkan pekerjaanku yang lama untuk melanjutkan studi. Waktu itu umurku 23 tahun, secara fisik, posturku tidak banyak berbeda dengan sekarang. (Bagi yang belum tahu, aku wanita umur 26 pada tanggal 19 April 2000 nanti, aku berdarah campuran Jepang-India-Cina, tinggi 176 dan beratnya…well…agak kurang sekitar 5 kg dari idealnya. Bentuk badanku tidak terlalu berliku-liku, cenderung kelihatan tipis-jangkung, dan rambutku pendek seleher.)

Sehari setelah acara perpisahan dengan rekan-rekan sekantor, aku sudah berada di kursi pesawat Singapore Airlines yang menuju ke negara tempat aku akan melanjutkan studi. Aku duduk di dekat jendela, sementara di sebelah kananku duduk pasangan suami istri yang berusia kurang lebih 40 tahunan, dan dari aksennya bisa ditebak kalau mereka berasal dari kota yang sama denganku. Sepanjang penerbangan, pasangan itu selalu cekcok, mulai dari makanan, kursi, sampai acara videopun diributkan, hingga aku agak jengkel dan berusaha untuk tidur saja.Aku terbangun ketika pramugari menyajikan makan malam. Kursi di sampingku kosong, rupanya sang istri sedang pergi ke toilet atau berjalan-jalan. Di kursi sebelahnya, bapak berusia 40 tahunan itu tersenyum padaku dan mulai makan. “Mari Dik, makan dulu.” Katanya sambil tersenyum ramah. “Mari, Pak.” Jawabku sambil tersenyum juga. Rupanya bapak ini cukup ramah juga meski tadi siang aku sempat sebal mendengarnya ribut dengan istrinya.

Aku mulai menyantap hidangan vegetarian yang khusus disiapkan untukku oleh kru pesawat itu. Lama setelah itu, aku baru sadar bahwa meja lipat di depan kursi sampingku tidak terdapat makanan, dan ibu yang tadinya duduk disitu juga tak kunjung kembali. “Pak, Ibu pindah tempat?” Tanyaku pada bapak yang tadi itu. “Iya Dik, dia pindah ke baris belakang sana.” Jawabnya sambil tetap berkonsentrasi pada puding yang disantapnya. “Kenapa kok pindah?” Tanyaku lagi, sambil berusaha menusuk potongan buah semangka dengan garpu plastik yang tumpul. “Saya yang suruh, kan kasihan Adik nggak bisa tidur nanti kalau kita ribut terus.” Jawabnya aku tertawa dan menanyakan apakah memang setiap harinya begitu, dan jawabannya agak mengejutkan, bapak itu berkata bahwa ia dan istrinya sedang dalam proses mengurus surat cerai di negara tempat mereka menikah dulu. “Wah, maaf Pak, saya nggak tahu.” Kataku dengan nada agak menyesal telah menanyakan hal itu. “Nggak apa-apa Dik, saya maklum kok.” Jawabnya, “Lagipula kami berbahagia dengan perceraian ini.” Meski agak heran, aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak tentang hal itu. Setelah makan malam usai, lampu-lampu dipadamkan, dan para penumpang mulai tidur.

Karena sudah tidur siangnya, maka aku tidak lagi bisa tidur, jadi aku ngobrol dengan Bapak itu, yang ternyata bernama Pak Bob. Mula-mula obrolan kami hanya basa-basi dan saling menceritakan latar belakang masing-masing, sampai akhirnya kami makin akrab. “Sari tinggi sekali yah? Apa Sari fotomodel?” Tanya Pak Bob. “Oh, bukan, masa kurus begini fotomodel, Pak?” Jawabku. “Lho, kan jaman sekarang fotomodel tinggi-tinggi dan langsing, juga cantik seperti Sari gitu.” Kata Pak Bob lagi. “Wah, terimakasih.” Jawabku sambil tersipu dan kehabisan kata-kata. Dalam hati, insting avonturirku mulai muncul. Rasa-rasanya Pak Bob ini mulai berani juga, dan tampaknya dia tidak jelek-jelek banget untuk menambah koleksi nama-nama pria di buku harianku yang waktu itu masih belum sebanyak sekarang. Pak Bob memiliki tubuh yang tinggi besar untuk orang seusianya. Perutnya pun tidak terlalu tambun, dan tingginya juga hanya sedikit lebih pendek dari aku. Warna kulitnya kecoklatan terbakar matahari, dan wajahnya terkesan berwibawa dan lumayan tampan, meski garis-garis ketuaan sudah mulai muncul di sana-sini.

“Keberatan nggak, kalau saya pindah di situ?” Tanya Pak Bob sambil menunjuk ke kursi kosong diantara kursi kami. “Oh, nggak apa-apa, Pak.” Jawabku sambil tersenyum, namun kali ini aku agak menyipitkan mata dengan sayu, sekedar memberinya isyarat. Entah ia bisa membaca isyarat itu atau tidak, ia berpindah ke kursi tepat di sampingku, lalu melihat keluar jendela, seolah-olah itulah alasannya untuk berpindah tempat, padahal di luar hanya hitam saja yang bisa dilihat. Karena suhu mulai agak kelewat dingin, aku menutupi tubuhku dengan selimut yang tersedia di kantong di sandaran kursi depanku. Sambil lalu, aku sempat mendapati Pak Bob sering mencuri pandang ke arahku meski ia berlagak membaca majalah. “Dingin ya, Sari?” Tanyanya. “Iya, Bapak nggak kedinginan?” Tanyaku memancing. “Iya, saya pakai selimut juga, ah” Jawabnya sambil memasang selimut di tubuhnya yang besar dan gemuk itu. Posisi duduk di kelas ekonomi memang rapat-rapat, hingga selimutku dan selimut Pak Bob saling menutupi. Aku berpura-pura tidur sambil wajahku kuhadapkan ke Pak Bob, menunggu reaksinya lebih lanjut. Lama juga dia bereaksi, mungkin agak takut meski matanya tidak dapat menyembunyikan apa yang ada di otaknya.

Well, semua pria tak banyak berbeda. Lama setelah itu, aku merasakan tangan Pak Bob bergerak ke bawah selimutku dan mengusap-usap punggung tanganku. Agar ia tidak mengurungkan niatnya, aku pura-pura tidak terbangun. Tangannya yang nakal lalu bergeser ke pahaku, mengusap-usapnya di balik celana jinsku, lalu ia menggerakkan jari-jarinya di atas lutut kananku, menggelitik. “Mmm…Geli dong, Pak.” Jawabku sambil membuka mata dan menatap tajam ke arahnya. Pak Bob tampak agak terperanjat ketika mengetahui aku tidak benar-benar tidur, namun tangannya tetap saja bermain-main di atas lututku. Aku membiarkan saja ketika tangannya itu bergerak ke atas, menelusuri paha dan berhenti di perutku. “Kamu langsing ya, Sari…Bagus sekali perut rata begini.” Katanya sambil jari-jarinya memijit-mijit perutku. Waktu itu aku mengenakan kemeja ketat bermotif kotak-kotak yang tidak kumasukkan ke dalam celana, hingga tangannya mudah saja untuk kemudian bergeser ke atas dan menyentuh pangkal leherku. Aku menarik selimut agak ke atas agar tangannya tak terlihat orang lain. Mataku menatap matanya dengan pandangan sendu yang kubuat-buat. Ia tampak girang, dan menggerakkan tangannya hingga menyusup masuk lewat belahan kemejaku yang bagian atasnya tak terkancing. Kini telapak tangannya langsung menyelip ke balik bra sport yang kukenakan, dan memegang payudara kiriku, tanpa ada penghalang lagi.

Jari-jari yang besar dan kekar itu lalu meremas-remas sedikit, menemukan puting susuku, dan menjentik-jentiknya lembut. “Nggghhh…” Aku mendesah lirih karena rasa gelinya membuat putingku langsung menegang. Jari-jarinya terus saja memilin-milin puting kiriku. Karena takut dilihat penumpang lain, aku berusaha untuk menahan geli dan tidak banyak bergerak, namun karena rasa geli nikmat itu benar-benar hebat, mataku jadi menyipit dan bibirku setengah terbuka mendesahkan nafasku yang mulai memburu. “Ohhh…geli Pakkk…sshhhh…” Di sela rasa geli dan nikmat itu aku melihat Pak Bob bergerak-gerak di balik selimutnya, rupanya ia mengeluarkan kejantanannya dan mengurut-ngurutnya sendiri dengan tangan kiri sementara tangan kanannya terus meremas dan memainkan payudara kiriku di balik selimut.

Aku makin kegelian hingga kepalaku menengadah ke atas. Kancing-kancing kemejaku telah terbuka semuanya dan kemeja itu telah tersingkap ke samping, hingga pundak kananku dapat merasakan dinginnya AC dari balik selimut tebal itu. Pak Bob meletakkan telapak tangannya yang besar di tengah dadaku, ibujarinya memijat-mijat puting kananku sementara jari tengahnya menjentik-jentik puting kiriku. Aduhhh…rangsangan yang diberikannya membuatku merasakan nikmat yang luar biasa hingga aku makin sulit bernafas. Aku memejamkan mata dan membuka mulut tanpa mengeluarkan suara selain desahan nafas yang tersendat-sendat. Tangan kananku bergerak ke balik selimut Pak Bob dan menemukan kejantanannya yang telah keras dan tegang.
Jemariku mengurut-urutnya dengan liar, anehnya, ia dapat mengontrol ekspresinya hingga wajahnya tampak seperti orang yang sedang melamun saja. Padahal aku sudah terpejam-pejam menahan rangsangan.

Pak Bob lalu memiringkan tubuhnya menghadapku, diangkatnya pegangan kursi diantara kami hingga kini tak ada penghalang di antara tubuh kami lalu kepalanya menghilang masuk ke dalam selimut yang menutupi seluruh adegan itu. Aku memiringkan tubuhku menghadapnya juga, dan di balik selimut itu ia menjilat dan menghisap-hisap kedua puting susuku bergantian sambil meremas-remasnya. Uhhh…jelas saja aku makin tak tahan akan rangsangan ini, keringat mulai menetes di keningku yang berkerut karena kedua alisku menyatu di tengah menahan birahi. Untungnya lampu-lampu pesawat dimatikan dan hampir semua penumpang tidur, sehingga tak ada yang melihat eksresi wajahku yang sedang meringis terangsang berat. “Uhhhkkk…P-Pakk…Aduhhhhh…J-jangan yang itu…!” Bisikku ketika jari-jari Pak Bob mulai menyelip ke dalam ritsluiting jeansku yang telah dibukanya. Namun ia tak menghiraukan, jemarinya kini menyentuh tonjolan klitku dari balik celana dalam, dan membuat gerakan memijat memutar.

Aku menggeliat-geliat karena kewanitaanku terangsang hebat dan mulai mengalirkan banyak lendir. Sementara hisapan dan jilatan Pak Bob pada kedua puting payudaraku membuat tubuhku kian gemetar menahan rangsangan. “Sari, ayo ke kamar kecil.” Bisik Pak Bob sambil menghentikan semua gerakannya dan mengancingkan lagi kancing-kancing kemejaku. Kami berdiri dan berjingkat-jingkat menuju ke toilet di bagian depan. Beberapa pramugari yang melihat kami hanya pasang tampang cuek melihat wajahku yang sayu dan agak berkeringat. Di dalam ruang toilet pesawat yang amat sempit itu, Pak Bob melucuti pakaianku hingga aku benar-benar telanjang, aku tak berusaha melawan karena telah terangsang berat oleh foreplaynya yang kelas tinggi tadi. Ia membalikkan tubuhku hingga aku berdiri membelakanginya.

Dengan masih berpakaian lengkap, ia memeluk dari belakang tubuh telanjangku, diremas-remasnya kedua payudaraku dan diciuminya tengkukku. Sejujurnya aku telah terangsang amat berat saat itu hingga aku tak lagi mampu menahan nafsu birahi. Aku berpegangan pada meja wastafel kecil di sisi ruang toilet itu ketika Pak Bob menunggingkan tubuhku menghadap ke cermin. Mataku terpejam karena tak ingin melihat wajahku sendiri dalam kondisi terangsang berat.

Lalu tiba-tiba kewanitaanku dijejali kejantanannya yang keras itu, Ughhh…Aku merintih tertahan ketika kewanitaanku terasa penuh sesak. Pak Bob mendiamkan sejenak kejantanannya berhenti disitu, merasakan kehangatan jepitan otot-otot kewanitaanku. Tangannya berpindah dari pinggang ke payudaraku, meremasnya, dan mulailah ia bergerak menyodok-nyodok, makin lama makin cepat. Aku merintih dan mendesah sejadi-jadinya, namun aku tak berani berteriak karena takut didengar oleh para pramugari dan penumpang lain. Tanganku berusaha meraih-raih pegangan yang tidak ada.
Sempitnya ruang toilet itu membuat gerakan kami terbatas, dan persetubuhan ini terasa agak menyiksaku meski masih terasa nikmatnya. Pak Bob tidak peduli, ia terus saja menekan-nekankan tubuhnya ke tubuhku sambil memainkan kedua puting susuku. Saat itu pertama kalinya aku menitikkan air mata karena merasa agak tersiksa pada saat bersebadan. Namun kenikmatan tetap mengalir ke tubuhku hingga aku lupa daratan. 

“Uhhh…ssshhhh….” “Tahan sebentar Sari…” Desah Pak Bob sambil terus melakukannya. “Lihat di cermin, kamu cantik sekali!” Sambungnya.

Aku membuka mata dan agak kaget melihat wajahku dalam ekspresi seperti itu. Itulah saat pertama aku melihat ekspresiku sendiri saat bersetubuh, dan terus terang, aku merasa terangsang sendiri. Wajahku tampak agak menyipit dan meringis menahan kenikmatan, sementara beberapa helai rambut yang basah oleh keringat jatuh di dahiku, aku merasa begitu seksi saat itu, namun juga begitu nakal, begitu liar. Nafasku makin memburu. Uhh…enakkk sekali rasanya kejantanan Pak Bob menggerus-gerus tiap sudut dalam liang kewanitaanku.

Kedua pantatku bertabrak-tabrakan dengan panggulnya yang keras, kedua payudaraku terasa amat geli dan nikmat oleh remasan-remasannya. Hingga akhirnya aku merasakan gigitan orgasme yang membuat tubuhku tegang dan kaku. Pada saat yang sama, Pak Bob mencabut kejantanannya dan mengeluarkan isinya ke dalam wastafel. Untuk sesaat aku hanya diam terpejam sambil berusaha tetap berdiri meski kedua tungkaiku serasa gemetar. Beberapa menit kami saling tidak berbicara dan diam saja di toilet itu. Aku terduduk di atas toilet sambil membungkuk memeluk tubuhku yang telanjang. Kepalaku tertunduk dalam-dalam merasakan sisa-sisa orgasme yang masih membuat kewanitaanku berdenyut-denyut.

Tak lama kemudian, Pak Bob membantuku mengenakan kembali kemeja dan jeansku. Bra dan celana dalamku kumasukkan dalam disposal bag dan kutenteng keluar. Sekembalinya ke tempat duduk, aku menyelimuti tubuhku lagi dan tertidur nyenyak. Pagi hari, aku terbangun pada saat pesawat akan landing. Kedua kursi di sampingku kosong, Pak Bob telah pindah entah ke kursi yang mana. Sampai pada saat penumpang berjejalan untuk turun pun aku masih belum dapat menemukannya. Pada waktu sedang berdiri di antrian imigrasi, aku mengambil paspor dalam saku kemejaku, terselip sehelai kertas.
Bertuliskan ucapan terimakasih Pak Bob, lengkap dengan nomor teleponnya di Indonesia dan di negara itu. Dengan santai, aku meremas-remas kertas itu, dan menjatuhkannya ke lantai. Yah, Pak Bob yang beruntung itu tidak pernah lagi mendapat telepon dari aku, atau bertemu denganku. Ia cukup bagus, namun terlalu kasar dan ingin mendominasi. Tidak terlalu berkesan memang. Namun demikian, ia telah menjadi salah satu pria yang kuanggap beruntung, yang namanya bisa tertulis dalam buku harianku, buku harian sang petualang, The Lust Hunter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar