Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---
Cerita kali ini diambil dari buku harian
saya lagi, tentunya karena saya tidak punya bahan referensi lain untuk
dijadikan cerita. Angka tahunnya menunjukkan tahun 1993, saat itu saya
masih kuliah di salah satu fakultas psikologi di kota saya, hanya saja
saya sudah belajar cari duit, dan tentunya...well...sudah memulai
petualangan saya, meski baru tahap-tahap awal.
OK, :
Setelah lama
ditunggu-tunggu, akhirnya jam dinding yang terlalu lambat 10 menit itu
menunjukkan pukul 9 tepat. Pak dosen pun dengan riangnya menutup notes
besarnya yang sudah dipakainya untuk mengajar sejak tahun tujuh puluhan,
dan dengan angkuhnya mengingatkan para mahasiswa untuk belajar giat,
karena minggu depan sudah memasuki musim ujian tengah
semester.
Belajar? Hihihi, jangan membuatku tertawa. Sejauh ini, aku
senantiasa berhasil menempuh ujian apapun, mulai dari Ebtanas SMP, SMA,
sampai UMPTN dengan bermodalkan kertas kecil penuh rumus yang
kulipat-lipat dan kumasukkan ke dalam saku. Sungguh warisan ilmu yang
sangat berharga yang kupelajari dari ibuku! Apalagi aku sama sekali belum
mampu melihat korelasi antara IPK dengan keberhasilan orang. Bukankah
orang terkaya di negara kita justru seorang yang tidak tamat SD? So,
kenapa mesti repot? Emang anak-anak kita nanti mau dikasih makan
transkrip?
Nah, berangkat dari pemikiran
itulah, aku dan beberapa temanku kompakan mengumpulkan modal untuk mulai
berbisnis. Sejujurnya, modal yang terkumpul adalah nol, alias tidak ada
sama sekali. Bisnis yang kujalankan ini kudapat dari seorang pria asal
Malaysia yang kebetulan omong-omong denganku di lapangan tennis beberapa
minggu lalu. Hanya dengan sedikit senyum dan kerlingan mata, plus tentunya
isi kepala yang cukup encer, dia mempercayai aku dan kawan-kawan untuk
membantunya memasarkan seperangkat soft/hardware untuk komputerasi
pergudangan industri. Itu juga sebabnya kenapa pada saat kuliah hari ini
aku tidak mengenakan busana kebesaranku yang biasanya (Jins ketat yang
jarang tercuci, dan kaos oblong berwarna cerah), kali ini aku memakai rok
span rapi berwarna hijau muda, dengan kemeja putih yang ditutup blazer
hijau muda juga. Maklum, agendaku menunjukkan kalau pukul sepuluh nanti
aku harus mempresentasikan instrumen daganganku pada sebuah perusahaan
pabrik plastik di distrik !
industri R.
"Sari, kamu jadi pinjam
catatanku?" Ujar temanku Hilda dengan ramah dan penuh perhatian.
"Oh,
iya, jelas!" Jawabku singkat sambil menarik beberapa lembaran loose leaf
dari tangan Hilda yang gemuk dan berkaca mata tebal itu, yang selama ini
dapat diandalkan untuk menjadi 'sekretaris' bagiku.
"Eh, kamu kok rapi
gitu, ada acara kemana?" Tanya Hilda lagi.
"Mau jualan." Jawabku
singkat sambil berdiri tegak dan menggosok mata menghilangkan kantuk
selama jam kuliah tadi.
"Hm...semoga sukses deh!" Kata Hilda sambil
membarengi aku berjalan turun ke lantai dasar gedung
kampus.
Di luar gedung, aku sudah
ditunggu oleh sebuah Taft GT putih yang berisi dua orang kawanku, Elsa dan
Agus. Kedua teman inilah yang memutuskan untuk ikut bersamaku menjalankan
bisnisku ini. Elsa yang anak accounting itu sangat teliti dalam
itung-itungan duit, sementara Agus adalah anak teknik komputer yang
bawaannya 'nerd' dan pemalu. Tentu saja mereka berdua mempercayai aku yang
minus pengetahuan tapi surplus nekat untuk mempresentasikan instrumen ini
pada perusahaan-perusahaan, meski mereka harus mendampingi aku agar tidak
terjadi salah perhitungan atau salah jawab. Hehehe.
Singkat cerita,
kami sudah berada di dalam ruang rapat di sebuah pabrik plastik di distrik
industri R. Kami bertiga dipersilakan duduk di sekeliling sebuah meja
rapat panjang yang masih kosong. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan
muncullah beberapa orang manager puncak di perusahaan itu. Meski terbiasa
nekat, kuakui kalau aku rada minder juga harus berbicara di depan
orang-orang yang dahinya dipenuhi kerutan itu. Ah, so what? The show must
go on, kan?
Setelah menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang kurang logis dan cenderung emosional dari
orang-orang 'hebat' itu, akhirnya General Manager yang kebetulan seorang
ibu, mengajakku masuk ke ruangannya. Ia memuji caraku memberikan
penjelasan, juga memuji kemampuan teknis dari kedua temanku yang lain, dan
memutuskan untuk memakai instrumen itu di pabriknya. Bukan kejutan yang
luar biasa, karena ayah Elsa adalah klien utama dari perusahaan itu. Namun
tetap saja menggembirakan, karena ini adalah perusahaan pertama yang
memutuskan untuk membeli dari 12 perusahaan yang sudah kami kunjungi.
Sepulang dari pabrik itu, aku dan temanku bersorak-sorai di dalam mobil,
membayangkan keuntungan yang kami dapatkan dari transaksi beberapa ribu
dolar itu. Bagi anak kecil berusia 19 tahunan, tentu saja komisi yang
beberapa persen (dari ribuan dolar, ingat!) terasa begitu luar biasa.
Bahkan beberapa hari awal dalam proses instalasi, semuanya terasa
aman-aman saja. Para pekerja di pabrik, para konsultan!
dari Malaysia,
dan juga para manager terasa sangat bersahabat dan menyenangkan. Sampai
tiba saatnya untuk menagih termin kedua (dari 3) pada bagian pembelian.
Manager pembelian yang memintaku datang
ke ruangannya itu adalah seorang pria berusia 30-an yang selalu memasang
senyum ramah. Orangnya cukup OK juga, dengan dandanan yang selalu kelimis
rapi dan tutur kata yang terkesan cerdas. Namun apa yang dikatakannya hari
itu menunjukkan siapa sebenarnya pria yang bernama Sony itu.
"Wah,
hebat juga ya, masih muda gini sudah pinter bisnis!" Katanya sambil
menyilakan aku duduk di seberang meja kerjanya.
"Ah, kita masih belajar
kok, Pak." Jawabku sambil mengamati rambut kelimis dan hidung
mancungnya.
"Masih belajar gimana? Nilai transaksinya aja sebesar ini."
Katanya lagi dengan menunjuk angka di lembaran giro di mejanya.
Aku
tidak segera menjawab, karena masih berusaha menebak kemana arah
pembicaraannya.
"Mbok ya saya diciprati sedikit komisinya, buat uang
sekolah anak saya." Katanya dengan lugas, gamblang, dan terus
terang.
"Oooh, itu toh?" Jawabku sambil mengangguk, "Tapi nilai
transaksinya kan sudah disetujui ibu GM, mana bisa diubah?"
"Lah, itu
bisa diatur, dik Sari." Jawabnya menyunggingkan senyum memamerkan sederet
giginya yang rata dan bersih.
"Oh ya? Gimana caranya itu?" Tanyaku
karena benar-benar tidak mengerti.
"Barang ini kan diimpor, nah,
tambahkan saja biaya shipping and handling, beres sudah." Jawabnya dengan
nada menggurui.
"Oh, gitu." Jawabku tanpa ekspresi, "Berapa
biasanya?"
"Ya terserah dik Sari, seikhlasnya aja." Jawabnya. "Gimana
kalau 300 dolar?" Sambungnya lagi.
Tanpa menunggu persetujuanku, dia
mengetikkan angka itu di MS Excel, yang kemudian diprint sebagai Purchase
Order.
"Lantas, selanjutnya gimana?" Tanyaku lagi. Maklum, waktu itu
aku masih (agak) lugu.
"Ya nanti tinggal ditransfer ke tempat saya,
'kan? Gampang kok!" Jawabnya.
Sepeninggalku dari ruang itu, aku merasa agak tidak enak karena belum
terbiasa dengan pola 'uang bawah meja' seperti itu. Tapi selama
memperlancar transaksi, kenapa tidak? Pikirku. Sayang sekali tidak
semuanya berjalan seperti yang diharapkan. Freight dari Malaysia mengalami
trouble, sehingga diperlukan biaya tambahan untuk dapat mengeluarkan
barang dari bea cukai, ditambah lagi pembayaran yang molor karena
perubahan nilai transaksi sebanyak 300 dolar itu kurang disetujui pihak
management. Hari-hari pun terasa begitu lambat dan tidak enak bagiku,
karena aku merasa sungkan pada ibu GM yang telah dengan baiknya mau
memberi kepercayaan pada kami, namun aku telah 'mengkhianatinya'. Ditambah
lagi setiap aku berpapasan dengan Pak Sony di pabrik, ia selalu tersenyum
ramah, menyentuh lenganku dan membisikkan kata-kata yang mengingatkanku
pada 'transaksi bawah meja' kami. Dan aku selalu membalasnya dengan senyum
manis sambil mengatakan bahwa kita harus menunggu sampai proses
instalasi!
benar-benar kelar karena dana yang tadinya disiapkan untuk
dia sedang terpakai untuk proses pengurusan barang itu di bea cukai, namun
dia terus saja mendesakku untuk melakukan transfer itu lebih
awal.
Akhirnya pada suatu hari aku mulai
tidak sabar dengan ulahnya yang terus menerus menagih itu. Aku menelponnya
lewat telepon selular untuk melakukan tawar menawar.
"Pak, kayaknya
ngga bisa deh, kalau 300 dolar."
"Lantas bisanya berapa?"
"Gimana
kalau 50 persennya?"
"Hm..150 dolar, wah...bisa dipakai apa tuh?" (Saat
itu USD masih sekitar Rp 2500-3000)
"Abis gimana, Pak. Ibu GM menawar
sampai segitu, menurut beliau nilai 300 itu kelewat
tinggi."
"Hm...gimana kalau...ditambahi sedikit, dik Sari?"
"Berapa
Pak?"
"Nggak usah berupa duit deh, saya kasihan juga sama dik Sari dan
teman-teman."
"Lantas?"
"Hmm, saya yakin dik Sari juga setuju dengan
tawaran saya, saya lihat kamu cukup berpengalaman kayaknya."
"Dalam hal
apa?"
"Ah, jangan pura-pura nggak tahu, Dik. Kamu pengen juga
kan?"
Kata-kata itu langsung dapat aku tebak arahnya. Ternyata gaya
pria perayu kampungan sama saja, baik di usia belasan maupun 30-an, mereka
selalu bersikap seolah-olah para wanita juga menginginkannya. Dalam
kepalaku segera timbul rencana yang tak kalah licik dengan
ulahnya.
"Well, OK deh, terserah Bapak aja." Jawabku mengakhiri
pembicaraan per telepon itu.
Singkat
cerita, pada malam berikutnya aku sudah duduk manis di pub di sebuah hotel
berbintang mengenakan sackdress ketat tanpa lengan berwarna hitam dengan
belahan setinggi paha. Beberapa orang pria asal Jepang sempat berusaha
melancarkan rayuan dan ajakan, tapi aku hanya tersenyum sambil memasang
tampang alim yang kontras dengan pakaian yang kukenakan.
Setelah
menunggu setengah jam, muncullah Pak Sony di pub itu. Dengan kaos yang pas
di badan, ia tampak agak lebih muda dan lebih ganteng. Bentuk badannya
yang lumayan terlatih juga tampak menggoda.
"Sudah lama, Sari?"
Tanyanya sambil melempar pantat di barstool di sebelahku.
"Baru 10
menit kok, Pak." Jawabku sambil melirik padanya.
"Ah, jangan panggil
Pak dong, panggil Sony aja!" Katanya. "Kan beda dengan di kantor."
Kami
segera terlibat pembicaraan akrab, dimana ia menceritakan tentang istrinya
yang menurutnya gemuk dan jelek serta cerewet. Diam-diam sempat terpikir
juga olehku bahwa penyebab pria menyeleweng ialah karena sikap si istri
sendiri.
Akhirnya ia mengajakku untuk
naik ke mobilnya, yang segera meluncur ke sebuah hotel kecil di daerah
dekat pantai. Sekedar info, hotel itu terletak agak jauh dari keramaian
kota. Satu dua menit kemudian, kami telah berada di sebuah kamar hotel
murah, seluas kurang lebih 5x5 meter, dengan AC amat dingin dan dinding
agak lembab tidak terawat. Satu-satunya benda yang terawat baik di kamar
itu hanyalah spring bed berukuran besar di tengah ruangan, juga cermin
lebar di dinding yang membuat ruang itu terasa lebih luas. Tangan-tangan
Sony memeluk tubuhku dari belakang.
"Hm...Kamu ini kok tinggi sekali,
sih Sari?" Tanyanya sambil meremas-remas pinggangku dengan gemas.
Aku
melirik ke kiri, melihat matanya yang hanya setinggi bahuku.
"Tapi suka
kan, Pak?" Tanyaku menggoda.
Sejenak aku menutup mata dan menarik nafas
panjang untuk melupakan emosi dan logika, memfokuskan sense hanya pada
fisik, mempersiapkan diri untuk menikmati petualangan baru.
"Iya,
bener, aku suka sekali." Dengusnya di
telingaku.
Tangannya memijit-mijit
bahuku dengan lihatinya, mengusir rasa pegal yang menderaku semenjak
beberapa hari lalu. Jemarinya yang besar-besar dan hangat itu mengait
kedua tali bahu di bajuku, dan menyingkapkannya ke samping hingga ia lebih
leluasa lagi memijit dan menjamah bahuku yang halus dan (selalu) terawat.
"Sari, duduk dong." Bisiknya di telingaku seraya menarik tubuhku ke
ranjang.
Aku duduk di pinggir ranjang membelakangi Sony yant terus
mengurut-urut bahuku, memberiku perasaan rileks dan ringan. Pelan-pelan ia
menurunkan tangannya ke depan, menuruni bahuku...kehangatan telapak
tangannya mulai merambat di bawah leherku... begitu pelahan ia
mengusap-usap disitu...menurun lagi perlahan-lahan...menyusup ke balik
sackdressku yang dilengkapi mangkuk penahan...turun lagi sambil meremas
melingkar-lingkar..."Nggggghhh....", Aku mendesah nikmat ketika telapak
tangan itu tiba pada sepasang payudaraku, mengalirkan kehangatan yang luar
biasa nikmatnya. Kedua payudaraku yang kencang itu terasa pas di telapak
tangannya yang meremas dan mengusap-usap lembut, sedikit bergesekan dengan
puting-putingnya, Uhh...nikmat sekali.
Sambil terus meremas-remaskan tangannya, hidungnya menelusuri tengkuk dan
leherku yang jenjang. Rambutku yang hanya setengkuk membuat lidahnya bebas
mengoles-ngoles leherku, menaburkan rasa geli yang membuat kedua bahuku
bergerak naik dan turun karena kegelian. Aku memiringkan kepalaku ke kiri
ketika lidahnya mulai menjilat-jilat ke telinga kananku...Uhhh...
Nggghh...Aku tak kuasa menahan desahan nafas dari mulut dan hidungku
karena begitu nikmatnya. Tanpa kusadari, bajuku telah melorot turun hingga
ke pinggangku, hingga kini kedua payudaraku yang kencang tampak terekspos
dengan bebas pada cermin di depan ranjang.
"Buka mata, Sari...Lihat di
kaca." Kata Sony.
Aku membuka mata sedikit, dan kulihat di cermin
bayanganku sedang duduk dengan badan bagian atas terbuka lebar, mataku
tampak sayu dan agak redup, sementara kedua puting susuku tampak mulai
meninggi.
"Kamu cantik sekali." Bisik Sony lagi.
Ia tidak memberiku
waktu untuk menjawab, ditariknya tubuhku hingga telentang menindih
tubuhnya yang juga telentang di bawah tubuhku. Kepalaku terjatuh
menengadah ke samping kanan kepalanya, membuatnya kian leluasa menjilati
bagian kiri rahang dan leherku dengan rakus, telapak tangan kirinya
meremas dan menjamah kedua payudaraku bergantian, sementara tangan
kanannya kini bergerak ke bawah, meraba-raba pahaku lewat belahan rok yang
tinggi. Ditariknya paha kananku ke samping, hingga tangannya dengan mudah
menemukan selangkanganku yang tertutup celana dalam. Ia tidak berusaha
melepaskannya, ia hanya menggerakkan jarinya mengusap-usap celana dalamku
dari luar. Usapannya melewati jalur yang tepat, jari itu kini menekan
sambil menggosok bibir kewanitaanku dari balik celana dalam.
"Ahkkk..." Aku merintih tertahan ketika jari-jarinya mulai menggosok
klitoris dan bibir-bibir di bawahnya.
Jari itu terus saja menekan dan
menggosok-gosok disitu...kian cepat...kian cepat...semakin cepat...Tubuhku
terjingkat-jingkat menahan rasa birahi yang mengalir menyengat-nyengat,
kepalaku terbuang ke kiri ke kanan, wajahku meringis-ringis tak
terkontrol, jeritan dan eranganku terdengar memenuhi
ruangan.
Melihatku begitu terangsang,
Sony kian girang, kini ia berbalik menindih tubuhku dan mendaratkan
ciuman-ciuman liarnya pada bibir dan leherku. Aku hanya telentang pasrah
membiarkan mulutnya tiba di payudaraku, dan menyedot-nyedot kedua puting
susuku bergantian. Ohh...aku menggeliat-geliat menahan rasa geli dan
nikmat yang tak tertahankan. Kedua puting susu di dadaku kini berdiri
tegak mengacung tiggi sekali, membuatnya justru makin bernafsu menyedot
dan melumat-lumatnya.
"Ohhh....Ssshhh..." Rintih dan desahanku tak
dipedulikannya, ia hanya berusaha menikmati tubuhku
sepuasnya.
Akhirnya ia melucuti semua
yang melekat pada tubuh jangkungku, membuatku tergolek di ranjang dengan
pasrah tanpa selembar benangpun yang menutupi. Mataku setengah terbuka
mengamati seisi ruangan. Bantal yang cukup tinggi di bawah kepalaku
memungkinkanku untuk melihat kedua payudaraku bergerak naik turun dengan
cepat mengikuti nafasku yang tersengal-sengal, kedua putingnya tampak
memerah dan berkilat karena liur Sony tadi. Tampak juga kedua pahaku yang
terbuka ke kiri dan kanan, juga kepala Sony yang kini sedang berada di
antaranya.
"Hkkkkk...." Nafasku terhenti ketika merasakan sambaran
lidahnya menyapu klitorisku dengan cepat dan singkat. Aku mencoba mengatur
nafas lagi setelah itu, namun Ahggg...Lidah itu kembali tiba dan
menyapunya lagi...lalu lama berhenti.
Tanganku segera menjambak rambut
Sony yang kelimis berminyak itu, menarik kepalanya menempel pada
selangkanganku. Ia mengerti isyarat itu, lalu dengan agresif dan buas
menjilati kewanitaanku dengan jilatan-jilatan frekwensi tinggi dan cepat.
Aku menggelinjang-gelinjang sambil mengerang-ngerang keras. Kepalaku
mendongak ke atas, mataku terpejam, gigiku terkatup rapat, namun bibirku
setengah terbuka. Kedua alisku seperti menyatu di tengah kening yang
mengerut karena berusaha keras untuk menahan dentuman-dentuman birahi yang
kian meledak-ledak. Ohh...Pria ini benar-benar tahu menggunakan
lidahnya.
Di luar kebiasaan, (Dan
mungkin juga karena 'jam terbang' yang belum cukup panjang waktu itu.)
permainan lidahnya yang begitu konstan dan cepat menyayat-nyayat
kewanitaanku mengalirkan rasa geli yang kelewat besar ke sekujur tubuh dan
membuat badan ini mengejang. Aku berusaha menahan, namun lidahnya terus
saja menyapu-nyapu dengan cepat. Meski aku sudah menahan nafas dan
mengangkat punggungku dari ranjang, kenikmatan itu tetap saja menyembur
masuk, hingga akhirnya orgasme pertamaku datang menyambar. Setelah
beberapa detik mengejang, tubuhku terkulai lemas tak berdaya dengan nafas
terengah-engah.
"Lho? Baru segitu aja kok udah keok?" Tanya Sony dengan
nada bangga namun terkesan mengejek.
Aku tak menjawab, aku hanya
tersenyum sedikit sambil berusaha mengatur nafasku yang terasa masih
berat. Kulihat ia berjalan mengitari ranjang dengan tubuh gempalnya yang
telanjang. Tampak juga kejantanannya mengacung ke depan agak bengkok ke
atas. Wajahnya tersenyum-senyum bangga seperti lazimnya pria-pria awam
seks, yang menganggap orgasme pria adalah lambang keperkasaan pria dan
bukannya sesuatu yang harus dicapai bersama-sama dengan kompak.
Setelah cukup lama memandangi tubuhku
yang terkapar dibanjiri keringat, akhirnya ia melompat naik ke ranjang. Ia
berlutut di antara kedua pahaku yang terbuka, mengangkat kedua tungkaiku,
lalu menyorongkan kejantanannya ke depan. Meleset. Kejantanannya
tergelincir ke atas karena bibir kewanitaanku masih amat licin oleh cairan
yang mengalir dari dalamnya. Dicobanya lagi...meleset lagi...namun
gesekan-gesekan itu terasa membangkitkan lagi birahiku di sela-sela
kenikmatan orgasme pertama yang masih terasa. Karena tidak sabar,
digenggamnya kejantanannya sendiri, diarahkannya menuju liang
kewanitaanku, dan ditikamkannya keras-keras ke
dalam.
"Ahgggg....sakittttt!" Jeritku ketika kewanitaanku terasa agak
perih karena tergesek dengan cepat.
Ia tak peduli, ia lantas
mengocokkan kejantanannya di dalam tubuhku dengan kencang dan cepat. Aku
merintih dan meringis-ringis kesakitan, namun aku tak mau konyol, aku
harus menikmati permainan ini. Kedua tanganku segera memilin-milin kedua
puting payudaraku, mengalirkan rasa nikmat di situ, lalu jari tengah
tangan kananku menggosok-gosok klitorisku, menekan-nekan,
menjentik-jentik, melakukan apa saja untuk memberi tubuhku rasa nikmat
yang membuat kewanitaanku mengalirkan cairan pelumasnya. Untunglah aku
berhasil, terasa lendir pekat itu mulai mengalir dari dinding-dinding
kewanitaanku dan membuatku mampu menikmati gesekan-gesekan dari kejantanan
Sony.
Mmmm...Rasanya nikmat sekali ketika kejantanan itu bergerak dan
menggosok kewanitaanku dari dalam. Aku memejamkan mata dan mengendurkan
otot-otot tubuhku, membiarkan Sony bekerja keras menggerakkan
kejantanannya di dalam sana, menggelincir keluar masuk, aduuh enaknya.
Setelah cukup lama seperti itu, aku telah siap untuk orgasme berikutnya.
Aku merapatkan jepitan pahaku untuk membuat kejantanan itu makin terasa
mantap gesekannya. Birahi mulai datang bergulung-gulung menerpa tubuhku,
menyengatkan aliran listrik ribuan volt pada kewanitaanku. Bersamaan
dengan itu, aku merasakan kejantanan Sony berdenyut-denyut di sela
gesekan-gesekannya yang kian cepat. Sebersit kesadaran sempat hinggap di
kepalaku menjelang orgasme yang kedua ini. Tungkaiku bergerak cepat,
mendorong tubuh Sony hingga terjengkang di lantai. Tercabutnya kejantanan
itu memberiku sensasi yang amat luar biasa, yang mengantarku mencapai
klimaks lagi. Ahhhh...bukan main nikmatnya. Sempat terlihat Sony kaget
ketika terj!
engkang, sempat pula kulihat kejantanannya memuntahkan
'isi'-nya berceceran di karpet, sempat pula tampak wajahnya
mengekspresikan rasa nikmat, lalu aku memejamkan
mata.
Pagi harinya, aku terbangun,
mendapati Sony masih pulas di sampingku. Aku segera berdiri, melangkah ke
kamar mandi, mencuci muka, dan kembali ke kamar untuk berpakaian. Sambil
menyisir rambut pendekku di depan cermin, aku melihat tampang Sony yang
lumayan itu sedang terlelap mendengkur. Sebersit senyum tampak di wajahku
di depan cermin. Senyum yang mengiringi petualangan baru yang baru saja
kuakhiri. Senyum yang juga mengiringi sebuah amplop surat yang baru saja
tiba di meja GM pabrik plastik R. Amplop yang berisi surat dari ayah Elsa
yang juga klien pabrik itu. Di dalam surat itu, tertulis pernyataan ayah
Elsa yang amat kecewa karena anaknya yang baru saja mulai belajar
berbisnis sudah diperas oleh seorang manager pembelian yang serakah, juga
ancaman untuk menghentikan kerja sama bila pemerasan itu tidak ditindak
lanjuti. Mengingat bahwa perusahaan milik ayah temanku itu adalah klien
terbesar pabrik plastik R, tentu saja ibu GM segera
bertindak.
Siang harinya, ketika aku
datang ke pabrik plastik R untuk penyelesaian instalasi, ibu GM
memanggilku ke kantornya. Ia menyatakan permohonan maaf atas kelancangan
stafnya itu. Ia pun menunjukkan padaku surat dari ayah Elsa, juga surat
pengunduran diri yang harus segera ditanda tangani oleh Pak Sony, tidak
lupa juga surat pernyataan pemecatan secara tidak hormat yang akan
disebarkan ke segenap perusahaan industri di kotaku. Hihihi, sungguh sial
nasibnya. Mungkin baru kali ini ia salah memilih sasaran. Yang membuatnya
harus membayar begitu mahal. Mungkin ia mengira bahwa 150 dolar ialah
nilai yang cukup untuk dapat membeli satu malam dari Si Pemburu. Sayang
sekali, 150 dolar itu masih harus ditambah dengan sisa karir, sisa
kehidupannya, dan masa depan keluarganya pun harus dimulai lagi dari nol
karena ulahnya. Well, memang perlu diingat, bahwa pemburu akan memburu,
dan bukan untuk diburu.
Ah, well. Itu tadi sedikit cerita di awal
karir saya. Mungkin bukan cerita yang dipenuhi lenguhan dan rintihan
nikmat, tapi itu adalah kisah yang benar-benar terjadi dan dengan
nama-nama person yang sama sekali tidak disamarkan. Tokoh-tokoh dalam
cerita di atas pun masih hidup, dan saya rasa, juga mengingat segala
sesuatunya. Elsa dan Agus kini telah menikah dan hijrah ke negara tetangga
serta membuka bisnis instrumentasi warehousenya disana. Pabrik plastik R
juga sempat diakui sebagai perusahaan yang paling efisien sistem
informasinya. Bagaimana dengan Pak Sony? Well, satu-satunya doa saya untuk
dia hanyalah semoga ia tidak termasuk salah satu pembaca cerita ini.
Sampai jumpa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar