Thanks to Wiro The Legend.
---
Cairo, Mesir, 1999.
Waktu itu aku sedang
tidak berminat melakukan petualangan, karena dalam travel kali ini aku
pergi bersama Ditto, orang yang mulai April tahun 2001 besok akan aku lihat
setiap hari pas bangun tidur. Waktu itu memang belum ada komitmen apa-apa
diantara kami, namun kami sudah
merasa...well...apa itu namanya?...pacaran?...Ya, pacaran! itu kan
sebutannya kalau ada dua orang yang saling pengen bareng terus kalo lagi
sekota? Anyway, meskipun kami berdua...ya...pacaran itu tadi, kami
sama-sama petualang yang saling menghargai jiwa avonturir masing-masing.
Sejauh itu tidak dilakukan pada saat kami sekota, sah-sah saja untuk
kencan dengan orang lain (Iri ya? Hehehe).
Sopir-sopir taksi di Cairo memang rada
brutal. Meski mereka tidak sampai memperkosa atau ngerampok, tapi cara
mereka mengemudi benar-benar di luar batas-batas kemanusiaan, melanggar
lampu merah, belok tanpa memberi lampu sign, mengklakson polisi lalu
lintas, atau bahkan menotol mobil di depannya seperti sudah menjadi budaya
mereka sehari-hari. Aku dan Ditto yang waktu itu baru pertama kali ke
Egypt hanya bisa berpegangan erat-erat di pegangan pintu sambil membaca
ayat-ayat suci dan doa-doa yang selama ini jarang sekali keluar dari mulut
kami, mengharap agar cepat sampai di tujuan. Akhirnya, sport jantung yang
lebih seru dari membaca novel Stephen King itu berakhir juga ketika kami
tiba di hotel tujuan kami, namanya Ramses Hilton. Situasi di dalam hotel
itu pun tak kalah seru. Untuk masuk ke lobby, para tamu harus melewati
detektor logam, seperti mau naik pesawat terbang di airport. Para
penjaganya pun bukan hanya satpam yang bersenjatakan pentungan karet, tapi
tentara dengan senjata AK-47 dan M-16. (Heran, mereka memborong senjata
dari dua negara yang berseberangan). Setelah berdebat dengan petugas
resepsionis mengenai arah jendela kamar, akhirnya kami pun masuk di kamar
yang sudah kami book sebulan sebelumnya.
Sekedar info, kesempatan untuk travelling
berdua jarang sekali kami dapatkan. Ini bisa terjadi karena kebetulan saya
sering ditugaskan ke Dubai, dan si Ditto
waktu itu ditugaskan ke Frankfurt. Lantas kami merencanakan untuk bertemu
di airport Kairo, dan berlibur selama dua hari dua malam di situ. Asyik
juga bisa begini, mengirit biaya perjalanan karena kami hanya merogoh
kocek pribadi untuk mampir ke Egypt dan akomodasi di situ, sementara biaya
perjalanan dan akomodasi di tempat lain ditanggung kantor. (Kids, Don't
Try this at home! Selama Anda bukan pengambil keputusan vital di
perusahaan Anda.) "Huh mana sih piramidnya kok nggak keliatan?" Gerutu
Ditto sambil meneropong dengan keker yang baru dibelinya dari toko Duty
Free di airport Frankfurt. "Kejauhan kali, Dit?" Jawabku sambil membongkar
koper mencari-cari buku tentang Mesir Kuno. "Nggak kok." Kata Ditto lagi,
"Menurut resepsionisnya, kita bisa ngeliat piramid Giza dari sini dengan
teropong." "Ooh, gitu." Jawabku sekenanya sambil membuka-buka halaman
tentang piramid. Lama kami terdiam dengan keasyikan masing-masing, sampai
Ditto akhirnya menghampiri dan duduk di samping saya di sofa ruang tamu
kamar suite kami. Tangannya meraba-raba punggung dan tengkuk saya dengan
hangatnya, namun seperti biasanya, saya sulit untuk terangsang kalau
sedang berkonsentrasi pada hal lain. "Ntar malam jadinya mau kemana?"
Tanya Ditto setelah menyadari bahwa aku mengacuhkan rabaannya (yang
sebenarnya hangat dan menyenangkan). "Mungkin makan malam di hotel aja."
Jawabku, "Schedule yang aku bikin di rumah baru mulai besok, untuk malam
ini aku nggak ngagendain apa-apa." "Oh, gitu...Trus, besok apa rencana
kita?" "Kita sewa taksi hotel untuk pergi ke tempat-tempat ini..." Jawabku
sambil mengeluarkan peta Cairo, "...ke piramid Giza, piramid berundak, dan
museum Kairo." "Hm...menarik juga." Jawabnya, "Eh, kamu tau nggak,
kalau...(Lalu kami membicarakan tentang sejarah Mesir kuno, yang terlalu
panjang untuk ditulis di cerita ini). "Jam berapa mau turun makan malam?"
Tanya Ditto sambil melirik ke arlojinya. "Jam delapan." Jawabku singkat
sambil beranjak berdiri dari sofa itu, "Masih kurang tiga jam lagi."
Lanjutku sambil berbalik menghadap Ditto yang duduk di sofa mengamati
tubuhku.
Kami lalu tersenyum bersamaan. Ditto lalu
bangkit dari sofa, dan berlutut di depanku sambil melingkarkan tangannya
di pinggangku. Aku menundukkan kepala menatap sepasang matanya yang tajam
seperti pisau meski terhalang kacamata minus. Dengan gerakan cepatnya yang
khas, ia menarik rok pendek Escada warna putih yang kukenakan, berikut
celana dalamnya, hingga kini rambut-rambut halus di bawah perutku
terekspose di depannya. Dengan lembut, kedua telapak tangannya
meremas-remas kedua pantatku yang kenyal. Mmm... enak sekali diperlakukan
begitu oleh orang yang aku cintai. Lalu ia memajukan kepalanya,
mendaratkan ciuman-ciuman hangatnya di seputar sisi dalam pangkal pahaku.
"Ditt, geli ahhh..." Aku merintih pelahan, sekedar basa basi karena aku
malah menarik kepalanya untuk makin menempel. Dia tidak menjawab, hanya
menggerakkan tangannya ke atas ke punggungku, menyelip di balik kaos
longgar Esprit biru muda yang menempel di tubuhku. Kehangatan telapak
tangan besar itu memberiku perasaan rileks yang amat nyaman. Ingin
memejamkan mata, namun aku juga ingin menatap kekasihku itu, sehingga aku
hanya setengah terpejam, menyipitkan mata yang sudah lumayan sipit ini.
Ditto lalu mendongak ke atas, tatapan kami beradu, tanpa saling berbicara.
Ia mengusap-usap punggungku dengan mesra
dan hangat, sambil kadang memijitnya, hingga punggungku agak
terdorong-dorong ke depan. Jari-jarinya lalu menemukan kaitan bra di
punggungku, melepaskannya. Lalu tangannya bergeser ke pinggangku, bergeser
terus, hingga tiba di bawah kedua payudaraku. Karena sudah cukup
terangsang, aku menarik pinggiran kaosku, dan menangkatnya ke atas
kepalaku, melepaskannya...bra yang sudah terbuka itu pun ikut tertarik
lepas. Ditto tersenyum kecil menatap tubuh jangkungku yang kini terpampang
tanpa penutup di hadapannya. "Wonderful." Bisiknya singkat. "Thank You."
Bisikku menjawabnya sambil menyunggingkan senyum. Duh, aku sayaaang banget
sama anak ini. Diciumnya perutku yang datar dan rata, bibirnya merambat ke
atas pelan-pelan. Aku sedikit membungkuk, memudahkannya menggeser bibir
hangatnya ke bagian atas tubuhku...hingga akhirnya...Uhhh...Bibirnya yang
hangat itu menangkap puting kananku. Begitu terangsangnya aku oleh
bibirnya itu, hingga aku harus memejamkan mata dan menengadahkan kepalaku
untuk menahan sekaligus menghayati kenikmatan yang terasa. Ditto menarik
tubuhku pelahan ke bawah, lalu membiarkanku terbaring telentang di atas
karpet tebal berwarna beige di kamar itu. Aku masih memejamkan mataku
ketika Ditto melepaskan mulutnya dari puting kananku. Terdengar suara kain
bergesekan, rupanya ia melepaskan pakaiannya. Lalu terasa tubuhnya yang
hangat dan tanpa busana itu menindih tubuhku sejenak. Ia menopang tubuhnya
dengan lutut dan siku agar berat badannya tidak membebaniku, mulutnya kini
mendaratkan ciumannya di bibirku.
Kami berpelukan berguling-guling di
karpet dengan bibir-bibir bertautan dan lidah saling bergulat dalam rongga
mulut kami. Mataku setengah terbuka, menatap keindahan alis matanya yang
tebal. Tangan kami saling merengkuh erat-erat, mengusahakan sebanyak
mungkin kulit tubuh kami yang bersentuhan bertukar kehangatan. Kedua
putingku terasa mulai meruncing karena bergesekan dengan rambut-rambut di
dada bidangnya. Setelah bermenit-menit berguling-guling di karpet dan
hampir menabrak kaki meja, ia menggeser bibirnya dari bibirku. Menggeser
ke samping mulutku, menjilati rahang dan leherku dengan hangat dan mesra.
Bibirnya terus tur! un ke bawah, hingga... aduhhh... menangkap putingku yang
kiri. Hisapan dan jilatannya yang lembut dan penuh kasih sayang (Berbeda
dengan para pria yang memenuhi buku harian sang pemburu ini!) memberiku
rasa lemas yang sulit dilukiskan. Ia membiarkan putingku berada di dalam
mulutnya, sesekali lidahnya menyambar pada saat-saat yang tak terduga.
Tiap sambaran lidahnya mengolesi puting kiriku dengan cepat, aku terhenyak
dan menggeliat menahan rasa geli yang begitu nikmat dan melumpuhkan.
Sementara payudara kananku diremas-remasnya dengan lembut, putingnya
tergesek oleh telapak tagan kirinya yang kokoh dan agak kasar. Lalu
mulutnya berpindah-pindah menghisap kedua putingku bergantian, kiri,
kanan, kiri, kanan, lalu kanan lagi. Gerakan ini tidak terduga, hingga aku
memekik-mekik lirih dengan nafas yang sulit diatur. Sempat aku sedikit
membuka mata melihat tingkahnya, dan saat itu pula kudapati kedua putingku
kini membengkak dan meruncing tinggi sekali. Tiba-tiba, tanpa basa basi
Ditto menyelipkan kejantanannya memasuki kewanitaanku yang belum kelewat
basah. "Ehgg..." Aku mengerang ketika tubuhku terasa sesak dijejali benda
kasar itu. "Sakit, Non?" Tanya Ditto dengan nada seolah tidak terjadi
apa-apa.
Aku menggeleng lemah, dan membiarkan
Ditto memulai gerakan-gerakannya dengan manis. Tak perlu waktu terlalu
lama bagiku untuk mencapai klimaks. Karena dengan dia, rasanya mentalku
seolah siap untuk itu. (Berbeda kalau aku bercinta dengan orang lain yang
tidak ada di hatiku, perlu konsentrasi dan usaha mandiri untuk bisa
mencapai klimaks). Melihatku mencapai klimaks dengan santai dan tenang,
Ditto melepaskan tubuhku, mengecup keningku, dan membiarkanku
beristirahat. Suasana makan malam di bar Ramses Hilton terasa menyenangkan
dan mengagumkan. Penari-penari berbakat menunjukkan kebolehannya memainkan
drama folklore Mesir yang dipenuhi humor jenaka. Mereka bahkan mengerjai
pengunjung untuk ikut memerankan adegan lucu-lucu, Ditto yang apes,
kebagian ditunjuk untuk berperan menjadi seorang tawanan yang akan dihukum
mati. Sempat deg-degan juga melihat pedang mengkilap si penari terayun ke
leher yayangku itu, tapi suasana tegang segera meledak menjadi tawa ria
ketika ternyata pedang yang ternyata dari karet itu bengkok ketika
membentur leher Ditto. Lalu para pemain berpura-pura ketakutan dan
berakting menyembah-nyembah Ditto karena dianggap dewa. Semua adegan
konyol itu tak lepas dari bidikan handicam Sony yang kubeli dengan harga
miring di Dubai. Pendeknya, suasananya akrab dan menyenangkan. Tapi jangan
bicara soal makanan.
Aku lebih memilih sepiring nasi diberi
kecap daripada masakan Mesir yang rasanya didominasi oleh aroma merica dan
minyak samin. Usai makan malam, kami langsung naik untuk masuk ke kamar.
Tidak ada adegan seperti di film biru, hanya ada pelukan sayang, ucapan
selamat tidur, dan akhirnya suara dengkuran. Pagi harinya, kami berada di
sebuah taksi hotel, dengan pengemudinya seorang berkebangsaan Nubia (Mesir
Hulu) yang pandai berbahasa Inggris (Meski dengan aksen arab yang R nya
dibaca tegas dan TH nya dibaca D, bisa bayangkan?) menuju ke daerah Giza,
tempat kompleks Piramid yang paling terkenal berada. Sempat kaget juga
ketika di kejauhan tampak bayang-bayang biru seperti memandang gunung dari
jauh di Indonesia, tapi gunungnya berbentuk segitiga simetris. Piramid
ternyata jauh lebih besar daripada candi Borobudur. Tingginya seperti
bukit! Heran juga rasanya bagaimana orang Mesir kuno membangunnya dengan
presisi yang begitu cermat, mengingat bahwa pada jaman Cleopatra, piramid
sudah dianggap sebagai peninggalan sejarah! Sedangkan patung Sphinx yang
terkenal itu, ternyata ukurannya tak lebih besar dari sebuah bis kota.
Belum lagi fakta bahwa ujung dari ketiga (dari sembilan) piramid yang
paling tinggi menunjuk tepat ke arah tiga bintang utama di rasi Orion
(Orang Jawa menyebut rasi Orion sebagai gubug penceng, ingat pelajaran
geografi kelas 3 SMP) Terkagum oleh semua itu, kami memutuskan untuk
melihat kompleks piramid Giza dari dekat. Padahal jalan menuju ke arah
titik pandang terindah untuk menyaksikan kompleks piramid itu adalah
melalui gurun pasir yang tidak dapat dilalui mobil. Kami harus menunggang
kuda atau unta untuk pergi ke sana.
Setelah tawar menawar sengit dengan orang
Mesir yang terkenal licik, akhirnya kami memutuskan untuk hanya menyewa
satu onta untuk kami berdua. Tinggi punggung onta yang hampir dua meter
sempat membuat kami berdua bergidik karena takut ketinggian, namun setelah
berjalan beberapa lama menyusuri gang-gang sempit Kairo menuju gurun, kami
mulai terbiasa. Yang agak mengejutkan adalah bahwa suhu udara di padang
pasir ialah 20 derajat celcius. Sampai terdengar bunyi gemerutuk dari
gigiku dan gigi Ditto, karena kami hanya mengenakan kaos tipis dan jeans
saat itu. Melihat itu, penuntun onta tertawa dan meminjamkan selembar
selimut pada kami, yang langsung kami pakai untuk membungkus tubuh kami
jadi satu. Kedinginan di padang pasir, siapa yang akan percaya cerita
seperti itu, coba? Perjalanan di padang pasir cukup panjang dan menarik,
meski sepi dan tidak terdengar apa-apa kecuali suara desiran angin.
Penarik Onta juga tidak banyak bicara, hanya menuntun onta yang memuat
kami berdua tanpa berkata-kata, bukan pemandu wisata yang bagus memang,
tapi itu lebih baik. Pemandangan menakjubkan di gurun yang kuning
keemasan, dengan piramid-piramid yang mulai tampak di kejauhan membuatku
bersyukur bisa menyaksikan ini semua bersama orang yang kucintai.
Dinginnya suhu dan eksotisnya pemandangan membangkitkan romantisme dari
dalam hati kami.
Di balik selimut yang menyelimuti kami di
atas punggung onta itu, tangan Ditto yang tadi memelukku dari belakang
dengan mesra mulai iseng bergerak-gerak. Menyelip ke balik kaos tipis yang
kukenakan. "Eh, Ditt, ntar dilihat orang lho!" Bisikku risih. "Kan ketutup
selimut, Non!" Jawabnya, "Lagian siapa juga yang mau lihat? Orang lebih
milih lihat piramid kan?" Lalu mulutnya yang hangat mulai menciumi
tengkukku yang panjang ini, membuatku agak menggelinjang kegelian. Tadinya
aku berusaha menolak, tapi bercinta di padang pasir di atas onta?
Hmm...siapa juga yang ingin melewatkan kesempatan seperti ini? Aku kian
terangsang ketika kedua telapak tangan Ditto menyelip ke balik bra sport
yang kukenakan, dan meremas-remas lembut...Mmmmh...nikmatnya luar biasa,
terasa hangat dan nyaman melemaskan. Sempat terpikir, apakah ratu
Cleopatra juga melakukan hal ini bersama Julius Caesar, yah? Aku segera
tersandar ke dada Ditto. Sempat kami hampir kehilangan keseimbangan, namun
untungnya sadel di atas punggung onta itu cukup luas. Tangan Ditto kini
kian gemas meremas-remas kedua payudaraku, aku mencoba bertahan dari
rangsangan ini dengan cara menahan nafas dan membuka mata lebar-lebar
menikmati keindahan gurun itu, namun usahaku sia-sia ketika telunjuk dan
ibujari Ditto menjepit kedua puting susu ini, dan memelintir-melintir
lembut. Ohh...aku paling tak tahan kalau ini terjadi. Api birahi dalam
tubuhku langsung memercik-mercik menggairahkan.
Aku nyaris tak dapat menahan untuk
merintih kalau saja aku tak ingat bahwa si penarik onta berada begitu
dekat dengan kami. (Untung saja Pak Tua penarik onta itu bertubuh pendek
hingga tak dapat melihat apa yang terjadi di atas ontanya). Aku
menggelinjang-gelinjang kegelian ketika jari-jari Ditto mempermainkan
kedua putingku yang serasa makin sensitif di tengah hawa dingin ini.
Dijentik-jentiknya dengan cepat, kadang dipilin-pilin, kadang-kadang
ditekannya masuk ke dalam buah payudaraku dan diputar-putarnya.
Aduuuhhhh... aku tak mampu menahan mengalirnya cairan dari dalam
kewanitaanku. Mataku tak mampu lagi terbuka lebar dan meredup sayu.
Mulutku setengah ternganga seolah siap untuk merintih dan mengerang
menahan birahi, namun aku hanya mengatupkan gigi rapat-rapat agar tidak
mengeluarkan suara. Lidah Ditto juga makin cepat menjilati permukaan kulit
leherku dengan buas karena kepalaku kini mendongak ke atas, memudahkannya
melakukan hal itu. Bahuku yang terangkat bergantian pun tak luput dari
jilatan lidahnya yang mengait kaosku hingga tertarik ke samping.
"Ohhh...Dittoooo....Mmmmhhh...." Desahku setengah berbisik. "Kenapa,
yang?" Tanya Ditto dengan nada suara coolnya yang pada situasi seperti ini
terdengar menjengkelkan. "Put sumthin' inside...pleasee..." Pintaku dengan
rintihan lemah. "What? Gimana caranya? Sulit dong?" Jawab Ditto dengan
nada konyol, namun tangannya tak henti-henti memainkan kedua puting ini.
Segera aku membuka kancing dan ritsluiting pada jeans Armani hitamku, dan
menyandarkan tubuhku lebih jauh ke dada Ditto.
Kedua kakiku kuluruskan ke depan,
bertumpu pada punggung dan leher si onta malang itu. Ditto mengerti
isyarat itu, dan melepaskan payudara kananku dari tangannya. Karena
tertutup selimut, aku tak dapat melihat kemana larinya tangan itu, namun
aku segera merasakannya. Kini jemarinya kanannya berada di selangkanganku,
menyelip di balik jeans yang terbuka dan celana dalamku. "Aduhhhhhh...."
Aku merintih agak keras ketika jari besarnya menyentuh klit dan bibir
kewanitaanku. Tak hanya itu, ia menggosok-gosoknya dengan lembut namun
mantap. Di atas punggung onta itu juga aku menyandarkan punggungku ke dada
Ditto, kepalaku menjuntai di bahu kirinya, membuatnya leluasa
menjilat-jilat leherku, sementara tangan kirinya terus memilin-milin
puting kiriku, jemari tangan kanannya menggosok dan berputar-putar pada
bibir kewanitaanku yang telah mengalirkan agak banyak juice ini.
Ehffffggg.... Aku meringis sambil menggigit bibir bawahku ketika salah satu
jari Ditto menerobos masuk ke dalam kewanitaanku. Nafasku makin
terengah-engah ketika jari itu berputar-putar dan menggaruk-garuk dinding
kewanitaanku dari dalam. Kedua alisku terangkat dan menyatu pada keningku,
mataku terpejam, dam mulutku mendesahkan nafas tak teratur ketika Ditto
menggoyangkan jarinya keluar masuk. Uhhh...rasanya seperti disetubuhi
dengan kejantanan yang kecil namun lincah menjelajahi seluruh sudut gua
berlumpur itu. "Nah, kini piramid-piramid itu terlihat seperti satu,
bukan?" Celetuk si penarik onta tiba-tiba, dengan bahasa Inggris aksen
Arab juga tentunya. Aku kaget setengah mati dan segera membuka mata serta
menarik kepalaku ke depan dari bahu Ditto.
Yang membuatku makin keheranan ialah bahwa Kedua tangan
Ditto tidak juga menghentikan aksinya meremas-remas payudaraku dan
menusuk-nusuk kewanitaanku. "Wah, luar biasa sekali." Jawab Ditto
mengomentari. Sembari mengomentari, Ditto mempercepat gerakan jarinya
dalam kewanitaanku. Aku tetap berusaha menatap lurus ke arah kompleks
piramid, meski dengan tubuh agak terjingkat-jingkat dan mata
menyipit-nyipit. Jari Ditto menyentuh bagian yang tepat berulang-ulang
dengan cepat, sehingga tiba-tiba tubuhku serasa tersambar sebuah orgasme
yang meledak tiba-tiba. Tubuhku mengejang dan punggungku melengkung
melepaskan sandarannya dari dada Ditto hingga jari Ditto pun terlepas dari
dalam sini. Aku berpegangan erat pada pegangan di ujung sadel onta agar
tidak jatuh. Sialnya, pada saat seperti ini, si penarik onta menyuruh
ontanya duduk agar kami dapat turun. Padahal sebelum duduk, onta harus
menungging dulu hingga berat badan kami terlempar ke depan. Tanpa ampun
lagi peganganku terlepas dan aku terjungkal dari onta yang menungging itu,
jatuh di atas pasir gurun yang (untungnya) terasa empuk. Terdengar
teriakan Ditto menyebut namaku, juga pekik panik si penarik onta, namun
klimaks yang sedan! g kualami membuat pandanganku kabur dan serba putih.
Terasa Ditto memberdirikanku dari pasir, memelukku agar tetap berdiri,
sampai akhirnya pandanganku mulai jelas dan aku dapat memulihkan tiga
perempat kesadaranku yang hilang direnggut orgasme tadi. "Arr you
ollraiddd?" Tanya si penarik onta dengan aksen Arabnya.
Aku tersenyum kecil padanya sambil
mengangguk-angguk tanpa melepaskan pelukanku pada Ditto. Meski pelukan ini
bertujuan untuk menumpu berdiriku yang masih goyah, pasti si penarik onta
mengira aku ketakutan karena habis terjatuh tadi. Untung pula karena jeans
Armaniku berbentuk stretch dan kaos tipisku tidak kumasukkan, hingga
kancing dan ritsluiting yang terbuka itu tidak nampak atau membuat
celanaku melorot. Dengan kamera yang dipinjamkan Ditto padanya, penarik
onta itu menjepret beberapa foto kami di bawah bayang-bayang piramid,
dengan latar belakang piramid juga, dan onta yang sedang duduk dengan
ekspresi tak bersalah. (Waktu foto itu dicuci cetak, terlihat jelas
tampangku kusut dan sayu sambil memeluk leher Ditto, sementara celana
jeans Ditto juga tak mampu menyembunyikan sesuatu yang menonjol di
dalamnya, dan pandangan si onta terkesan mengejek!). Usai berfoto-foto
ria, kami naik kembali ke punggung onta, dan kali ini aku duduk di
belakang, mendekap punggung Ditto sambil melingkarkan tanganku di
pinggangnya. Sepanjang perjalanan itu, aku mencoba membalas dendam.
Di balik selimut, tanganku meremas-remas
gemas kejantanan Ditto yang sengaja dikeluarkannya. Namun dengan liciknya
Ditto mengajak bicara si penarik onta, hingga mereka terlibat pembicaraan
asyik. Pintar juga anak ini, pikirku, dengan begitu, konsentrasinya
terpecah hingga kejantanannya tidak kunjung memancarkan isinya, meski
sudah menegang dan berdenyut di dalam remasanku. Sekembalinya ke kota,
Ditto turun dari onta dan menyunggingkan senyum konyolnya padaku, seolah
mengejek kegagalanku membalas dendam. Silly, but I do luuuv diz hunk!
Well, sebenarnya perjalanan kami waktu itu masih agak panjang. Kami sempat
mengunjungi satu kompleks piramid lagi, dan makam para Firaun, juga museum
tempat mumi raja Ramses II disemayamkan. Tentu saja tempat-tempat itu
tidak memungkinkan bagi kami untuk melampiaskan ambisi liar kami yang
harus diakui agak kelewatan. Namun terlepas dari semua 'petualangan seru'
itu, aku benar-benar mengagumi kultur Mesir Kuno yang aku lihat disana.
Terlihat lewat beberapa lembar papyrus kuno yang menunjukkan bahwa dalam
budaya mereka yang berusia ribuan tahun itu sudah terdapat society yang
berbudaya tinggi dan tidak saling baku hantam seperti di negaraku tercinta
pada abad global ini. Duh, kadang memang agak memalukan.
Sempat juga kami berlama-lama dalam ruang
harta ratu Nefertiti, permaisuri raja Tutankhamen, untuk mengamati ribuan pernak-pernik perhiasannya yang luar biasa indah dan menyilaukan mata
wanita matre. Dalam pesawat di perjalanan pulang, Ditto memberikan padaku
sebuah buku kecil seukuran saku yang dibelinya di museum. Setelah mengecup
keningnya dan mengucap terimakasih dengan nada tulus, aku membacanya. Di
sampul buku kecil itu Ditto menulis dengan spidol warna emas, "She reminds
me of my dearest love." Buku saku itu adalah buku mengenai riwayat hidup
sang ratu Mesir yang legendaris, Cleopatra. Mengenai perjalanan hidupnya
yang dipenuhi pencarian akan siapa yang terbaik dan pantas menjadi
pendampingnya. Para penguasa Roma yang sebanyak tiga generasi tergila-gila
kepadanya. Juga tentang ambisinya untuk memberikan yang terbaik pada
rakyat Mesir dengan cara mengorbankan dirinya untuk berpindah dari satu
pelukan penguasa Roma ke pelukan penguasa Roma yang lain. Hm...kasihan
sekali. Dia tidak berhasil menemukan pasangan hidupnya karena keburu tewas
oleh pagutan kobra di keranjang yang disiapkannya untuk menghabisi
nyawanya sendiri agar ia tidak mati sebagai tawanan orang Romawi! hingga
kewibawaannya tetap terjaga. Setelah menamatkan buku sepanjang 1 jam itu,
aku berpaling menatap wajah Ditto yang asyik menonton Bugs Bunny di layar
video...aku bersyukur.
Meski jalan hidupku dan Cleopatra
hampir-hampir mirip, kami tetap berbeda, karena akhirnya aku menemukan
yang terbaik buatku, The Last Port, Ditto. Well, Ahh, sudah selesai
ceritanya. Semoga cerita saya kali ini tidak mengundang terlalu banyak
kontroversi seperti cerita-cerita saya yang dulu-dulu. Kali ini ceritanya
memang simpel, tidak mengandung filosofi dan pesan yang dalam seperti
cerita saya biasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar