Selasa, 08 Juli 2014

Sari The Lust Hunter - 2

Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---


Cerita kali ini diambil dari buku harian saya lagi, tentunya karena saya tidak punya bahan referensi lain untuk dijadikan cerita. Angka tahunnya menunjukkan tahun 1993, saat itu saya masih kuliah di salah satu fakultas psikologi di kota saya, hanya saja saya sudah belajar cari duit, dan tentunya...well...sudah memulai petualangan saya, meski baru tahap-tahap awal.
OK, :
 

Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya jam dinding yang terlalu lambat 10 menit itu menunjukkan pukul 9 tepat. Pak dosen pun dengan riangnya menutup notes besarnya yang sudah dipakainya untuk mengajar sejak tahun tujuh puluhan, dan dengan angkuhnya mengingatkan para mahasiswa untuk belajar giat, karena minggu depan sudah memasuki musim ujian tengah semester.
Belajar? Hihihi, jangan membuatku tertawa. Sejauh ini, aku senantiasa berhasil menempuh ujian apapun, mulai dari Ebtanas SMP, SMA, sampai UMPTN dengan bermodalkan kertas kecil penuh rumus yang kulipat-lipat dan kumasukkan ke dalam saku. Sungguh warisan ilmu yang sangat berharga yang kupelajari dari ibuku! Apalagi aku sama sekali belum mampu melihat korelasi antara IPK dengan keberhasilan orang. Bukankah orang terkaya di negara kita justru seorang yang tidak tamat SD? So, kenapa mesti repot? Emang anak-anak kita nanti mau dikasih makan transkrip?
 

Nah, berangkat dari pemikiran itulah, aku dan beberapa temanku kompakan mengumpulkan modal untuk mulai berbisnis. Sejujurnya, modal yang terkumpul adalah nol, alias tidak ada sama sekali. Bisnis yang kujalankan ini kudapat dari seorang pria asal Malaysia yang kebetulan omong-omong denganku di lapangan tennis beberapa minggu lalu. Hanya dengan sedikit senyum dan kerlingan mata, plus tentunya isi kepala yang cukup encer, dia mempercayai aku dan kawan-kawan untuk membantunya memasarkan seperangkat soft/hardware untuk komputerasi pergudangan industri. Itu juga sebabnya kenapa pada saat kuliah hari ini aku tidak mengenakan busana kebesaranku yang biasanya (Jins ketat yang jarang tercuci, dan kaos oblong berwarna cerah), kali ini aku memakai rok span rapi berwarna hijau muda, dengan kemeja putih yang ditutup blazer hijau muda juga. Maklum, agendaku menunjukkan kalau pukul sepuluh nanti aku harus mempresentasikan instrumen daganganku pada sebuah perusahaan pabrik plastik di distrik !
industri R.
 

"Sari, kamu jadi pinjam catatanku?" Ujar temanku Hilda dengan ramah dan penuh perhatian.
"Oh, iya, jelas!" Jawabku singkat sambil menarik beberapa lembaran loose leaf dari tangan Hilda yang gemuk dan berkaca mata tebal itu, yang selama ini dapat diandalkan untuk menjadi 'sekretaris' bagiku.
"Eh, kamu kok rapi gitu, ada acara kemana?" Tanya Hilda lagi.
"Mau jualan." Jawabku singkat sambil berdiri tegak dan menggosok mata menghilangkan kantuk selama jam kuliah tadi.
"Hm...semoga sukses deh!" Kata Hilda sambil membarengi aku berjalan turun ke lantai dasar gedung kampus.
 

Di luar gedung, aku sudah ditunggu oleh sebuah Taft GT putih yang berisi dua orang kawanku, Elsa dan Agus. Kedua teman inilah yang memutuskan untuk ikut bersamaku menjalankan bisnisku ini. Elsa yang anak accounting itu sangat teliti dalam itung-itungan duit, sementara Agus adalah anak teknik komputer yang bawaannya 'nerd' dan pemalu. Tentu saja mereka berdua mempercayai aku yang minus pengetahuan tapi surplus nekat untuk mempresentasikan instrumen ini pada perusahaan-perusahaan, meski mereka harus mendampingi aku agar tidak terjadi salah perhitungan atau salah jawab. Hehehe.
 

Singkat cerita, kami sudah berada di dalam ruang rapat di sebuah pabrik plastik di distrik industri R. Kami bertiga dipersilakan duduk di sekeliling sebuah meja rapat panjang yang masih kosong. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan muncullah beberapa orang manager puncak di perusahaan itu. Meski terbiasa nekat, kuakui kalau aku rada minder juga harus berbicara di depan orang-orang yang dahinya dipenuhi kerutan itu. Ah, so what? The show must go on, kan?
 

Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kurang logis dan cenderung emosional dari orang-orang 'hebat' itu, akhirnya General Manager yang kebetulan seorang ibu, mengajakku masuk ke ruangannya. Ia memuji caraku memberikan penjelasan, juga memuji kemampuan teknis dari kedua temanku yang lain, dan memutuskan untuk memakai instrumen itu di pabriknya. Bukan kejutan yang luar biasa, karena ayah Elsa adalah klien utama dari perusahaan itu. Namun tetap saja menggembirakan, karena ini adalah perusahaan pertama yang memutuskan untuk membeli dari 12 perusahaan yang sudah kami kunjungi. Sepulang dari pabrik itu, aku dan temanku bersorak-sorai di dalam mobil, membayangkan keuntungan yang kami dapatkan dari transaksi beberapa ribu dolar itu. Bagi anak kecil berusia 19 tahunan, tentu saja komisi yang beberapa persen (dari ribuan dolar, ingat!) terasa begitu luar biasa. Bahkan beberapa hari awal dalam proses instalasi, semuanya terasa aman-aman saja. Para pekerja di pabrik, para konsultan!
dari Malaysia, dan juga para manager terasa sangat bersahabat dan menyenangkan. Sampai tiba saatnya untuk menagih termin kedua (dari 3) pada bagian pembelian.
 

Manager pembelian yang memintaku datang ke ruangannya itu adalah seorang pria berusia 30-an yang selalu memasang senyum ramah. Orangnya cukup OK juga, dengan dandanan yang selalu kelimis rapi dan tutur kata yang terkesan cerdas. Namun apa yang dikatakannya hari itu menunjukkan siapa sebenarnya pria yang bernama Sony itu.
"Wah, hebat juga ya, masih muda gini sudah pinter bisnis!" Katanya sambil menyilakan aku duduk di seberang meja kerjanya.
"Ah, kita masih belajar kok, Pak." Jawabku sambil mengamati rambut kelimis dan hidung mancungnya.
"Masih belajar gimana? Nilai transaksinya aja sebesar ini." Katanya lagi dengan menunjuk angka di lembaran giro di mejanya.
Aku tidak segera menjawab, karena masih berusaha menebak kemana arah pembicaraannya.
"Mbok ya saya diciprati sedikit komisinya, buat uang sekolah anak saya." Katanya dengan lugas, gamblang, dan terus terang.
"Oooh, itu toh?" Jawabku sambil mengangguk, "Tapi nilai transaksinya kan sudah disetujui ibu GM, mana bisa diubah?"
"Lah, itu bisa diatur, dik Sari." Jawabnya menyunggingkan senyum memamerkan sederet giginya yang rata dan bersih.
"Oh ya? Gimana caranya itu?" Tanyaku karena benar-benar tidak mengerti.
"Barang ini kan diimpor, nah, tambahkan saja biaya shipping and handling, beres sudah." Jawabnya dengan nada menggurui.
"Oh, gitu." Jawabku tanpa ekspresi, "Berapa biasanya?"
"Ya terserah dik Sari, seikhlasnya aja." Jawabnya. "Gimana kalau 300 dolar?" Sambungnya lagi.
Tanpa menunggu persetujuanku, dia mengetikkan angka itu di MS Excel, yang kemudian diprint sebagai Purchase Order.
"Lantas, selanjutnya gimana?" Tanyaku lagi. Maklum, waktu itu aku masih (agak) lugu.
"Ya nanti tinggal ditransfer ke tempat saya, 'kan? Gampang kok!" Jawabnya.
 

Sepeninggalku dari ruang itu, aku merasa agak tidak enak karena belum terbiasa dengan pola 'uang bawah meja' seperti itu. Tapi selama memperlancar transaksi, kenapa tidak? Pikirku. Sayang sekali tidak semuanya berjalan seperti yang diharapkan. Freight dari Malaysia mengalami trouble, sehingga diperlukan biaya tambahan untuk dapat mengeluarkan barang dari bea cukai, ditambah lagi pembayaran yang molor karena perubahan nilai transaksi sebanyak 300 dolar itu kurang disetujui pihak management. Hari-hari pun terasa begitu lambat dan tidak enak bagiku, karena aku merasa sungkan pada ibu GM yang telah dengan baiknya mau memberi kepercayaan pada kami, namun aku telah 'mengkhianatinya'. Ditambah lagi setiap aku berpapasan dengan Pak Sony di pabrik, ia selalu tersenyum ramah, menyentuh lenganku dan membisikkan kata-kata yang mengingatkanku pada 'transaksi bawah meja' kami. Dan aku selalu membalasnya dengan senyum manis sambil mengatakan bahwa kita harus menunggu sampai proses instalasi!
benar-benar kelar karena dana yang tadinya disiapkan untuk dia sedang terpakai untuk proses pengurusan barang itu di bea cukai, namun dia terus saja mendesakku untuk melakukan transfer itu lebih awal.
 

Akhirnya pada suatu hari aku mulai tidak sabar dengan ulahnya yang terus menerus menagih itu. Aku menelponnya lewat telepon selular untuk melakukan tawar menawar.
"Pak, kayaknya ngga bisa deh, kalau 300 dolar."
"Lantas bisanya berapa?"
"Gimana kalau 50 persennya?"
"Hm..150 dolar, wah...bisa dipakai apa tuh?" (Saat itu USD masih sekitar Rp 2500-3000)
"Abis gimana, Pak. Ibu GM menawar sampai segitu, menurut beliau nilai 300 itu kelewat tinggi."
"Hm...gimana kalau...ditambahi sedikit, dik Sari?"
"Berapa Pak?"
"Nggak usah berupa duit deh, saya kasihan juga sama dik Sari dan teman-teman."
"Lantas?"
"Hmm, saya yakin dik Sari juga setuju dengan tawaran saya, saya lihat kamu cukup berpengalaman kayaknya."
"Dalam hal apa?"
"Ah, jangan pura-pura nggak tahu, Dik. Kamu pengen juga kan?"
Kata-kata itu langsung dapat aku tebak arahnya. Ternyata gaya pria perayu kampungan sama saja, baik di usia belasan maupun 30-an, mereka selalu bersikap seolah-olah para wanita juga menginginkannya. Dalam kepalaku segera timbul rencana yang tak kalah licik dengan ulahnya.
"Well, OK deh, terserah Bapak aja." Jawabku mengakhiri pembicaraan per telepon itu.
 

Singkat cerita, pada malam berikutnya aku sudah duduk manis di pub di sebuah hotel berbintang mengenakan sackdress ketat tanpa lengan berwarna hitam dengan belahan setinggi paha. Beberapa orang pria asal Jepang sempat berusaha melancarkan rayuan dan ajakan, tapi aku hanya tersenyum sambil memasang tampang alim yang kontras dengan pakaian yang kukenakan.
Setelah menunggu setengah jam, muncullah Pak Sony di pub itu. Dengan kaos yang pas di badan, ia tampak agak lebih muda dan lebih ganteng. Bentuk badannya yang lumayan terlatih juga tampak menggoda.
"Sudah lama, Sari?" Tanyanya sambil melempar pantat di barstool di sebelahku.
"Baru 10 menit kok, Pak." Jawabku sambil melirik padanya.
"Ah, jangan panggil Pak dong, panggil Sony aja!" Katanya. "Kan beda dengan di kantor."
Kami segera terlibat pembicaraan akrab, dimana ia menceritakan tentang istrinya yang menurutnya gemuk dan jelek serta cerewet. Diam-diam sempat terpikir juga olehku bahwa penyebab pria menyeleweng ialah karena sikap si istri sendiri.
 

Akhirnya ia mengajakku untuk naik ke mobilnya, yang segera meluncur ke sebuah hotel kecil di daerah dekat pantai. Sekedar info, hotel itu terletak agak jauh dari keramaian kota. Satu dua menit kemudian, kami telah berada di sebuah kamar hotel murah, seluas kurang lebih 5x5 meter, dengan AC amat dingin dan dinding agak lembab tidak terawat. Satu-satunya benda yang terawat baik di kamar itu hanyalah spring bed berukuran besar di tengah ruangan, juga cermin lebar di dinding yang membuat ruang itu terasa lebih luas. Tangan-tangan Sony memeluk tubuhku dari belakang.
"Hm...Kamu ini kok tinggi sekali, sih Sari?" Tanyanya sambil meremas-remas pinggangku dengan gemas.
Aku melirik ke kiri, melihat matanya yang hanya setinggi bahuku.
"Tapi suka kan, Pak?" Tanyaku menggoda.
Sejenak aku menutup mata dan menarik nafas panjang untuk melupakan emosi dan logika, memfokuskan sense hanya pada fisik, mempersiapkan diri untuk menikmati petualangan baru.
"Iya, bener, aku suka sekali." Dengusnya di telingaku.
 

Tangannya memijit-mijit bahuku dengan lihatinya, mengusir rasa pegal yang menderaku semenjak beberapa hari lalu. Jemarinya yang besar-besar dan hangat itu mengait kedua tali bahu di bajuku, dan menyingkapkannya ke samping hingga ia lebih leluasa lagi memijit dan menjamah bahuku yang halus dan (selalu) terawat.
"Sari, duduk dong." Bisiknya di telingaku seraya menarik tubuhku ke ranjang.
 

Aku duduk di pinggir ranjang membelakangi Sony yant terus mengurut-urut bahuku, memberiku perasaan rileks dan ringan. Pelan-pelan ia menurunkan tangannya ke depan, menuruni bahuku...kehangatan telapak tangannya mulai merambat di bawah leherku... begitu pelahan ia mengusap-usap disitu...menurun lagi perlahan-lahan...menyusup ke balik sackdressku yang dilengkapi mangkuk penahan...turun lagi sambil meremas melingkar-lingkar..."Nggggghhh....", Aku mendesah nikmat ketika telapak tangan itu tiba pada sepasang payudaraku, mengalirkan kehangatan yang luar biasa nikmatnya. Kedua payudaraku yang kencang itu terasa pas di telapak tangannya yang meremas dan mengusap-usap lembut, sedikit bergesekan dengan puting-putingnya, Uhh...nikmat sekali.
 

Sambil terus meremas-remaskan tangannya, hidungnya menelusuri tengkuk dan leherku yang jenjang. Rambutku yang hanya setengkuk membuat lidahnya bebas mengoles-ngoles leherku, menaburkan rasa geli yang membuat kedua bahuku bergerak naik dan turun karena kegelian. Aku memiringkan kepalaku ke kiri ketika lidahnya mulai menjilat-jilat ke telinga kananku...Uhhh... Nggghh...Aku tak kuasa menahan desahan nafas dari mulut dan hidungku karena begitu nikmatnya. Tanpa kusadari, bajuku telah melorot turun hingga ke pinggangku, hingga kini kedua payudaraku yang kencang tampak terekspos dengan bebas pada cermin di depan ranjang.
"Buka mata, Sari...Lihat di kaca." Kata Sony.
Aku membuka mata sedikit, dan kulihat di cermin bayanganku sedang duduk dengan badan bagian atas terbuka lebar, mataku tampak sayu dan agak redup, sementara kedua puting susuku tampak mulai meninggi.
"Kamu cantik sekali." Bisik Sony lagi.
 

Ia tidak memberiku waktu untuk menjawab, ditariknya tubuhku hingga telentang menindih tubuhnya yang juga telentang di bawah tubuhku. Kepalaku terjatuh menengadah ke samping kanan kepalanya, membuatnya kian leluasa menjilati bagian kiri rahang dan leherku dengan rakus, telapak tangan kirinya meremas dan menjamah kedua payudaraku bergantian, sementara tangan kanannya kini bergerak ke bawah, meraba-raba pahaku lewat belahan rok yang tinggi. Ditariknya paha kananku ke samping, hingga tangannya dengan mudah menemukan selangkanganku yang tertutup celana dalam. Ia tidak berusaha melepaskannya, ia hanya menggerakkan jarinya mengusap-usap celana dalamku dari luar. Usapannya melewati jalur yang tepat, jari itu kini menekan sambil menggosok bibir kewanitaanku dari balik celana dalam.
"Ahkkk..." Aku merintih tertahan ketika jari-jarinya mulai menggosok klitoris dan bibir-bibir di bawahnya.
 

Jari itu terus saja menekan dan menggosok-gosok disitu...kian cepat...kian cepat...semakin cepat...Tubuhku terjingkat-jingkat menahan rasa birahi yang mengalir menyengat-nyengat, kepalaku terbuang ke kiri ke kanan, wajahku meringis-ringis tak terkontrol, jeritan dan eranganku terdengar memenuhi ruangan.
 

Melihatku begitu terangsang, Sony kian girang, kini ia berbalik menindih tubuhku dan mendaratkan ciuman-ciuman liarnya pada bibir dan leherku. Aku hanya telentang pasrah membiarkan mulutnya tiba di payudaraku, dan menyedot-nyedot kedua puting susuku bergantian. Ohh...aku menggeliat-geliat menahan rasa geli dan nikmat yang tak tertahankan. Kedua puting susu di dadaku kini berdiri tegak mengacung tiggi sekali, membuatnya justru makin bernafsu menyedot dan melumat-lumatnya.
"Ohhh....Ssshhh..." Rintih dan desahanku tak dipedulikannya, ia hanya berusaha menikmati tubuhku sepuasnya.
 

Akhirnya ia melucuti semua yang melekat pada tubuh jangkungku, membuatku tergolek di ranjang dengan pasrah tanpa selembar benangpun yang menutupi. Mataku setengah terbuka mengamati seisi ruangan. Bantal yang cukup tinggi di bawah kepalaku memungkinkanku untuk melihat kedua payudaraku bergerak naik turun dengan cepat mengikuti nafasku yang tersengal-sengal, kedua putingnya tampak memerah dan berkilat karena liur Sony tadi. Tampak juga kedua pahaku yang terbuka ke kiri dan kanan, juga kepala Sony yang kini sedang berada di antaranya.
"Hkkkkk...." Nafasku terhenti ketika merasakan sambaran lidahnya menyapu klitorisku dengan cepat dan singkat. Aku mencoba mengatur nafas lagi setelah itu, namun Ahggg...Lidah itu kembali tiba dan menyapunya lagi...lalu lama berhenti.
 

Tanganku segera menjambak rambut Sony yang kelimis berminyak itu, menarik kepalanya menempel pada selangkanganku. Ia mengerti isyarat itu, lalu dengan agresif dan buas menjilati kewanitaanku dengan jilatan-jilatan frekwensi tinggi dan cepat. Aku menggelinjang-gelinjang sambil mengerang-ngerang keras. Kepalaku mendongak ke atas, mataku terpejam, gigiku terkatup rapat, namun bibirku setengah terbuka. Kedua alisku seperti menyatu di tengah kening yang mengerut karena berusaha keras untuk menahan dentuman-dentuman birahi yang kian meledak-ledak. Ohh...Pria ini benar-benar tahu menggunakan lidahnya.
 

Di luar kebiasaan, (Dan mungkin juga karena 'jam terbang' yang belum cukup panjang waktu itu.) permainan lidahnya yang begitu konstan dan cepat menyayat-nyayat kewanitaanku mengalirkan rasa geli yang kelewat besar ke sekujur tubuh dan membuat badan ini mengejang. Aku berusaha menahan, namun lidahnya terus saja menyapu-nyapu dengan cepat. Meski aku sudah menahan nafas dan mengangkat punggungku dari ranjang, kenikmatan itu tetap saja menyembur masuk, hingga akhirnya orgasme pertamaku datang menyambar. Setelah beberapa detik mengejang, tubuhku terkulai lemas tak berdaya dengan nafas terengah-engah.
"Lho? Baru segitu aja kok udah keok?" Tanya Sony dengan nada bangga namun terkesan mengejek.
Aku tak menjawab, aku hanya tersenyum sedikit sambil berusaha mengatur nafasku yang terasa masih berat. Kulihat ia berjalan mengitari ranjang dengan tubuh gempalnya yang telanjang. Tampak juga kejantanannya mengacung ke depan agak bengkok ke atas. Wajahnya tersenyum-senyum bangga seperti lazimnya pria-pria awam seks, yang menganggap orgasme pria adalah lambang keperkasaan pria dan bukannya sesuatu yang harus dicapai bersama-sama dengan kompak.
 

Setelah cukup lama memandangi tubuhku yang terkapar dibanjiri keringat, akhirnya ia melompat naik ke ranjang. Ia berlutut di antara kedua pahaku yang terbuka, mengangkat kedua tungkaiku, lalu menyorongkan kejantanannya ke depan. Meleset. Kejantanannya tergelincir ke atas karena bibir kewanitaanku masih amat licin oleh cairan yang mengalir dari dalamnya. Dicobanya lagi...meleset lagi...namun gesekan-gesekan itu terasa membangkitkan lagi birahiku di sela-sela kenikmatan orgasme pertama yang masih terasa. Karena tidak sabar, digenggamnya kejantanannya sendiri, diarahkannya menuju liang kewanitaanku, dan ditikamkannya keras-keras ke dalam.
"Ahgggg....sakittttt!" Jeritku ketika kewanitaanku terasa agak perih karena tergesek dengan cepat.
Ia tak peduli, ia lantas mengocokkan kejantanannya di dalam tubuhku dengan kencang dan cepat. Aku merintih dan meringis-ringis kesakitan, namun aku tak mau konyol, aku harus menikmati permainan ini. Kedua tanganku segera memilin-milin kedua puting payudaraku, mengalirkan rasa nikmat di situ, lalu jari tengah tangan kananku menggosok-gosok klitorisku, menekan-nekan, menjentik-jentik, melakukan apa saja untuk memberi tubuhku rasa nikmat yang membuat kewanitaanku mengalirkan cairan pelumasnya. Untunglah aku berhasil, terasa lendir pekat itu mulai mengalir dari dinding-dinding kewanitaanku dan membuatku mampu menikmati gesekan-gesekan dari kejantanan Sony.
 

Mmmm...Rasanya nikmat sekali ketika kejantanan itu bergerak dan menggosok kewanitaanku dari dalam. Aku memejamkan mata dan mengendurkan otot-otot tubuhku, membiarkan Sony bekerja keras menggerakkan kejantanannya di dalam sana, menggelincir keluar masuk, aduuh enaknya. Setelah cukup lama seperti itu, aku telah siap untuk orgasme berikutnya. Aku merapatkan jepitan pahaku untuk membuat kejantanan itu makin terasa mantap gesekannya. Birahi mulai datang bergulung-gulung menerpa tubuhku, menyengatkan aliran listrik ribuan volt pada kewanitaanku. Bersamaan dengan itu, aku merasakan kejantanan Sony berdenyut-denyut di sela gesekan-gesekannya yang kian cepat. Sebersit kesadaran sempat hinggap di kepalaku menjelang orgasme yang kedua ini. Tungkaiku bergerak cepat, mendorong tubuh Sony hingga terjengkang di lantai. Tercabutnya kejantanan itu memberiku sensasi yang amat luar biasa, yang mengantarku mencapai klimaks lagi. Ahhhh...bukan main nikmatnya. Sempat terlihat Sony kaget ketika terj!
engkang, sempat pula kulihat kejantanannya memuntahkan 'isi'-nya berceceran di karpet, sempat pula tampak wajahnya mengekspresikan rasa nikmat, lalu aku memejamkan mata.
 

Pagi harinya, aku terbangun, mendapati Sony masih pulas di sampingku. Aku segera berdiri, melangkah ke kamar mandi, mencuci muka, dan kembali ke kamar untuk berpakaian. Sambil menyisir rambut pendekku di depan cermin, aku melihat tampang Sony yang lumayan itu sedang terlelap mendengkur. Sebersit senyum tampak di wajahku di depan cermin. Senyum yang mengiringi petualangan baru yang baru saja kuakhiri. Senyum yang juga mengiringi sebuah amplop surat yang baru saja tiba di meja GM pabrik plastik R. Amplop yang berisi surat dari ayah Elsa yang juga klien pabrik itu. Di dalam surat itu, tertulis pernyataan ayah Elsa yang amat kecewa karena anaknya yang baru saja mulai belajar berbisnis sudah diperas oleh seorang manager pembelian yang serakah, juga ancaman untuk menghentikan kerja sama bila pemerasan itu tidak ditindak lanjuti. Mengingat bahwa perusahaan milik ayah temanku itu adalah klien terbesar pabrik plastik R, tentu saja ibu GM segera bertindak.
 

Siang harinya, ketika aku datang ke pabrik plastik R untuk penyelesaian instalasi, ibu GM memanggilku ke kantornya. Ia menyatakan permohonan maaf atas kelancangan stafnya itu. Ia pun menunjukkan padaku surat dari ayah Elsa, juga surat pengunduran diri yang harus segera ditanda tangani oleh Pak Sony, tidak lupa juga surat pernyataan pemecatan secara tidak hormat yang akan disebarkan ke segenap perusahaan industri di kotaku. Hihihi, sungguh sial nasibnya. Mungkin baru kali ini ia salah memilih sasaran. Yang membuatnya harus membayar begitu mahal. Mungkin ia mengira bahwa 150 dolar ialah nilai yang cukup untuk dapat membeli satu malam dari Si Pemburu. Sayang sekali, 150 dolar itu masih harus ditambah dengan sisa karir, sisa kehidupannya, dan masa depan keluarganya pun harus dimulai lagi dari nol karena ulahnya. Well, memang perlu diingat, bahwa pemburu akan memburu, dan bukan untuk diburu.

Ah, well. Itu tadi sedikit cerita di awal karir saya. Mungkin bukan cerita yang dipenuhi lenguhan dan rintihan nikmat, tapi itu adalah kisah yang benar-benar terjadi dan dengan nama-nama person yang sama sekali tidak disamarkan. Tokoh-tokoh dalam cerita di atas pun masih hidup, dan saya rasa, juga mengingat segala sesuatunya. Elsa dan Agus kini telah menikah dan hijrah ke negara tetangga serta membuka bisnis instrumentasi warehousenya disana. Pabrik plastik R juga sempat diakui sebagai perusahaan yang paling efisien sistem informasinya. Bagaimana dengan Pak Sony? Well, satu-satunya doa saya untuk dia hanyalah semoga ia tidak termasuk salah satu pembaca cerita ini.
Sampai jumpa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar