Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---
Ini
terjadi pada saat aku meninggalkan pekerjaanku yang lama untuk
melanjutkan studi. Waktu itu umurku 23 tahun, secara fisik, posturku
tidak banyak berbeda dengan sekarang. (Bagi yang belum tahu, aku wanita
umur 26 pada tanggal 19 April 2000 nanti, aku berdarah campuran
Jepang-India-Cina, tinggi 176 dan beratnya…well…agak kurang sekitar 5 kg
dari idealnya. Bentuk badanku tidak terlalu berliku-liku, cenderung
kelihatan tipis-jangkung, dan rambutku pendek seleher.)
Sehari
setelah acara perpisahan dengan rekan-rekan sekantor, aku sudah berada
di kursi pesawat Singapore Airlines yang menuju ke negara tempat aku
akan melanjutkan studi. Aku duduk di dekat jendela, sementara di sebelah
kananku duduk pasangan suami istri yang berusia kurang lebih 40
tahunan, dan dari aksennya bisa ditebak kalau mereka berasal dari kota
yang sama denganku. Sepanjang penerbangan, pasangan itu selalu cekcok,
mulai dari makanan, kursi, sampai acara videopun diributkan, hingga aku
agak jengkel dan berusaha untuk tidur saja.Aku terbangun ketika
pramugari menyajikan makan malam. Kursi di sampingku kosong, rupanya
sang istri sedang pergi ke toilet atau berjalan-jalan. Di kursi
sebelahnya, bapak berusia 40 tahunan itu tersenyum padaku dan mulai
makan. “Mari Dik, makan dulu.” Katanya sambil tersenyum ramah. “Mari,
Pak.” Jawabku sambil tersenyum juga. Rupanya bapak ini cukup ramah juga
meski tadi siang aku sempat sebal mendengarnya ribut dengan istrinya.
Aku
mulai menyantap hidangan vegetarian yang khusus disiapkan untukku oleh
kru pesawat itu. Lama setelah itu, aku baru sadar bahwa meja lipat di
depan kursi sampingku tidak terdapat makanan, dan ibu yang tadinya duduk
disitu juga tak kunjung kembali. “Pak, Ibu pindah tempat?” Tanyaku pada
bapak yang tadi itu. “Iya Dik, dia pindah ke baris belakang sana.”
Jawabnya sambil tetap berkonsentrasi pada puding yang disantapnya.
“Kenapa kok pindah?” Tanyaku lagi, sambil berusaha menusuk potongan buah
semangka dengan garpu plastik yang tumpul. “Saya yang suruh, kan
kasihan Adik nggak bisa tidur nanti kalau kita ribut terus.” Jawabnya
aku tertawa dan menanyakan apakah memang setiap harinya begitu, dan
jawabannya agak mengejutkan, bapak itu berkata bahwa ia dan istrinya
sedang dalam proses mengurus surat cerai di negara tempat mereka menikah
dulu. “Wah, maaf Pak, saya nggak tahu.” Kataku dengan nada agak
menyesal telah menanyakan hal itu. “Nggak apa-apa Dik, saya maklum kok.”
Jawabnya, “Lagipula kami berbahagia dengan perceraian ini.” Meski agak
heran, aku memutuskan untuk tidak bertanya lebih banyak tentang hal itu.
Setelah makan malam usai, lampu-lampu dipadamkan, dan para penumpang
mulai tidur.
Karena
sudah tidur siangnya, maka aku tidak lagi bisa tidur, jadi aku ngobrol
dengan Bapak itu, yang ternyata bernama Pak Bob. Mula-mula obrolan kami
hanya basa-basi dan saling menceritakan latar belakang masing-masing,
sampai akhirnya kami makin akrab. “Sari tinggi sekali yah? Apa Sari
fotomodel?” Tanya Pak Bob. “Oh, bukan, masa kurus begini fotomodel,
Pak?” Jawabku. “Lho, kan jaman sekarang fotomodel tinggi-tinggi dan
langsing, juga cantik seperti Sari gitu.” Kata Pak Bob lagi. “Wah,
terimakasih.” Jawabku sambil tersipu dan kehabisan kata-kata. Dalam
hati, insting avonturirku mulai muncul. Rasa-rasanya Pak Bob ini mulai
berani juga, dan tampaknya dia tidak jelek-jelek banget untuk menambah
koleksi nama-nama pria di buku harianku yang waktu itu masih belum
sebanyak sekarang. Pak Bob memiliki tubuh yang tinggi besar untuk orang
seusianya. Perutnya pun tidak terlalu tambun, dan tingginya juga hanya
sedikit lebih pendek dari aku. Warna kulitnya kecoklatan terbakar
matahari, dan wajahnya terkesan berwibawa dan lumayan tampan, meski
garis-garis ketuaan sudah mulai muncul di sana-sini.
“Keberatan
nggak, kalau saya pindah di situ?” Tanya Pak Bob sambil menunjuk ke
kursi kosong diantara kursi kami. “Oh, nggak apa-apa, Pak.” Jawabku
sambil tersenyum, namun kali ini aku agak menyipitkan mata dengan sayu,
sekedar memberinya isyarat. Entah ia bisa membaca isyarat itu atau
tidak, ia berpindah ke kursi tepat di sampingku, lalu melihat keluar
jendela, seolah-olah itulah alasannya untuk berpindah tempat, padahal di
luar hanya hitam saja yang bisa dilihat. Karena suhu mulai agak kelewat
dingin, aku menutupi tubuhku dengan selimut yang tersedia di kantong di
sandaran kursi depanku. Sambil lalu, aku sempat mendapati Pak Bob
sering mencuri pandang ke arahku meski ia berlagak membaca majalah.
“Dingin ya, Sari?” Tanyanya. “Iya, Bapak nggak kedinginan?” Tanyaku
memancing. “Iya, saya pakai selimut juga, ah” Jawabnya sambil memasang
selimut di tubuhnya yang besar dan gemuk itu. Posisi duduk di kelas
ekonomi memang rapat-rapat, hingga selimutku dan selimut Pak Bob saling
menutupi. Aku berpura-pura tidur sambil wajahku kuhadapkan ke Pak Bob,
menunggu reaksinya lebih lanjut. Lama juga dia bereaksi, mungkin agak
takut meski matanya tidak dapat menyembunyikan apa yang ada di otaknya.
Well,
semua pria tak banyak berbeda. Lama setelah itu, aku merasakan tangan
Pak Bob bergerak ke bawah selimutku dan mengusap-usap punggung tanganku.
Agar ia tidak mengurungkan niatnya, aku pura-pura tidak terbangun.
Tangannya yang nakal lalu bergeser ke pahaku, mengusap-usapnya di balik
celana jinsku, lalu ia menggerakkan jari-jarinya di atas lutut kananku,
menggelitik. “Mmm…Geli dong, Pak.” Jawabku sambil membuka mata dan
menatap tajam ke arahnya. Pak Bob tampak agak terperanjat ketika
mengetahui aku tidak benar-benar tidur, namun tangannya tetap saja
bermain-main di atas lututku. Aku membiarkan saja ketika tangannya itu
bergerak ke atas, menelusuri paha dan berhenti di perutku. “Kamu
langsing ya, Sari…Bagus sekali perut rata begini.” Katanya sambil
jari-jarinya memijit-mijit perutku. Waktu itu aku mengenakan kemeja
ketat bermotif kotak-kotak yang tidak kumasukkan ke dalam celana, hingga
tangannya mudah saja untuk kemudian bergeser ke atas dan menyentuh
pangkal leherku. Aku menarik selimut agak ke atas agar tangannya tak
terlihat orang lain. Mataku menatap matanya dengan pandangan sendu yang
kubuat-buat. Ia tampak girang, dan menggerakkan tangannya hingga
menyusup masuk lewat belahan kemejaku yang bagian atasnya tak
terkancing. Kini telapak tangannya langsung menyelip ke balik bra sport
yang kukenakan, dan memegang payudara kiriku, tanpa ada penghalang lagi.
Jari-jari
yang besar dan kekar itu lalu meremas-remas sedikit, menemukan puting
susuku, dan menjentik-jentiknya lembut. “Nggghhh…” Aku mendesah lirih
karena rasa gelinya membuat putingku langsung menegang. Jari-jarinya
terus saja memilin-milin puting kiriku. Karena takut dilihat penumpang
lain, aku berusaha untuk menahan geli dan tidak banyak bergerak, namun
karena rasa geli nikmat itu benar-benar hebat, mataku jadi menyipit dan
bibirku setengah terbuka mendesahkan nafasku yang mulai memburu.
“Ohhh…geli Pakkk…sshhhh…” Di sela rasa geli dan nikmat itu aku melihat
Pak Bob bergerak-gerak di balik selimutnya, rupanya ia mengeluarkan
kejantanannya dan mengurut-ngurutnya sendiri dengan tangan kiri
sementara tangan kanannya terus meremas dan memainkan payudara kiriku di
balik selimut.
Aku
makin kegelian hingga kepalaku menengadah ke atas. Kancing-kancing
kemejaku telah terbuka semuanya dan kemeja itu telah tersingkap ke
samping, hingga pundak kananku dapat merasakan dinginnya AC dari balik
selimut tebal itu. Pak Bob meletakkan telapak tangannya yang besar di
tengah dadaku, ibujarinya memijat-mijat puting kananku sementara jari
tengahnya menjentik-jentik puting kiriku. Aduhhh…rangsangan yang
diberikannya membuatku merasakan nikmat yang luar biasa hingga aku makin
sulit bernafas. Aku memejamkan mata dan membuka mulut tanpa
mengeluarkan suara selain desahan nafas yang tersendat-sendat. Tangan
kananku bergerak ke balik selimut Pak Bob dan menemukan kejantanannya
yang telah keras dan tegang.
Jemariku
mengurut-urutnya dengan liar, anehnya, ia dapat mengontrol ekspresinya
hingga wajahnya tampak seperti orang yang sedang melamun saja. Padahal
aku sudah terpejam-pejam menahan rangsangan.
Pak
Bob lalu memiringkan tubuhnya menghadapku, diangkatnya pegangan kursi
diantara kami hingga kini tak ada penghalang di antara tubuh kami lalu
kepalanya menghilang masuk ke dalam selimut yang menutupi seluruh adegan
itu. Aku memiringkan tubuhku menghadapnya juga, dan di balik selimut
itu ia menjilat dan menghisap-hisap kedua puting susuku bergantian
sambil meremas-remasnya. Uhhh…jelas saja aku makin tak tahan akan
rangsangan ini, keringat mulai menetes di keningku yang berkerut karena
kedua alisku menyatu di tengah menahan birahi. Untungnya lampu-lampu
pesawat dimatikan dan hampir semua penumpang tidur, sehingga tak ada
yang melihat eksresi wajahku yang sedang meringis terangsang berat.
“Uhhhkkk…P-Pakk…Aduhhhhh…J-jangan yang itu…!” Bisikku ketika jari-jari
Pak Bob mulai menyelip ke dalam ritsluiting jeansku yang telah
dibukanya. Namun ia tak menghiraukan, jemarinya kini menyentuh tonjolan
klitku dari balik celana dalam, dan membuat gerakan memijat memutar.
Aku
menggeliat-geliat karena kewanitaanku terangsang hebat dan mulai
mengalirkan banyak lendir. Sementara hisapan dan jilatan Pak Bob pada
kedua puting payudaraku membuat tubuhku kian gemetar menahan rangsangan.
“Sari, ayo ke kamar kecil.” Bisik Pak Bob sambil menghentikan semua
gerakannya dan mengancingkan lagi kancing-kancing kemejaku. Kami berdiri
dan berjingkat-jingkat menuju ke toilet di bagian depan. Beberapa
pramugari yang melihat kami hanya pasang tampang cuek melihat wajahku
yang sayu dan agak berkeringat. Di dalam ruang toilet pesawat yang amat
sempit itu, Pak Bob melucuti pakaianku hingga aku benar-benar telanjang,
aku tak berusaha melawan karena telah terangsang berat oleh foreplaynya
yang kelas tinggi tadi. Ia membalikkan tubuhku hingga aku berdiri
membelakanginya.
Dengan
masih berpakaian lengkap, ia memeluk dari belakang tubuh telanjangku,
diremas-remasnya kedua payudaraku dan diciuminya tengkukku. Sejujurnya
aku telah terangsang amat berat saat itu hingga aku tak lagi mampu
menahan nafsu birahi. Aku berpegangan pada meja wastafel kecil di sisi
ruang toilet itu ketika Pak Bob menunggingkan tubuhku menghadap ke
cermin. Mataku terpejam karena tak ingin melihat wajahku sendiri dalam
kondisi terangsang berat.
Lalu
tiba-tiba kewanitaanku dijejali kejantanannya yang keras itu, Ughhh…Aku
merintih tertahan ketika kewanitaanku terasa penuh sesak. Pak Bob
mendiamkan sejenak kejantanannya berhenti disitu, merasakan kehangatan
jepitan otot-otot kewanitaanku. Tangannya berpindah dari pinggang ke
payudaraku, meremasnya, dan mulailah ia bergerak menyodok-nyodok, makin
lama makin cepat. Aku merintih dan mendesah sejadi-jadinya, namun aku
tak berani berteriak karena takut didengar oleh para pramugari dan
penumpang lain. Tanganku berusaha meraih-raih pegangan yang tidak ada.
Sempitnya
ruang toilet itu membuat gerakan kami terbatas, dan persetubuhan ini
terasa agak menyiksaku meski masih terasa nikmatnya. Pak Bob tidak
peduli, ia terus saja menekan-nekankan tubuhnya ke tubuhku sambil
memainkan kedua puting susuku. Saat itu pertama kalinya aku menitikkan
air mata karena merasa agak tersiksa pada saat bersebadan. Namun
kenikmatan tetap mengalir ke tubuhku hingga aku lupa daratan.
“Uhhh…ssshhhh….” “Tahan sebentar Sari…” Desah Pak Bob sambil terus
melakukannya. “Lihat di cermin, kamu cantik sekali!” Sambungnya.
Aku
membuka mata dan agak kaget melihat wajahku dalam ekspresi seperti itu.
Itulah saat pertama aku melihat ekspresiku sendiri saat bersetubuh, dan
terus terang, aku merasa terangsang sendiri. Wajahku tampak agak
menyipit dan meringis menahan kenikmatan, sementara beberapa helai
rambut yang basah oleh keringat jatuh di dahiku, aku merasa begitu seksi
saat itu, namun juga begitu nakal, begitu liar. Nafasku makin memburu.
Uhh…enakkk sekali rasanya kejantanan Pak Bob menggerus-gerus tiap sudut
dalam liang kewanitaanku.
Kedua
pantatku bertabrak-tabrakan dengan panggulnya yang keras, kedua
payudaraku terasa amat geli dan nikmat oleh remasan-remasannya. Hingga
akhirnya aku merasakan gigitan orgasme yang membuat tubuhku tegang dan
kaku. Pada saat yang sama, Pak Bob mencabut kejantanannya dan
mengeluarkan isinya ke dalam wastafel. Untuk sesaat aku hanya diam
terpejam sambil berusaha tetap berdiri meski kedua tungkaiku serasa
gemetar. Beberapa menit kami saling tidak berbicara dan diam saja di
toilet itu. Aku terduduk di atas toilet sambil membungkuk memeluk
tubuhku yang telanjang. Kepalaku tertunduk dalam-dalam merasakan
sisa-sisa orgasme yang masih membuat kewanitaanku berdenyut-denyut.
Tak
lama kemudian, Pak Bob membantuku mengenakan kembali kemeja dan
jeansku. Bra dan celana dalamku kumasukkan dalam disposal bag dan
kutenteng keluar. Sekembalinya ke tempat duduk, aku menyelimuti tubuhku
lagi dan tertidur nyenyak. Pagi hari, aku terbangun pada saat pesawat
akan landing. Kedua kursi di sampingku kosong, Pak Bob telah pindah
entah ke kursi yang mana. Sampai pada saat penumpang berjejalan untuk
turun pun aku masih belum dapat menemukannya. Pada waktu sedang berdiri
di antrian imigrasi, aku mengambil paspor dalam saku kemejaku, terselip
sehelai kertas.
Bertuliskan
ucapan terimakasih Pak Bob, lengkap dengan nomor teleponnya di
Indonesia dan di negara itu. Dengan santai, aku meremas-remas kertas
itu, dan menjatuhkannya ke lantai. Yah, Pak Bob yang beruntung itu tidak
pernah lagi mendapat telepon dari aku, atau bertemu denganku. Ia cukup
bagus, namun terlalu kasar dan ingin mendominasi. Tidak terlalu berkesan
memang. Namun demikian, ia telah menjadi salah satu pria yang kuanggap
beruntung, yang namanya bisa tertulis dalam buku harianku, buku harian
sang petualang, The Lust Hunter.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar