Credit goes to Sari The Lust Hunter.
Thanks to Wiro The Legend.
---
KRRRRR…. KRRRR…. KRRRR…… Getaran ponsel ini terasa membuatku geli,
apalagi aku selalu meletakkannya di pangkuan pada saat mengemudi seperti
ini. Dengan penuh kerepotan akhirnya aku berhasil memasang earpiece
dari peralatan handsfree ini tanpa harus mengurangi kecepatan Katana
hijauku. (Mengherankan, bukankah mereka merancang ‘handsfree’ untuk
mengurangi kerepotan, tapi kenapa kabelnya selalu kelewat panjang hingga
malah bikin repot?)
“Halo!” sapaku dengan nada datar karena aku tidak sempat melihat caller id pada display.
“Sari?” tanya suara seorang pria di ujung sana.
“Yup! Saya sendiri.” jawabku sambil melenggokkan setir menghindari sebuah truk sampah yang kelewat pelan.
“Masih inget aku nggak?” tanya suara itu lagi.
“Hm…siapa ya?”
“Bret!” jawabnya singkat. (info: Huruf e pada ‘bret’ itu dilafalkan seperti pada EmbEr, bukan pada kEntang!)
“Hm… Bret… Bret… siapa sih?”
“Walah, masa lupa sih? Kamu dulu suka nyontek ke aku pas sumatif bahasa Inggris!”
“Aaayayayaaa! Bret! Iya, iya aku inget!” jawabku antusias ketika aku mengingatnya, “Tumben nelpon! Apa kabar?”
“Baik! Kamu sendiri gimana?”
(Percakapan
selanjutnya nggak saya tuliskan, karena hanya berkisar pada percakapan
dua orang teman SMA yang sudah hampir 10 tahun tidak ketemu).
Nama
Bret itu sebenarnya bukan nama asli pria itu. Itu adalah panggilannya
semasa SMA dulu karena celana abu-abunya pernah robek terkait paku di
tembok pinggir kelas dan mengeluarkan suara “bretttt!”. Dia salah
seorang teman dekatku di SMA, kami menjadi begitu dekat karena saling
membutuhkan dalam ulangan atau ujian. (Bagi yang pernah SMA, tentu
mengerti maksud ’saling membutuhkan’ itu! Nggak usah sok pinter!)
Ia
memberikan informasi padaku tentang reuni SMA kami dulu, yang
rencananya akan digelar besar-besaran dan melibatkan 50 angkatan, sejak
lulusan tahun 1950 sampai 2000. Beberapa hari kemudian, mantan-mantan
teman SMA-ku juga lantas menginformasikan hal yang sama, begitu juga di
beberapa website, maklum SMA tempatku bersekolah dulu termasuk salah
satu SMA negeri yang disukai di kota S sini ini. Meski awalnya aku
kurang tertarik untuk hadir, setelah beberapa teman mendesak akhirnya
aku ingin hadir juga. Lumayanlah untuk ketemu teman-teman lama, pikirku.
Dan tentunya aku juga punya tujuan sampingan, yaitu mendapatkan
petualangan baru! hehehe. Tapi pertanyaannya adalah dengan siapa aku
akan kesana? Tentu tidak mudah untuk mencari gerombolan teman-teman lama
di tengah lautan orang dari 50 angkatan, pikirku. Kalau dulu waktu SMA
sih… dengan reputasi seperti aku, tentu banyak lebah-lebah yang mencoba
hinggap untuk menawarkan jemputan, tapi sekarang? Setelah hampir 10
tahun, apakah lebah-lebah itu juga masih belum menemukan ‘bunga
terakhir’-nya?
Namun ternyata keadaan tidak seperti yang
kubayangkan. Mungkin ini yang dalam psikologi disebut sebagai
‘pemanggilan kembali memori lama yang dipicu oleh kondisi lingkungan
yang serupa dengan kondisi masa lalu’. Beberapa teman SMA pria yang
kebetulan masih single (atau mengaku masih single) menawarkan untuk
menjemputku. Untuk menghindari konflik dengan ibu-ibu rumah tangga, maka
aku terpaksa mencari data yang benar tentang para calon penjemputku itu
lewat teman-teman tempat kerja mereka sampai akhirnya aku memutuskan
untuk berangkat bersama si Bret yang pertama kali menelponku tentang
acara reuni ini.
Singkat kata, malam ini aku sudah duduk manis di
lobby apartemenku, menanti jemputan si Bret. (Sekedar info, aku pindah
rumah dari apartemen P ke apartemen M, tempat yang dekat dengan salah
satu gerai Mc Donald’s di kota S). Setelah menunggu beberapa lama,
akhirnya si Bret itu muncul juga diantar oleh sepasang satpam. Mungkin
karena tongkrongannya tidak banyak berubah sejak SMA, masih bertampang
agak kriminil, maka kepala satpam memutuskan agar dia diantar dua orang
untuk masuk ke lobi apartemen.
“Hey! Kamu tambah keren deh!” sapaku dengan basa-basi setengah flirt.
Bret
diam saja. Ia malah berkacak pinggang dan mengamatiku dari ujung kaki
ke ujung rambut, tapi tidak berhenti sebentar di daerah paha dan dada
seperti lazimnya pria hidung belang yang menatapku.
“Hmmm… kamu banyak berubah ya, Sar?” gumamnya.
“Oh? Masa? Kamu juga kok. Kamu lebih pinter milih baju sekarang!” godaku lagi.
“Ya, ya, ya… kamu juga sudah mulai belajar kalau baju dengan garis horisontal akan mengurangi kesan kerempeng!” balasnya.
Kami
lalu tertawa-tawa dan masih melanjutkan saling ejek sampai kami masuk
ke mobilnya. Malam itu aku memang mengenakan pakaian setengah casual.
Sebuah kamisol garis-garis hitam putih yang dilapisi blazer hitam dan
celana favoritku, Armani ketat warna hitam. Sementara Bret tampil dengan
kemeja hitam yang merk-nya tidak jelas dan celana yang warnanya sulit
dibedakan apakah biru atau abu-abu. Si Bret ini sebenarnya lumayan
good-looking dengan tampangnya yang campuran Ambon-Manado, tapi
rambutnya yang dipotong model Ivan Drago itu memang membuat wajah
kerennya terlihat agak jahat dan pantas dicurigai sebagai pembuat onar,
didukung dengan posturnya yang tinggi tegap namun agak sangkuk.
Akhirnya
kami tiba di tempat reuni itu dilaksanakan, yaitu di gedung SMA kami
dulu, di kompleks SMA negeri favorit di perempatan yang cukup beken di
kota S. Suasana di luar gedung sudah penuh dengan manusia dari berbagai
usia dan berbagai dandanan, yang menunjukkan dari generasi tahun berapa
mereka dilahirkan. Teman-teman seangkatanku cukup banyak juga yang
hadir. Rata-rata dari mereka sekarang bekerja atau punya usaha sendiri,
dengan posisi ekonomi yang mulai mapan meski belum sukses-sukses amat.
Beberapa temanku dari klub Jangkung (klub basket) juga hadir di situ.
Rata-rata dari mereka masih single karena sulit menemukan pria
segenerasi yang lebih tinggi. (Yah, anggap saja alasannya begitu!)
Beberapa teman malah datang bersama dengan mantan pacarnya waktu SMA
dulu, bukan dengan suami atau istrinya yang sekarang. Cukup lucu, meski
menyerempet resiko cukup tinggi yang nanti akan kuceritakan lebih
detail.
Acara dimulai, kami masuk ke tengah lapangan luas yang
dikelilingi gedung sekolah. Gedung sekolah sudah banyak berubah,
dibangun di sana-sini, maklumlah banyak anak pejabat yang bersekolah
disini sejak dulu. Bahkan beberapa pejabat, seperti mantan wapres juga
alumni di sini dulunya. Ada juga beberapa artis terkenal yang rupanya
alumni sekolah ini.
Konyolnya, secara tidak sengaja aku sering
bertemu pandang dengan banyak pria yang pernah mengisi malam-malam seru
dalam petualanganku. Umumnya mereka tidak menyapa dengan kata-kata,
hanya menyunggingkan senyum yang lebih mirip seringai dingin, mungkin
mereka teringat kembali akan adegan-adengan yang pernah mereka lakukan
bersamaku. Gila, rupanya mereka juga banyak yang sekolah disini dulunya.
Banyak juga rekan bisnis dari perusahaanku yang hadir sebagai alumni
angkatan yang berbeda, golongan yang ini umumnya menyapaku dengan,
“Selamat malam Bu Sari, rupanya alumni juga toh!” Tapi lantas berubah
jadi ledekan karena melihat name-tag angkatan yang kukenakan menunjukkan
tahun yang jauh lebih muda dari mereka. Kalau sudah begitu umumnya
mereka bilang, “Walah! Ternyata Bu Sari ini masih kecil toh!” Gitu.
Acara
demi acara berlangsung di panggung tanpa banyak diperhatikan penonton
karena mereka lebih sibuk bernostalgia dengan gerombolan seangkatannya.
Begitu pula rekan-rekan seangkatanku. Kami juga saling bersalaman sambil
menjerit “Aaaaaaa! Kamu kok tambah gendut.” atau tambah kurus, atau
tambah jelek, atau yang lain-lain, yang kemudian disusul dengan “Eh,
denger-denger si anu udah cerai dengan si anu.” Atau “Kamu denger nggak
kalau si anu sekarang jadi anu di perusahaan anu”, atau bahkan “Si anu
masuk bui, lho!” Sampai yang paling seram, “Tahu nggak, si anu bunuh
diri!”
Beberapa pria dari klub basket yang dulu pernah… engg…
‘menjadi sparing partnerku dalam latihan berpetualang semasa SMA’ kini
mengitariku sambil berbasa-basi. Tidak ada dari mereka yang berani
membicarakan tentang apa yang pernah kami lakukan di aula kosong, di
ruang ganti, atau di sudut kelas kosong 10 tahun silam. Bukan apa-apa,
mungkin karena mereka merasa nggak enak dengan teman-teman pria yang
lain yang rupanya juga pernah mengalami hal yang sama. Agak risih juga
kalau sudah dalam posisi ini. Untuk menghindari suasana rikuh, aku
memutuskan mengikuti ajakan Bret untuk bernostalgia memasuki ruangan
kelas tempat kami dulu belajar bersama di kelas satu.
“Kamu inget apa yang pernah terjadi di kelas itu dulu?” tanyanya ketika kami berjalan di koridor menuju kelas tersebut.
“Yang mana tepatnya?” tanyaku berusaha diplomatis.
“Itu, yang pernah dilakukan sama si anu dan si anu.” jawabnya sambil tetap melangkahkan kaki.
“Hm… yah… inget sih… apa itu bukan cuman gosip?” jawabku, lagi-lagi berusaha diplomatis.
“Hihihi.” Bret tertawa kecil, “Yang aku ingat sih… cuman gosip tentang kamu waktu itu!”
(Yah…kalau rekan-rekan pembaca rajin mengikuti serial Lust Hunter, mungkin pernah membaca kisah kuno itu!)
Setibanya
kami di pintu kelas yang legendaris (menurutku) itu, kami agak kaget
karena mendapati pintunya seperempat terbuka. Aku menghentikan langkah
dan memasang telunjuk di bibir, memberi isyarat Bret untuk tidak
bersuara. Meski sebenarnya itu tidak berguna, karena suara hingar bingar
band di lapangan tetap saja kencang. Aku ingat benar situasi seperti
ini pernah terjadi 11 tahun yang lalu. Waktu itu sore hari, sehabis olah
raga, aku dan beberapa teman wanita memergoki sepasang teman kami
sedang bermain cinta secara terburu-buru di sudut kelas.
“Kenapa
Sar?” bisik Bret. Aku hanya menunjuk-nunjuk lubang angin yang cukup
besar di atas pintu, memberi isyarat untuk mengintip dari situ.
“Ah, ngapain pakai ngintip, kalau pengen lihat ya buka aja pintunya.” bisik Bret lagi.
“Emangnya ada apa?”
“Kamu ingat si Bibir dan si Evil?” bisikku pada Bret.
Ia
menganggukkan kepala sambil memasang pandangan girang. Si Bibir adalah
teman pria yang dijuluki begitu karena kebetulan bibirnya agak
oversized, dan si Evil adalah teman wanita yang dulu dianggap paling
manis di kelas, namun lidahnya agak tajam, hingga dijuluki begitu.
Mereka itulah yang pernah kepergok bermain cinta di kelas pada saat
ruangan kosong ketika anak-anak lain sedang berganti pakaian atau minum
sehabis olah raga.
“Mereka punya cara sendiri untuk reuni!” bisik Bret sambil menahan tawa gelinya.
Akhirnya
kami memutuskan untuk melakukan apa yang pernah kulakukan 11 tahun
lalu, berdiri di atas pot besar di dekat pintu, dan melongok ke dalam
lewat lubang angin besar di atas pintu kelas. Dan… well… tebakan kami
benar… si Bibir dan si Evil sedang berpelukan sambil mengumbar ciuman
satu sama lain. Keduanya masih mengenakan pakaian lengkap, tapi
memandangi mereka melakukan adegan begini harus kuakui cukup mendirikan
rambut di tengkuk.
Sedang asyik-asyiknya mengintip, tiba-tiba Bret turun dari pot dan menarik lenganku untuk pergi dari situ.
“Sar, ayo kembali ke lapangan.”
“Kenapa emang?”
“Nggak enaklah ngintip begitu.” jawabnya dengan wajah rikuh,
“Udah sama-sama tuanya. Lagian aku sekantor sama calon istrinya si Bibir. Nggak enak ntar kalau ketemu di tempat kerja.”
Aku
memahami alasannya dan mengikutinya kembali ke lapangan, tempat dimana
hingar bingar band memainkan lagu-lagu tahun enam puluhan.
Beberapa
teman berpamitan pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh
malam, dan band baru sampai di tahun enam puluhan. Kata mereka, bakalan
sampai pagi kalau nunggu bandnya memainkan lagu tahun sembilan puluhan,
jadi mereka memutuskan pulang lebih awal. Aku sendiri tidak ingin
pulang. Aku berdiri diantara teman-temanku, mendengarkan musik sambil
sesekali mengobrol ringan. Sampai tiba-tiba bahuku dicolek dari
belakang.
“Tukang ngintip, ngga berubah juga rupanya, eh?” sapa si pencolek tadi, yang ternyata adalah si Evil.
“Yah… kamu juga ngga banyak berubah tuh kayaknya.” jawabku sambil menyunggingkan senyum simpul dan mengangkat alis kanan.
Kami lalu mundur beberapa langkah dari kerumunan orang yang perhatiannya tertuju ke panggung.
“Well, well, well… Si Pemburu… apa kabar?” tanyanya sinis sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Baik.” jawabku sambil menatap matanya dalam-dalam,
“Baik sekali, Evil.” sambungku dengan nada sinis juga.
“Ya terang aja baik. Tiap malam pindah ranjang sih, gimana mau ngga bahagia terus?” sindirnya.
Aku sempat ingin menamparnya karena kata-katanya diucapkan dengan volume kelewat keras, tapi aku masih menahan diri.
“Aku dengar kamu udah jadi boss sekarang yah?” sindirnya lagi,
“Mendaki corporate ladder lewat ranjang?”
Kali
ini aku benar-benar tidak mampu menahan diri dan hampir menampar mulut
genitnya kalau saja si Bibir tidak keburu muncul di samping Evil.
“Sar, maapin dia lah.” kata si Bibir dengan nada sok bijak,
“Kamu dengar cerita tentang dia kan?”
Aku
lantas mengurungkan niatku untuk menampar karena teringat cerita bahwa
si Evil ini baru saja kehilangan suami dan karirnya karena dia mencoba
‘mendaki corporate ladder lewat ranjang’, seperti yang dituduhkannya
padaku. Memang tolol juga dia, mencoba cara itu di perusahaan BUMN tentu
sulit dan beresiko karena dinding-dinding disana punya mata dan
telinga.
Untuk melemaskan syaraf yang tegang aku menjauhi kedua
orang itu, juga kerumunan orang di seputar panggung yang asyik mendengar
musik. Aku melangkahkan kaki keliling bangunan sekolah itu. Suasana
masih tidak sepi karena masih banyak orang, tapi umumnya mereka
berkerumun di sekitar panggung di tengah lapangan, hingga sudut-sudut
sekolah tua ini kosong. Sempat aku mengenang beberapa sudut tempat
seorang teman pria menyatakan cintanya padaku, dan di sudut yang sama
pula kami mengakhiri masa pacaran yang cuma dua minggu hanya gara-gara
dia mendengar cerita kalau aku tidak punya latar belakang keluarga yang
jelas. Ck, memori-memori menyedihkan itu terus bermunculan sampai
akhirnya aku capek dan duduk di sebuah bangku panjang di tempat yang
semasa sekolahku dulu adalah kantin, namun sekarang berubah jadi
koridor. Koridor yang sepi dan gelap, yang luput dari perhatian banyak
orang di acara reuni besar itu.
“Lagi ngapain, non?” kata sebuah suara pria yang sudah tak asing lagi.
Agak kaget, aku membalikkan badan dan bertatapan dengan dia… seseorang yang akan menikahiku tahun depan… The Big D!!!
“Kamu… kamu juga alumni sini?” tanyaku setengah kaget sambil menatap kedua mata elangnya.
“Yup!” jawabnya singkat sambil menunjuk name-tag di dadanya, yang menunjukkan kalau ia lulusan dua tahun di bawahku.
“Haha, kaget ya, kalau ternyata aku lebih muda?” tanyanya sambil merengkuh pinggangku dan mengecup keningku.
“Ya, ya… kaget sekali.” jawabku,
“Tapi di paspor kamu… umurmu sama dengan aku?”
“Well, aku sempat ikutan program AFS dulu. Jadi aku ketinggalan setahun, dan aku masuk SD umur tujuh.” jawabnya singkat.
Kami
terdiam beberapa saat sambil tetap tangannya merengkuh pinggangku dan
wajah kami bertatapan begitu dekat. Karena mengingat bahwa kami sedang
berada di tempat umum, aku melepaskan diri dan membelakanginya, melihat
jauh ke arah lapangan yang kini mulai ditinggalkan para pengunjung meski
band masih memainkan lagu.
Kurasakan lagi kedua tangan D memeluk
tubuhku dari belakang. Hm… nyaman sekali rasanya, aku meletakkan
telapak tanganku di atas punggung tangannya di perutku. Bibir hangatnya
kini menyentuh-nyentuh dan mengendus di leher kiriku, membuatku
memiringkan kepala ke kanan dan agak terpejam karena tersengat-sengat
rasa geli.
“Mmmh… hey… uhh… Boss, kita lagi ada di… ngggh… tempat umum nihhhh!” rintihku pelan berusaha mengingatkannya.
“So
what?” bisiknya di dekat telingaku, yang disambungnya dengan mengulum
daun telinga kiriku, membuatku terpejam dan mulutku menganga menahan
rasa geli yang begitu nikmat ini.
“Uhhh… D-Dittt… uhhh… jangan d-d-dissini donggg… uhhh… n-not now!”
“Ehggg!!!”
aku memekik tertahan dan tubuhku terjingkat ketika tiba-tiba kedua
telapak tangan D menyusup ke balik blazer dan meremas kedua payudaraku.
“Sass…” bisiknya lembut di telingaku.
“Mmmhh… iyahhh?” jawabku lirih.
“Agak geser ke kiri dikit biar nggak kelihatan orang.”
Sebenarnya
aku rikuh karena kuatir ketahuan, tapi jemari D yang teliti itu
berhasil menangkap kedua puting susuku dari balik kamisol yang
kukenakan, membuat seluruh tenagaku seperti tiba-tiba hilang dan tubuhku
serasa begitu lemas, hingga aku merasa tak punya pilihan selain
bergeser ke kiri, dan posisi kami tertutup oleh dinding yang kini berada
di depan mataku.
Di balik dinding itu juga, D membuatku
menyandar di dada bidangnya sambil membiarkan kedua tangan D menyelinap
ke balik kamisol dan melepaskan kaitan bra sportku yang ada di bagian
depan… sampai akhirnya kehangatan kedua telapak tangan besarnya
menyelimuti seluruh permukaan kedua payudaraku yang mungil ini sambil
memijat-mijat pelan. Telapak tangannya yang kasar itu kini bergesekan
dengan kedua puting susuku… memberiku rasa rileks dan lemas serta geli
yang luar biasa. Harus kuakui, saat itu aku benar-benar terangsang hebat
sampai kewanitaanku terasa melembab. Kupejamkan mata menikmati
belaian-belaian lembutnya yang menerpa kedua titik paling sensitif itu…
terasa semakin lemas badanku… kubuka sedikit mataku… semakin lincah pula
gerakan jemari D di situ… sejenak dilepaskannya, memberiku waktu
menarik nafas, namun tidak terlalu lama, karena ia segera membalikkan
badanku mengadap ke arahnya, dan mencium serta menjilati leherku yang
panjang ini… uuh… terasa hangat dan mesra sekali gerakan lidah yang
lembut, licin, dan lembab itu menyapu-nyapu leherku.
Telapak-telapak
tangan besar itu kini bergeser di pinggangku… menjamah punggungku dan
menyangganya agar aku tidak terjengkang ke belakang. Lidah dan bibir
yang hangat dan lembab itu kini seperti berputar-putar pada kain tipis
kamisol yang kukenakan… berputar-putar di atas puting susu kananku…
aduhhh… tiap gesekan kain basah yang terdorong-dorong oleh lidah lembut
itu memberiku sensasi yang sulit kulukiskan. Meski mencoba membuka mata,
tetap saja alisku tak kuasa berada dalam posisi santai, mereka terus
mengerenyit ke tengah menahan rangsangan birahi yang semakin
menggelegak. Pandanganku yang tadinya jelas kini mengabur karena mataku
menyipit hingga bulu mataku menghalangi pandangan… sementara mulutku
seperti tak sempat mendesah karena untuk menarik nafas agak panjang saja
selalu tersendat setiap kali sapuan lidahnya menggeser pada
puting-puting susuku.
Kakiku tak lagi mampu menahan tubuhku.
Keduanya terasa gemetar dan tidak menjejak tanah. D menyandarkan aku ke
dinding dan menghimpitkan tubuh besarnya ke tubuhku. Puting-putingku
yang telah mengacung tinggi seperti tertekan oleh otot-otot dadanya yang
tersembunyi di balik kemeja itu, bibir-bibir kami yang telah basah ini
kembali beradu. Kedua lenganku mendekap lehernya erat-erat, aku tak
ingin melepaskannya kali ini, benar-benar tidak ingin. Kami berciuman
dengan amat buas dan liar, diiringi dengan pagutan dan hisapan keras,
dan kedua pasang mata kami terbuka, saling menatap. Tajamnya sorot mata
yang kini tak lagi terlindung kacamata itu makin membuat birahi dalam
dadaku terasa menyesakkan… mata itu… mata itu seperti menusuk dan
mengaduk-aduk perasaanku yang sudah terlanjur dipenuhi nafsu. Jemarinya
bergerak lagi, cepat sekali, kali ini di bawah pusarku…dan kurang dari
tiga detik, jeans Armani yang kukenakan telah turun hingga ke lutut.
Meski
kedua kakiku terkatup rapat, tidak sulit bagi jemarinya untuk menerobos
ke balik celana dalam St.Michael yang kukenakan, mengelus-elus sejenak
rambut-rambut halus yang tumbuh di bawah perutku… lalu melesak ke
tengah, lebih ke dalam, jepitan kedua pangkal pahaku tak mampu
menghalangi jari tengahnya menyentuh pangkal bibir kewanitaanku.
“Ehgggg….” aku menjerit tertahan ketika tubuhku tersentak oleh rasa nikmat yang tiba-tiba menyambar kewanitaanku.
Jari
itu tidak tinggal diam disitu, ia berputar dan bergerak-gerak… cairan
pelumas yang sudah sejak tadi mengalir di situ seolah-olah hendak
dioleskannya rata ke permukaan bibir kewanitaanku yang kini menguncup
karena jepitan pahaku.
“Ohhh…. D-D-Diitttt…. j-j-jangan disiniiiihhhhh… hhhhhh…” pintaku memelas.
“Sass,
relax. I dont wanna make luv wiz ya rite here, lady! I just wanna give
ya sumthin’ to rememba! Just enjoy!” cerocosnya sambil menjilati telinga
kiriku.
Dengan agak susah payah, aku berhasil merenggangkan
sedikit kedua pahaku meski celana Armani ketat itu masih memborgol kedua
lutut ini. Kurasakan jari tengah dan jari telunjuk pria itu menekan
kuat pada ujung atas bibir kewanitaanku, dan didorongnya ke bawah…
ughhh… kedua jari besar itu bergerak-gerak di pangkal terowongan
kewanitaan yang kini makin lembab dan tergenang lendir pelumas hingga
terdengar suara kecipak… aduhhh… rasanya tak tertahankan, geli, nikmat,
dan penasaran berkecamuk di kepalaku, makin erat kutarik lehernya hingga
bibir kami makin rapat bertautan. Dijejalkannya lidahnya ke dalam
rongga mulutku, dan dijilatinya langit-langit di situ, aku kegelian dan
berusaha untuk berontak, namun tidak semudah itu, karena pada saat itu
juga kedua jarinya yang besar dan kasar itu menerobos masuk!
“Unggghghhhhhh….” aku mengerang lirih ketika kedua jari itu terbenam ke dalam tubuhku.
Dilepaskannya
kuluman pada bibirku, ditatapnya mataku tajam-tajam dengan tanpa
ekpresi. Aku berusaha membalas tatapan tajamnya itu, namun sulit sekali
karena mataku menyipit-nyipit menahan rasa nikmat pada kewanitaanku.
Apalagi ketika kedua jarinya itu berpencar di dalam, dan bergerak-gerak
sendiri-sendiri…
“Oohhhhh….” aku tak mampu lagi membuka mata dan mempertahankan ekspresi datar.
Kedua
mataku tertutup rapat dan kedua alis mataku seperti dipaksa untuk
berkumpul di keningku, gigiku terkatup rapat sementara bibirku setengah
terbuka. Aku mendesah-desah menghayati permainannya yang membuat badanku
seperti kehilangan tulang belulangnya, lemas.
Sambil tetap
memainkan jemarinya dalam kewanitaanku, ia membungkuk dan mulutnya
menangkap puting susu kiriku yang tersembunyi di balik kamisol yang
kukenakan. Aku menggeliat dan menggelinjang sekuatku untuk menahan rasa
geli dan birahi yang dikirimkannya secara intens ini. Kedua jarinya
seperti mengaduk-ngaduk isi kewanitaanku, kedua bibirnya menjepit dan
menarik-narik puting susuku dengan tak kalah cepatnya. Semuanya
membuatku seperti lupa daratan, lupa bahwa aku sedang berada di gedung
sekolah tempatku belajar di SMA dulu, lupa bahwa tiap saat bisa saja ada
seseorang yang muncul dan melihat kami berdua melakukan itu, lupa
segala-galanya. Yang terpikir hanya bagaimana agar kehangatan tubuhnya
tetap menempel pada tubuhku selamanya.
Ia terus saja
mengocok-ngocok cairan di dalam kewanitaanku dengan kedua jarinya yang
lincah, sementara kini aku tersandar di dinding hanya berpegangan pada
bahunya yang keras itu. Kubiarkan saja ketika gigi-giginya menggigit
kerah blazerku yang kanan dan melorotkannya ke bawah. Bahuku terasa
dingin diterpa angin malam, namun segera diselimuti kehangatan ketika ia
mengoles-ngoleskan lidahnya di situ, merambati leher dan pundakku,
menggigit tali kamisolku dan melorotkannya juga, hingga aku merasa
begitu seksi berada di hadapannya dalam kondisi seperti ini. Tangan
kirinya yang sedari tadi menyangga berdiriku terlepas dari punggungku,
dan berpindah pada puting kananku, dipilinnya, dijentik-jentikkannya,
dan dicubit-cubitnya puting yang telah membengkak ini. Aku berpegangan
erat pada bahunya agar tidak jatuh karena kehilangan keseimbangan.
“Ohhh…
D-d-ditttt…. aduhhhh….” aku mengerang sambil menyebut-nyebutkan nama
kekasihku itu. Sesuatu yang tidak pernah kulakukan dalam hubungan intim
dengan pria manapun kecuali dia.
“Hold on, lady.” bisiknya lembut, “You look so great tonite… I luv ya.” bisiknya lagi.
Karena
berkali-kali kedua jemarinya itu menyentuh titik yang tepat, dan karena
birahiku sudah tak tertahankan sejak tadi, akhirnya aku terlanda
gelombang orgasme juga. Tidak terlalu dahsyat memang, karena aku tidak
se-rileks jika berada di tempat yang lebih terjaga privacy-nya, namun
yang namanya orgasme tetap saja orgasme. Dimanapun kita mengalaminya,
tetap saja akan ada detik-detik yang terasa ‘kosong’ saat kesadaran
meninggalkan raga kita meski sebentar. Aku sempat mengerang panjang,
sebelum terkulai lemah di dinding batako itu. D mencabut kedua jarinya
dari tubuhku, memasukkannya ke dalam mulutnya, dan terdengar suara
menghisap. Dikeringkannya kedua jari itu dengan celananya sendiri, dan
dipeluknya tubuhku erat-erat. Kutempelkan kepalaku pada dada bidangnya,
dan mataku terpejam sejenak, merasakan perasaan hangat dan aman yang
selama hidup ini baru dapat diberikan oleh dia.
Agak lama kami
berpelukan erat begitu, sampai aku merasa seluruh energi dan kesadaranku
pulih kembali. Kubereskan lagi letak celanaku. D membantuku
mengancingkan kaitan bra sportku, jari-jarinya menyisir sejenak rambutku
yang agak acak-acakan karena ulah kami barusan.
“Kok nggak keliatan warna birunya?” tanyanya mengomentari rambutku.
“Gelap sih. Kalau siang kan kelihatan sedikit.” jawabku singkat, seolah tidak terjadi apa-apa barusan.
“Nggak balik ke gerombolan angkatanmu?” tanyanya lagi.
“Nanti sajalah.” jawabku cuek, tapi sambil menyandarkan kepala ke bahunya.
“Mm.. sebaiknya kamu segera balik ke sana.” kata D lagi.
“Kenapa emang, Boss?” tanyaku sambil berusaha mempertahankan posisi kepalaku di bahunya.
“Si Bret tampak mencari-cari kamu. Mungkin mau diajak pulang, udah malam.” jawab D lagi.
“Mana
sih?” tanyaku sambil menatap jauh ke kerumunan orang di sekitar
panggung di tengah lapangan. Tampak kabur karena aku tidak mengenakan
kacamata minusku yang memang jarang kupakai di luar jam kerja.
“Aku pulang sama kamu aja.” jawabku singkat.
“Weits!
Nggak bisa dong, Bret kan kasihan. Dia sebagai cowok kan bertanggung
jawab ngantar kamu sampai di rumah lagi. Kan dia yang jemput.” jawab D,
“Nanti aku susul ke apartemen lah, jam satuan.” sambungnya.
Aku tersenyum dan mengecup bibirnya singkat, lalu kembali melangkahkan kaki ke arah kerumunan orang.
Di
dalam Kijang EFI silver milik si Bret aku menurunkan sandaran bangku
agar posisiku lebih rileks. Kedua telapak tangan kuletakkan di belakang
kepala sambil menatap jalanan, membayangkan kejadian bersama D tadi.
Bret menghidupkan radio dan terdengar suara Mr.Big melantunkan ‘To Be
With You’.
“Nah, finally…” ujar Bret, “Lagu tahun sembilan puluhan awal!”
“Hihihi, emangnya tadi band-nya sampai tahun berapa?” tanyaku.
“Mereka
nggak urut mainnya.” jawab Bret, “Mulanya mereka mainin lagu-lagu baru,
lantas lagu enam puluhan, tapi pas kamu nggak ada tadi, band-nya mainin
New York, New York.”
“Ooo…” jawabku singkat.
Lalu kami terdiam sampai lagu Mr.Big tadi habis.
“Sari…” kata Bret memecah kesunyian.
“Kenapa?” jawabku sambil tetap dengan posisi duduk yang tadi, hanya kini mataku melirik ke arahnya.
“Apa yang diceritakan beberapa orang tentang kamu itu betul?” tanyanya dengan nada diplomatis.
“Tergantung dari apa yang kamu dengar dari mereka.” jawabku tak kalah diplomatis.
“Hm…
aku rasa kamu lebih tahu sih.” jawabnya lagi, “Mereka mungkin masih
terbawa performance kamu pas di sekolah dulu, sering ganti teman jalan.”
“Emangnya apa yang salah dari berganti-ganti teman jalan?” tanyaku mencoba membelokkan arah percakapan.
“Nggak ada sih.” jawabnya, “Nggak ada sama sekali.”
Suasana sepi lagi, meski dari radio kini terdengar “You’re All I Need” nya White Lion.
“Kamu udah ketemu D tadi ya?” tanyanya di tengah-tengah lagu.
“Kok kamu tahu?” tanyaku balik.
“Nggak
apa-apa.” jawabnya, “Dia yang nyuruh aku nelpon kamu tentang acara ini.
Dia juga bilang agar aku jemput kamu ke acara ini.”
“Oh? Gitu?” tanyaku agak heran.
“Yup! Dia memang sengaja ngasih kamu kejutan, katanya.” jawab Bret datar,
“Sudah dikasihin belum kejutannya?”
“Hihihi…well…udah kok!” jawabku dengan tawa kecil penuh arti.
Bret tidak menjawab, hanya tersenyum kecil, seolah mengerti apa yang dimaksud.
“He’s
a great guy, Sar.” kata Bret dengan nada datar lagi, “Terlepas dari
semua gosip tentang petualangannya, dia orang yang baik.”
“Yah… well… begitulah.” jawabku singkat, “Kayaknya kamu tahu banyak tentang kami.” sambungku.
“Kurang
lebih begitulah.” jawabnya, “Beberapa waktu lalu, pas kalian pertama
kali ketemu, dia banyak tanya ke aku tentang kamu, karena dia tahu kalau
aku teman dekatmu dulu.”
“Hahaha! Dasar cowok!” jawabku tertawa geli, “Selalu konspirasi di sana sini!”
Kijang silver itu mulai memasuki halaman apartemenku di daerah timur agak ke selatan kota S.
“Tuh,
dia udah di lobby!” kata Bret sambil menunjuk ke arah lobby dimana
disitu terlihat sosok “The Big D” sedang berdiri tegak menatap ke arah
mobil kami. Di sampingnya tampak seorang satpam yang ukurannya nyaris
setengah kali ukuran si D.
Setelah berpamitan dengan Bret dan
mengucapkan terimakasih atas tumpangannya, aku mengajak D melihat ke
kamar apartemenku yang baru ini, yang belum tertata, dan D berjanji
untuk membantu menatanya sebelum dia pulang ke Jakarta minggu depan.
Kami mandi bersama lalu pergi tidur. Di atas ranjang kami tidak
melakukan apa-apa selain berpelukan sambil ngobrol. Menceritakan
teman-teman SMA di masa lalu dimana ternyata banyak dari teman-teman
SMA-ku adalah teman SMP si D. Ngobrol tentang bagaimana peran Bret dalam
membantu D mendapatkan aku (hehehe, GR nih!). Konyolnya, D juga
menceritakan bahwa alasan Bret membantunya adalah karena D pernah
membantu Bret mendapatkan calon istrinya yang sekarang (Dasar pria!).
Setelah lama ngobrol, akhirnya kami lelah dan sama-sama tertidur. D
masih menginap di apartemenku selama seminggu, dan tentu banyak cerita
tentang apa yang kulakukan bersamanya di sudut-sudut kamar apartemenku
yang baru itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar