Selasa, 08 Juli 2014

Sari The Lust Hunter - 5

Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---


Malam itu, sepulang dari kantor, dua orang wanita rekanku mengajak bersenang-senang sejenak untuk melupakan kesibukan. Memang hari-hari itu terasa sangat menyesakkan dada dan memeras keringat (Meski agak memalukan kalau diingat bahwa semua kesibukan yang kulakukan itu hanya untuk bisa memarkir mobil di sebuah petak yang berbeda dengan yang selama ini harus didapat secara berebut). Kedua temanku itu Reni dan Nova single dan masih muda, usianya dua-tiga tahun dibawahku (tua nih!) Mereka relatif masih 'fresh from the oven' dan belum banyak mengenal dunia malam, meski ngakunya sok 'bergaya hidup bebas'.Sejak awal, mereka berjanjian untuk memakai busana paling seksi dan 'mengundang' untuk acara malam itu. Ketika mereka mengajakku untuk tampil demikian, aku hanya tersenyum karena mereka mengatakannya di kantin hingga didengar banyak orang. Tapi sejujurnya aku rada bingung juga untuk memilih pakaian macam apa yang harus kukenakan malam itu. 


 Setelah menanti jarum jam bergerak dengan sangat lamban, akhirnya waktu yang dinanti-nanti tiba. Nova yang kebetulan adalah bawahanku di kantor, segera menyerbu masuk ke kamar kerjaku dengan tergopoh-gopoh.


"Bu Sari...Jadi nggak nih?" Tanyanya sambil menggerak-gerakkan gagang pintu untuk meyakinkan bahwa sudah terkunci dari dalam.
"Jadi dong, udah siap?" Tanyaku. "Eh, ntar jangan manggil bu ya? Aku jadi kerasa tua."
"Oh iya, sori mbak Sari." Jawabnya sambil meletakkan kantong plastik besar di meja kerjaku yang masih penuh kertas-kertas laporan.
"Apa tuh?"
"Pakaian buat nanti." Jawabnya sambil menuang isi kantongnya ke meja kerjaku yang malang itu.
"Iya, iya...tapi gantinya ntar aja! Kan kita makan malam dulu!" Jawabku sambil memungut sebuah sackdress hitam yang jatuh dari kantongnya.
"Apa nggak jemput Reni dulu, bu...eh, mbak?"
"Iya, tenanglah, gugup amat sih?"


Nova hanya tertawa kecil mendengar komentarku. Ia lalu meminjam telepon dan meninggalkan pesan di rumahnya agar ayahnya tidak menjemputnya di kantor karena ia harus lembur sampai larut malam, dasar anak nakal, pikirku. Lebih nakal lagi ketika ia menyerahkan gagang telepon padaku untuk bicara dengan ibunya dan menerangkan bahwa aku yang akan mengantarnya pulang seusai lembur. (duh!)
Nova menumpang di Katana hijauku. Kami lalu menuju ke ujung timur kota S untuk menjemput Reni, yang bekerja di salah satu cabang bank swasta dengan logo lucu. Agak keberatan juga sebenarnya, karena kedua anak itu minta untuk makan malam di apartemenku yang berada di ujung barat kota, tapi akhirnya aku setuju saja. Sudah begitu, sesampainya di rumahku, Nova dan Reni tidak membantuku menyiapkan makan malam. Nova mematut-matut dirinya di depan cermin dengan sackdress hitamnya yang ketat, sementara Reni malah dengan giatnya meng-explore rumahku dengan komentar-komentar konyolnya mengenai ruang-ruang yang dicat hitam.
"Enak ya, punya rumah begini." Komentar Reni sambil melihat keluar jendela, memandangi lampu-lampu di jalan yang tampak kecil dari lantai itu.
"Hm, yah, nggak ada halamannya tapi, dan juga nggak bisa melihara anjing." Jawabku sambil menata piring di meja makan.


"Mbak, ini bagusnya dikasih sabuk apa enggak ya?" Tanya Nova dari kamar tidurku.
"Nggak usah, tapi tutup aja dengan kemeja tipis, biar ngga terlalu mencolok gitu." Jawabku karena baju itu kelewat ketat di bagian dadanya.
"Wah, aku nggak bawa tuh." Jawab Nova. "Kalau pinjam yang kuning ini boleh nggak, Mbak?" Rupanya anak itu sudah mengobrak-abrik lemari pakaianku juga.
"Oh iya, aku juga mau pinjam yang ini ya, Mbak!" Kata Reni juga dari kamar tidurku. "Aku udah lamaaa pengen pakai baju Escada."


Setelah berbagai keributan dan kekonyolan, akhirnya kami siap juga. Waktu yang tadinya kuperkirakan akan longgar, ternyata tersita cukup banyak hanya untuk mendandani mereka berdua. Harus kuakui, mereka memang tampak elegan dan menggoda. Tentu saja begitu, karena apa yang mereka pakai hampir semuanya milikku!
Aku mengenakan jins stretch Armani hitam, kaos ketat hitam tanpa lengan, dibalut kemeja Kenzo kuning yang kancingnya terbuka semua dan ujung bawahnya kuikat.  Reni mengenakan celana ketat Escada biru muda yang agak kekecilan (karena bukan miliknya!), dan kemeja Versace ketat kembang-kembang biru tua. Sementara Nova tetap memakai sackdress mini hitam ketat yang sedari tadi disiapkannya dari rumah, namun melapisinya dengan kemeja D&G putih transparan yang diambilnya dari wardrobeku.
Akhirnya, pada jam sembilan malam, Katana hijau berhenti di depan pintu utama hotel S, yang menempel pada plaza T3, salah satu plaza besar di kota S ini. Dalam hotel S itu terdapat sebuah Niteclub, namanya B. Niteclub biasa sih, tapi pihak manajemennya memberi positioning "Fun Pub" pada tempat itu.  Setelah menyerahkan mobil pada valet, kami mulai berjalan melewati lobi hotel itu untuk menuju ke Niteclub B. Puluhan pasang mata pria segera tertuju pada kami bertiga, well...dapat dimaklumi, karena Nova yang jangkung dan mantan atlet itu tampak begitu anggun dan elegan tanpa kehilangan kesan seksi, sementara Reni yang langsing dan agak pendek tampak begitu sensual dengan tampangnya yang tirus dan dingin. Sementara aku sendiri? Well, hak sepatu setinggi 17 senti membuat tubuhku yang 176 ini tampak seperti kereta api yang diberdirikan.
Dekorasi dalam niteclub itu dibuat bernuansa gaya afrika, lengkap dengan pohon-pohonan dan monyet-monyetan. Kami bertiga duduk di sekitar bar yang terdapat di tengah ruangan. Aku duduk di tengah, Nova dan Reni di samping kiri-kananku. Bartender menyapaku dengan ramah, karena aku pernah mengunjungi tempat itu beberapa kali. Untuk mencegah resiko yang tidak-tidak, aku meminta Reni dan Nova untuk tidak memesan minuman yang aneh-aneh, sementara aku sendiri tetap setia dengan trademark-ku, aqua tidak dingin.
"Dah, have fun, sana!" Kataku pada dua temanku di sela bisingnya musik dari sebuah band asal Filipina.


"Mm...gimana mau having fun, tempatnya brisik gini." Teriak Reni di depan telingaku.
Selagi aku omong-omong dengan Reni, seorang pria bule duduk di stool di samping Nova dan menyapanya ramah.
"Ren, lihat tuh, si Nova dapat gebetan!" Teriakku di kuping Reni.
"Ih, kok bule?" Teriak Reni di kupingku dengan nada bertanya.
"Kenapa emang?" Teriakku balik.
"Bule kan biasanya senang dengan yang item, pendek, dan jelek?" Kata Reni, "Nova kan bukan tipe begitu?" Sambungnya.
"Bule yang ini kayaknya lebih berselera tinggi!" Jawabku sambil membiarkan seorang pria berpakaian casual duduk di samping Reni. 
Tidak butuh waktu terlalu lama untuk membuat Reni dan Nova bercakap-cakap akrab dengan kedua 'teman barunya'. Mereka memang berlatar belakang PR dan CS, sehingga menyenangkan dan mudah diajak bergaul. Si Bule mengajak Nova turun ke lantai dansa dan Nova mengikutinya. Mereka berdua berdansa mengikuti lagu 'Celebration' yang dinyanyikan band itu. Nggak nyangka juga, ternyata Nova yang tadinya terkesan kuper, kini melenggok dengan seksinya di lantai dansa. Bajunya (Eh, bajuku!) dibiarkan terbuka kancing-kancing atasnya, hingga bahu indahnya tersingkap saat ia bergerak. Si bule tampak makin penasaran, aku hanya tertawa geli melihat wajah Nova yang kini perpaduan antara risih, geli, bingung, sekaligus senang.
"Eh, kenalin Mbak, ini  Norman." Kata Reni memperkenalkan teman barunya padaku.
"Norman..."Kata pria berdagu panjang itu memperkenalkan diri, "Rasa-rasanya kok pernah ketemu ya?" Tanyanya lagi.
"Hm...mungkin juga sih." Jawabku sambil mengingat-ingat, "Kerja di mana Mas Norman?"
"Advertising." Jawab pria itu sambil berdiri memasang gaya macho di depan aku dan Reni.
"Ooh, mungkin kita emang pernah kenal." Jawabku lagi sambil menyebutkan beberapa nama di dunia Ad yang pernah kukenal.
Akhirnya pembicaraan kami menjadi akrab, dan Reni jadi agak tersingkir karena ia berasal dari dunia banking, dunia yang berbeda.
"Kalo ngga salah...Sari temannya Ditto kan?" Tanya Norman lagi. "Dulu kalo ngga salah ketemunya kan pas bareng dia?"
"Hm, yah...agak lebih dari sekedar teman!" Jawabku. Sengaja aku berkata begitu agar perhatian Norman kembali difokuskan pada Reni.
"Wah, salam buat Ditto yah!" Kata Norman sambil menghabiskan sisa Coke-nya. "Kalau Reni, kerja dimana?"
Buset, cepat amat perhatiannya beralih hanya gara-gara ia mendengar nama pacarku itu. Akhirnya Reni dan Norman pun turun ke lantai dansa, meninggalkan aku sendirian.
Karena Nova dan Reni tampak asyik masyuk bersama pasangannya masing-masing, aku meninggalkan pub itu untuk sekedar mencari suasana lain.
Aku berjalan ke lobi hotel itu dan duduk di salah satu kursinya, mengamati orang-orang yang baru pulang dari sebuah pesta pernikahan di lantai atas. Mataku melihat-lihat ke arah balkon, dan menjumpai seorang pria melambai-lambaikan tangannya padaku. Karena waktu itu lensa kacamataku sudah waktunya ganti, aku hanya membalas dengan senyum tanpa yakin benar siapa orang itu. Tapi pria itu lalu menuruni anak tangga dan berjalan ke arahku. Ternyata dia adalah Anto, seorang broker forex yang bekerja di perusahaan investasi valuta asing  yang berlokasi di lantai dua hotel itu. Aku mengenalnya cukup baik, karena pacarku Ditto pernah menginvestasikan sejumlah uangnya di tempat itu.
"Apa kabar, mbak?" Katanya sambil menjabat tanganku, "Nggak sama Pak Ditto?"
"Nggak, dia lagi di Jakarta." Jawabku. "Tambak imut aja Tok?" Sambungku begitu melihat ia tak lebih tinggi dari dadaku karena sepatu hak tinggi yang kukenakan.
"Ah, biar imut yang penting kan kualitasnya!" Jawabnya bercanda sambil menyalakan sebatang Gudang Garam Surya.
Dia lantas menceritakan bahwa ia sudah tidak lagi bekerja di perusahaan forex itu karena terlalu lama tidak mendapatkan klien.
"Karena nggak dapat klien, atau karena nggak dapat jodoh, Tok?" Tanyaku menggoda.
"Dua-duanya sih!" Jawabnya. "Abis susah cari cewe yang bisa mengerti profesi seperti ini, kerja sampai pagi."
"Yah, kamu sih, masa cewe kamu ajak ngomongin duiiit terus. Mending kalo duit itu duit kamu."
"Hahaha, iya juga yah. Mungkin aku perlu juga nambah wawasan."
Seperti diundang, Reni muncul di hadapan kami. Rupanya ia kurang menyukai suasana ramai di pub tadi. Aku memperkenalkannya dengan Anto.
"Tok, Reni ini bankir, kerjaannya sama kayak kamu, ngitungin duit orang." Kataku pada Anto dengan nada penuh arti.
"Oh ya? di bank mana?" Tanya Anto pada Reni dengan tatapan agak nakal. Mata Reni memang mudah membuat pria menatapnya dengan gaya begitu.
Keduanya segera berbincang-bincang ramai membicarakan masalah mata uang asing, topik yang agak aku hindari karena pacarku pernah kehilangan duit agak banyak dalam bidang itu.
Aku hanya senyam-senyum sambil sesekali bilang "Oh ya?" dan "Luar biasa." saja di sela pembicaraan seru mereka. Sampai akhirnya si Norman yang tadi 'kehilangan' Reni di pub menyusul kami dan mengajakku pindah ke meja lain.
"Sar, temanmu yang satu lagi seru deh." Kata Norman sambil menawarkan sebatang Dunhill menthol yang aku tolak.
"Oh ya? Ngapain emangnya dia?"
"Band-nya main lagu Crazy, trus dia slow dance sama orang bule, wah, dance-nya rapet banget, bikin yang nonton pada deg-degan."
"Crazy-nya Julio Iglesias apa Crazy-nya Aerosmith?" Kataku bercanda.
Kami lalu tertawa-tawa dan melanjutkan pembicaraan akrab, karena memang kami pernah ketemu, dan kebetulan mengenal banyak orang yang sama.
"Nggak sepi ditinggal Ditto ke Jakarta?" Tanyanya di tengah pembicaraan.
"Iya nih,  sepi." Jawabku sambil menyandarkan punggung di sofa, "Kenapa? Mau nemenin?"
"Wah, kan nggak enak sama Ditto." Jawabnya, "Bisa-bisa aku disembelihnya."
"Hihihihi...berarti, kalau faktor Ditto kita singkirkan, kamu oke-oke aja ya, Man?"
"Ya tergantung kamunya." Jawab Norman santai, tapi matanya memberi isyarat lain.
Tidak perlu kuceritakan apa yang kami obrolkan sesudah itu, tapi lima menit kemudian aku berbisik pada Reni yang masih asyik ngomongin duit dengan Anto.
"Ren, aku tinggal dulu sebentar, nanti aku balik lagi."
"Mau kemana, Mbak?" Tanya Reni.
"Ke atas sebentar, nanti balik lagi kok. Kamu sama Nova tunggu aja, ok?" Jawabku.
Karena masih sedang berdiskusi seru dengan Anto, Reni mengangguk saja. Aku dan Norman segera melangkah cepat keluar dari lobby dan menuju ke gedung apartemen yang terletak bersebelahan dengan hotel itu. Norman mendapat fasilitas untuk menginap di situ selama semalam karena mengerjakan Ad untuk apartemen itu.
Setelah menebar senyum manis pada satpam dan resepsionis, dan setelah menyusuri koridor yang agak panjang, kami tiba di unit kamar yang ditempati Norman. Unit apartemen itu tidak besar, namun mewah. Lebih mewah dari apartemen yang kutinggali di ujung barat kota.
"Wah, untung juga kamu dapat voucher nginep disini." Kataku sambil mengamati perabotan luks di ruang tamu unit itu.
"Aku lebih untung lagi karena kamu ada disini." Jawabnya. "Dan si Ditto lagi di Jakarta!" Sambungnya bercanda.
"Untuk sementara, nama itu tidak perlu diingat-ingat dulu." Jawabku sambil melepas ikatan di ujung bawah kemeja Kenzo kuningku.
Aku dan Norman berdiri bertatapan dengan jarak dua meter, aku melepaskan kemejaku dan membiarkannya jatuh ke lantai, sementara Norman melepaskan kaosnya dengan gerakan yang cepat dan tegas, lalu melemparkannya ke samping.
"Copot sepatumu dong, aku risih harus melihat ke atas." Katanya sambil tetap memasang muka serius.
Aku segera melepaskan kakiku dari sepatu, dan menendangnya ke samping. Tanpa sepatu, aku lebih pendek sedikit dari pria itu.
"Kenapa dada kamu itu?" Tanyaku menunjuk dada Norman yang ditumbuhi sebentuk daging tebal melintang, membuatnya berkesan tegap kalau memakai kaos ketat.
"Bekas jahitan operasi." Jawabnya singkat. "Kamu jijik?"
"Oh, nggak. Sama sekali enggak." Jawabku sambil juga memasang wajah serius dan tetap menatap matanya dalam.
"Kamu udah lihat dadaku kan? Sekarang gantian dong." Katanya sambil tetap memasang wajah serius dan melangkah mendekat.
Dengan gerakan yang cepat tanpa dibuat-buat agar seksi, aku menarik kaos tanpa lenganku ke atas dan melemparkannya agak jauh, menyisakan sebuah bra sport putih.
Aku menghentikan gerakanku, membiarkan tatapan Norman menelusuri kulit tubuhku senti demi senti. Ia memiringkan kepalanya dan mengangkat alis kirinya.
"Aku masih belum bisa melihatnya." Katanya lagi.
Aku menyunggingkan sedikit senyum dingin dan melepas kaitan di depan bra sportku, dan dengan indahnya menggerakkan bahu agar bra itu melorot dan jatuh ke bawah kakiku.
Kini mata Norman tampak lapar, mengamati kedua bukit payudaraku yang tidak besar, namun kencang dan padat. Warnanya putih bersih, agak lebih putih dari bagian lain di tubuhku, dan di puncaknya dihiasi lingkaran cokelat muda dengan putik-putik mungil merah jambu yang waktu itu masih agak datar.
Norman lalu melepaskan kaitan sabuk Harley Davidsonnya, dan dengan gerakan yang amat cepat juga ia menanggalkan semua yang tersisa di tubuhnya. Hingga kini nampak di depanku tubuh atletis yang meski agak sangkuk namun cukup berotot. Halus, hampir tanpa bulu, kecuali di bawah perutnya, ada sedikit bulu di situ, tidak terlalu lebat, dan di tengahnya tampak kejantanannya yang rupanya telah siap sejak tadi. Mengacung ke depan, agak miring ke kanan.
"Kamu sudah lihat semuanya kan? Sekarang giliranku." Katanya lagi, sambil tetap menatap tajam, tapi kali ini bukan ke mataku, melainkan ke arah dadaku.
Segera aku melepaskan kancing-kancing baja di Armani ketatku, dan dengan gerakan yang lumayan cepat, kini Armani hitam itu teronggok di bawah kakiku, terikut pula celana dalam St. Michael putih bersama Armani itu.
Norman kini dengan bebasnya dapat mengamati segalanya. Kedua tungkai yang ramping dan jenjang, rambut-rambut halus yang tumbuh di situ, juga rambut-rambut agak lebat di selangkanganku. Perutku yang datar dan dadaku juga tak luput dari pandangannya yang kini agak jalang.
"Lucky Ditto." Gumamnya.
"Never, never, ever mention the name again." Jawabku dingin. "Or you might lost what you'll get tonite!"
"Sorry." Jawabnya singkat. Lalu badan kami saling bertabrakan dan ciuman pun menghambur dari mulutnya ke mulutku.
Bibir dan lidahnya tercabut dari mulutku dan langsung menelusuri rahang dan leherku dengan cepat, sementara tangannya dengan liar meremas-remas pinggang, pinggul, dan pantatku. Tanganku juga tak kalah agresif, memijat dan meremas setiap gumpalan otot di lengan dan dadanya. Sebenarnya sejak pertama melihatnya dulu, aku sudah menginginkannya untuk masuk dalam buku harianku, dan kini keinginan itu segera menjadi kenyataan.


 Ia mendorongku hingga tersandar di kaca jendela ruang apartemen itu, rasa dingin begitu menyengat punggungku, namun tidak begitu lama karena ciumannya segera mendarat di bahu dan dadaku. Kedua tangannya meremas-remas pinggangku, dan tanganku meraba-raba punggungnya. Mmmm....kehangatan pria memang mampu membuatku melupakan segalanya, kesibukan kantor, waktu, bahkan logika. Kedua telapak tangannya yang berotot tiba di pangkal payudaraku, meremas dan mengusap-usap. Kepalanya berhenti sejenak, matanya mengamati kedua payudaraku yang berada dalam remasan-remasannya. Aku menatapnya dengan tak sabar, namun ia tetap saja memainkan pangkal payudaraku dengan kedua tangannya sambil matanya menatap kedua putingku yang makin terasa butuh sentuhan ini.
Aku menarik lehernya keras-keras ke dadaku. Ia segera membuka mulut dan membiarkan puting susu kiriku masuk ke dalamnya. Ughhhhh....inilah perlakuan pria yang paling membuatku tak tahan. Ia menghisap-hisap puting kiriku itu, lidahnya berkali-kali mengusap dan mengait-ngaitnya. Mataku menyipit dan bahuku terangkat kegelian, sementara nafasku terasa tersengal setiap kali putingku terlumat oleh lidah dan bibirnya. Aku tersandar tanpa banyak berkutik di kaca jendela itu, tak peduli apakah orang di luar gedung bisa melihat kami dengan teropong atau tidak. Lalu ia berpindah ke puting kananku, menangkapnya dengan bibir, menjilat dan memijatinya dengan lidah, dan digigit-gigit kecil dengan giginya.


Uhhh....aku menggelinjang dan mendesah-desah keenakan, sementara kedua tangannya kini memeluk erat pinggangku. Dengan mata agak menyempit sayu karena birahi, aku melihatnya melepaskan bibirnya dari putingku. Puting susu itu tampak telah mengacung tinggi dan berwarna kemerahan, basah oleh lidah dan mulutnya. Tana kuduga, ia bukannya membiarkanku menarik nafas panjang, tapi justru menggerakkan lidahnya dengan cepat naik turun menyapu-nyapu puting kananku.

Ahhhkkkkkk....Aduhhhhh....mmmmmhhh....Rintihan dan desahan mengalir tak keruan dari mulutku ketika dua puting susuku mendapat sapuan-sapuan cepat itu. Seluruh otot-otot tubuhku terasa melemah dan kakiku gemetar. Butir-butir keringat mulai muncul di dahiku yang kini berkerut karena kedua alisnya bertemu di tengah menahan rasa geli birahi.
Belum lagi aku mampu menyeseuaikan diri dengan rangsangan yang begitu besar itu, tangan Norman tiba-tiba mendarat di selangkanganku, mencengkeramnya, dan membiarkan jemarinya berputar-putar menggesek klitorisku. AAAGGGHHHH...Aku menjerit keras, tak tahan dengan kejutan itu.  Gigiku terkatup rapat bergemeretak, sementara bibirku sedikit terbuka, meringis menahan rasa birahi yang begitu melemaskan dan membakar. Uhhh...Jari itu...jari itu begitu lincah bergerak di atas klitorisku, mengirim rasa nikmat yang luar biasa ke dalam simpul-simpul syarafku, membuatku kian merasa lemas dan tak mampu berdiri tegak.


 Tubuhku dilemparkannya ke atas ranjang, telentang dan tak berkutik. Ia mengangkangkan kedua kakiku lebar-lebar, dan mendaratkan jilatan-jilatan mautnya ke kewanitaanku. Lidahnya bergerak cepat di atas klitoris, kadang-kadang menyerbu masuk ke dalam liangnya, membuatku menggeliat-geliat dan memilin-milin puting susuku sendiri untuk mengimbangi perasaan nikmat dan gelinya. Terasa desiran cairan yang mengalir keluar dari kewanitaanku, cukup deras. Norman segera membimbing kejantanannya ke arah kewanitaanku, menempelkannya disitu, dan menekannya ke dalam. OHHHHHH....Aku merintih sejadi-jadinya karena ternyata ia mengenakan sesuatu di batang kejantanannya, sesuatu yang kasar, bertekstur tajam-tajam yang belakangan kuketahui adalah sejenis kondom yang dilingkari cincin karet berduri-duri. Alat itu menggesek-gesek bagian dalam kewanitaanku, memberiku rasa yang tak pernah kualami sebelumnya, membuat tubuhku bergeliatan menggelepar-gelepar tak tentu arahnya. Aku merasa seperti kehilangan seluruh kekuatanku, namun gesekan-gesekan itu begitu membuatku kegelian yang luar biasa hingga aku tak mampu mengontrol gerakan tubuhku. Aku pun memekik-mekik keras, tak peduli didengar orang atau tidak.
Ahhhh.....Ahhhhhgggg.....Aduhhhhh....Mataku kupejamkan rapat-rapat, dan kedua tanganku meremas dan mencengkeram bantal kuat-kuat. Sementara Norman dengan liar menggerak-gerakkan kejantanannya di dalam kewanitaanku, mulutnya pun dengan rakus mencium dan menjilati puting-puting susuku yang kini juga berada dalam remasannya. Mudah baginya untuk menyetubuhiku dengan buas sekaligus melumat-lumat puting susuku karena tinggi badan kami tak terpaut terlalu jauh, hal itu kian membuatku lupa daratan, dan ikut menggerakkan pinggulku naik turun, mengencangkan otot-otot kewanitaanku, memburu puncak kenikmatan.
"Ohhhhhhhhhhhhhhhhh......" Aku merintih panjang ketika orgasme menyambar, membuat tubuhku mengejang kaku.


Namun Norman tak mempedulikan kondisiku, ia malah mengangkat dan membalikkan tubuhku hingga kini aku menungging di atas ranjang. Meski kakiku gemetar dan tak mampu menahan tubuhku, ia menyodokkan lagi kejantanannya yang dilingkari cincin karet berduri itu. Kedua telapak tangannya menempel pada payudaraku, menahan tubuhku agar tidak rebah ke ranjang, sekaligus meremas-remas dengan kencang dan kuat, jilatannya pun segera menyerbu tengkuk dan telingaku. Saat itu aku merasa seperti akan jatuh pingsan.


 Perlahan-lahan, birahi mulai bangkit kembali dalam tubuhku, meninggalkan sisa-sisa orgasme pertamaku. Gerakan-gerakan Norman kian cepat dan intens, tubuhku tersedak-sedak ke depan ketika panggulnya menabrak-nabrak pantatku. Ohhh....rasanya semakin menjadi-jadi....Mataku setengah terpejam, menyaksikan ruangan seolah bergerak nik turun dengan cepat, kewanitaanku terasa seperti diparut dari dalam dengan cepat dan bertubi-tubi, kedua payudaraku seperti dialiri listrik kenikmatan yang begitu melemaskan, sementara jilatan-jilatan liarnya membuat tengkukku terasa merinding. Uhh...sungguh kombinasi yang hanya mampu dilakukan para petualang berpengalaman. Rintihanku kian terdengar lantang dan memelas seperti memohonnya untuk berhenti 'menyiksa'-ku. Dilepaskannya payudaraku, dibiarkannya tubuhku lunglai rebah tertelungkup di ranjang. Dipegangnya pergelangan kakiku dan direntangkannya ke samping tubuhnya, lalu ia kembali menyodok-nyodok. Ia juga menarik-narik kakiku agar tubuhku bergera!
k maju mundur sesuai keinginannya. Ohhhh....Aku mencengkeram sprei kuat-kuat, aku hanya mampu memejamkan mata, dan memekik keras-keras, mengharapkan semuanya segera tuntas. Berkali-kali otot kewanitaanku mengejang, namun saat itu juga gesekan duri-duri karet itu membatalkannya, hingga akhirnya aku merasa benar-benar kelelahan dihujani kenikmatan yang keterlaluan.


 Aku sudah benar-benar hampir tak sadarkan diri ketika akhirnya ia menghentikan gerakannya dan menggeram keras, membiarkan karet pelindung yang dikenakannya tiba-tiba terasa panas di dalam kewanitaanku. Ia menumpahkan semuanya ke dalam pengaman itu, kehangatan yang tiba-tiba itu memicu klimaks keduaku, yang rasanya seperti menghantam tubuhku agak keras. Aku mendesah panjang....untuk sesaat aku berjuang keras agar kenikmatan yang luar biasa hebat itu tidak merenggut kesadaranku...rasanya sulit dan berat... seperti tak mampu...kewanitaanku terasa begitu menggelegak, aku harus menahannya....tubuhku terasa begitu lemas teraliri listrik, aku harus menahannya....kesadaranku seperti nyaris terenggut keluar, aku harus menahannya....nafasku terasa terhenti, aku harus menahannya...terus...terus....dan terus...sampai gelombang kenikmatan tak lagi datang menerpa tubuhku yang nyaris tak berdaya.


"Mmmm...." Gumamku sambil berusaha untuk duduk. Aku sengaja bersikap seperti tubuhku tidak terpengaruh oleh hantaman-hantaman gelombang kenikmatan itu.
"Hebat juga kamu, Sar..." Gumam Norman yang kini telentang penuh keringat di ranjang. "Cewek lain sudah memohon-mohon minta berhenti."
Dengan agak gontai akhirnya aku berhasil berdiri pada kedua kakiku dengan tegak. Aku sengaja membelakangi Norman karena tak ingin ia melihat ekspresiku yang sayu keenakan.
"Kamu juga...well...lumayan kok." Jawabku dengan nada se-cool mungkin, setelah mampu menguasai ekspresi, aku membalikkan badan menatap matanya.
Ia menatap mataku dengan pandangan lemah bercampur heran, mungkin ia teringat akan wanita-wanita lain yang ditaklukannya dengan keahlian dan kondom berdurinya itu.
"Udah ah, aku harus nganter pulang teman-temanku tadi." Jawabku sambil memunguti pakaianku dari lantai, sebenarnya agak susah juga karena kedua kakiku masih agak gemetar, namun entah kenapa, aku ingin terkesan kuat di hadapan si (sok) macho ini.
"Eits, Sar...tunggu sebentar." Kata Norman seraya bangkit berdiri dengan lamban karena kehabisan energi.
Ternyata ia ingin menggunting beberapa helai rambut kewanitaanku. Rupanya ia mengoleksi rambut-rambut kewanitaan dari banyak wanita, untuk kemudian diisolasinya pada sebuah buku notes kecil, di bawah kumpulan rambut yang diisolasi itu, tertera tulisan nama, tanggal, dan tempat ia berkencan. Dasar petualang, pikirku.
"Akhirnya...." Desahnya setelah menghela nafas panjang.
"Apanya yang akhirnya?" Tanyaku sambil mengenakan kembali celana Armaniku.
"Sari telah berhasil aku kencani!" Cerocosnya dengan girang. Ia lalu menyebutkan beberapa nama wanita petualang di kota S yang semuanya cukup beken di kalangan para petualang.
"Si T, si R, si K, si M, si D...semua udah pernah...masa kamu belum!" Tambahnya lagi.
"Hihihi...kamu aneh-aneh aja, Man." Jawabku. Padahal sebenarnya Norman termasuk salah satu yang kuincar sejak dulu, hanya saja belum ada waktu yang pas untuk itu.
Akhirnya aku meninggalkan kamar apartemen itu, meninggalkan Norman di dalam untuk istirahat karena kecapekan (Biasalah, pria!)  Aku kembali menuju lobby hotel tempat aku meninggalkan Reni bersama Anto selama kurang lebih satu jam setengah. Di sepanjang koridor, aku menelpon pacarku (Waktu itu sebenarnya belum terlalu resmi jadi pacar, sih) menceritakan apa yang baru saja terjadi. Seperti biasa, ia tidak marah, ia mengucapkan terimakasih karena tetap menganggapnya yang terbaik dan tetap mencintainya. Ia juga menitipkan salam pada Norman yang ternyata teman baiknya di masa lalu. Di sela pembicaraan kami, terdengar suara wanita. Ah, ternyata si petualang yang satu itu juga sedang mengisi sisa 'waktu bebas'-nya dengan petualangan bersama wanita lain. Cemburu? Hm...ada sedikit rasa seperti itu, tapi tidak terlalu dominan. Aku malah minta maaf karena telah mengganggu kencannya.
(Tentu saja kejadian seperti itu tidak lagi terjadi sesudah ia balik lagi ke kota S awal April lalu!)
Tiba di lobby hotel, aku mendapati Reni dan Nova duduk di sofa dengan penampilan kuyu dan agak berantakan.
"Halo....lama ya nunggunya?" Tanyaku dengan wajah merasa bersalah.
"Mmmm....Nggak kok Mbak." Jawab Nova dengan suara lemah agak mendesah sambil menggelosoh ke bahu Reni, ia lalu memejamkan mata sambil menggumam.
"Lho? Abis ngapain dia, Ren?" Tanyaku pada Reni.
"Abis melakukan hal yang sama dengan Mbak!" Jawab Reni dingin sambil berdiri, membuat kepala Nova hampir jatuh ke kursi.
"Oh?" Jawabku singkat. "Kamu sendiri gimana?" Tanyaku pada Reni lagi.
"Ah, si Anto itu nggak terlalu berkualitas." Jawab Reni dengan nada sok berpengalaman. Tapi rambur Reni terlihat agak berantakan meski poninya sudah dibereskan hingga rapi.
"Lantas?" Tanyaku pada Reni sambil mengerling curiga.
"Ya...Aku mutusin untuk nemenin Mbak Nova." Jawabnya lagi, kali ini sambil menepuk bahu Nova yang juga berdiri.
"Si bule yang malang." Kataku sambil tertawa.
Kami lalu tertawa-tawa dan meminta valet mengambilkan mobil.
Sepanjang jalan pulang, Reni dan Nova menceritakan apa yang mereka lakukan pada si bule yang mereka temui di pub tadi. Si bule rupanya mengajak Nova ke kamarnya di hotel itu, namun Nova mengajak Reni untuk ikut serta. Si bule sempat melakukan foreplay yang lumayan jauh pada mereka berdua, namun dia tak tahan dan mengeluarkan semua isinya sebelum permainan utama dimulai, bahkan sebelum pakaian-pakaian dibuka. Akhirnya Nova dan Reni terpaksa menuntaskan diri masing-masing dulu di kamar itu sebelum akhirnya meninggalkan bule itu tanpa pamit, ah, dasar bule bodoh, pikirku.
"Kenapa kok kalian nggak...memintanya untuk mengakhiri sampai tuntas?" Tanyaku sambil melihat ke kaca spion, mengamati wajah Nova yang cantik namun kin kuyu.
"Yah...kita kan pemula, Mbak." Seloroh Reni, "Itu tadi aja udah cukup kok buat senang-senang."
"Iya." Sambung Nova. "Tadi aku udah kuatir-tir-tir-tir, tapi untung Reni mau bantuin."
Aku tidak menanyakan detailnya, dan mereka juga tidak menceritakannya padaku, yang penting malam ini kami semua mendapatkan tujuan masing-masing, bersenang-senang sejenak melupakan kesibukan rutin. Yah, dengan cara masing-masing tentunya.
Setelah mereka turun di rumah masing-masing. Aku memacu Katana hijauku melalui jalan protokol yang lengang dengan kecepatan 120 km/jam. Saat itu aku berpikir, wel.....sebenarnya aku telah belajar satu hal dari Nova dan Reni. Mereka tidak terlarut dalam situasi, dan masih dapat menguasai diri dalam saat-saat kritis seperti itu. Belakangan kuketahui bahwa virginitas mereka tetap terjaga baik meski mereka menjalani kehidupan malam yang relatif bebas. Luar biasa. Nova kini telah menikah dan hidup berbahagia dengan suami dan satu orang putera yang lucu dan ganteng, sementara Reni masih belum mendapatkan pasangan sejati, namun tetap dapat mempertahankan virginity-nya. Dalam hati, aku mengacungkan jempol untuk kedua anak itu. Bukannya aku menyesal telah menjadi petualang, tapi aku hanya mengagumi 'faith' mereka. Untuk menjaga apa yang mereka ingin jaga, untuk mempersembahkan apa yang terbaik pada orang yang mereka cintai. Tapi aku juga tetap memberikan yang terbaik pada yang kucinta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar